Mohon tunggu...
Dian Kelana
Dian Kelana Mohon Tunggu... Wiraswasta - Pengelana kehilangan arah

www.diankelana.web.id | www.diankelanaphotography.com | www.diankelana.id

Selanjutnya

Tutup

Olahraga Artikel Utama

Bayangan Kematian Itu Terasa Begitu Dekat

22 November 2011   21:27 Diperbarui: 25 Juni 2015   23:20 1207
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Olahraga. Sumber ilustrasi: FREEPIK

Keterlambatan istri saya pulang belanja dari Pasar Pagi, seakan sebuah pertanda bahwa saya sebaiknya tidak usah datang ke Stadion Utama Gelora Bung Karno, guna meliput final pertandingan Sepakbola SEA Games hari Senin lalu. Tapi tanggung jawab moral kepada sponsor yang telah memberi saya kendaraan gratis untuk dapat menonton disana berupa ID Card SEA Games yang membolehkan saya memasuki arena mana saja selama SEA Games ini berlangsung, serta panggilan jiwa profesional yang tak mau melalaikan tanggung jawab yang diberikan kepada saya, membuat saya harus tetap berangkat melaksanakan tugas. Senin siang itu sekitar jam 13.30. Choirul Huda, Kompasianer muda yang juga seorang mahasiswa sebuah perguruan tinggi swasta di Jakarta, telah muncul di rumah saya di Tomang. Choirul yang selama SEA Games ini merupakan teman seperjalanan saya dalam meliput SEA Games berboncengan dengan motor miliknya, seperti biasa datang menjemput saya. Tapi siang itu kami tak bisa langsung berangkat, karena istri saya tengah pergi ke Pasar Pagi, Kota. Berbelanja barang dagangan warung kami. Setelah dengan sabar menunggu hingga jam 15.00, akhirnya Choirul saya suruh berangkat duluan ke Gelora Bung Karno. Bergabung dengan teman-teman Kompasianer lain. Hazmi Srondol, Yusep Hendarsyah dan Joshua Martin Limyadi, si bontot yang masih duduk di SMA dan yang paling lincah serta kreatif dengan Macbooknya diantara kami 5 sekawan. Lewat beberapa menit dari jam 16.00 istri saya pulang, dengan pulangnya dia baru saya bisa meninggalkan rumah beserta si kecil Rizqy yang baru berusia 5 tahun. Dengan berjalan kaki saya menuju halte Telkom di jalan S. Parman, sampai disana kebetulan sebuah bus Kopaja AC Grogol - Ragunan lewat. Sayapun segera menaikinya, karena bus ini melewati jalan Sudirman di depan Gelora Bung Karno tempat saya turun nantinya. Menuju Slipi bus berjalan cukup normal, jalanan lancar walau kendaraan cukup ramai. Setelah melewati bekas bundaran Slipi dan baru sampai di depan kantor Badan Pemeriksa Keuangan dan Kementerian Kehutanan di seberangnya, lalu lintas sudah sangat padat dan merayap. Saya membatin, dengan kondisi jalanan seperti ini apakah saya masih punya kesempatan menyaksikan pertandingan memperebutkan juara ketiga atau medali perunggu antara Miyanmar lawan Vietnam Sepakbola SEA Games ini? Bus Kopaja AC yang saya tumpangi maupun kendaraan lain, benar-benar merayap dijalan Gatot Subroto yang lebarnya tiga jalur itu. Sampai di depan gedung DPR, saya melihat biang kemacetan itu adalah kendaraan yang mau berbelok kekiri dan kemudian memutar 360 derajat lewat  jalan layang menuju jalan Gerbang Pemuda. Ratusan kendaraan pribadi yang akan menuju Gelora Bung Karno, karena penumpangnya akan menyaksikan final sepakbola SEA Games, memadati jalan Gatot Subroto dan jalan Gerbang Pemuda. Saya yang duduk di bangku belakang pengemudi bus Kopaja AC itu lalu menyarankan kepada pengemudi agar mengambil lajur paling kanan, karena lajur paling kanan itu agak lumayan lancar dibanding lajur paling kiri yang saat itu kami lewati. Rupanya saran saya itu di ikuti, pelan-pelan kami mulai bergeser ke kanan dan dugaan saya itu ternyata benar. Dijalur paling kanan kami bisa bergerak lebih cepat, karena jalur tersebut diisi oleh kendaraan yang berjalan lurus menuju Semanggi, bukan yang mau berbelok ke arah jalan Gerbang Pemuda. Di depan Balai Sidang jalanan yang kami lewati malah lengang, sehingga bus yang saya tumpang bisa melaju cepat. Mendekati jembatan Semanggi baru jalanan mulai macet lagi dan jalan kendaraan mulai tersendat, namun tidak separah di depan Gedung DPR yang kami lewati tadi. Saya turun dari Kopaja yang saya tumpangi di halte Polda Metro. Terus naik jembatan penyeberangan dan berjalan menuju parkir Timur GBK dan langsung menuju Stadion Utama GBK, dimana saat itu tengah berlangsung pertandingan babak kedua antara Myanmar melawan Vietnam. Memasuki halaman Stadion Utama GBK di pintu VIII, saya menyaksikan lautan manusia dengan seragam merah memenuhi halaman yang luas itu. Mereka bergerak mencari pintu masuk stadion sesuai dengan yang tertulis di tiket yang mereka masing-masing miliki. Saya yang harus menuju pintu XII dimana pintu VIP Barat berada, harus berjalan setengah melingkar melewati halaman Stadion Utama GBK itu. Pada awalnya menuju pintu IX perjalanan saya masih lancar, di sela-sela pengunjung yang juga semuanya bergerak menuju pintu tempat mereka masuk stadion. Semakin lama halaman Stadion Utama  GBK itu semakin padat, dengan pergerakan para calon penonton itu yang berlawanan arah tanpa ada yang mengatur. Saya berusaha mengikuti saja pergerakan para penonton yang searah dengan saya. Menuju pintu X pergerakan para calon penonton itu semakin melambat karena padatnya. Saya tidak bisa lagi bergerak bebas, sebagaimana halnya dengan penonton yang lain. Polisi yang berjaga di sekitar itu menyarankan kepada para penonton agar berjalan melebar kesisi luar keatas rumput. Saya mencoba mengikuti dan pelan-pelan mulai bergerak lebih melebar keluar halaman aspal dan berjalan diatas rumput disela-sela pohon. Mendekati pintu XI saya terpaksa kembali melebur melewati jalur tengah yang padat penonton, karena mobil-mobil maupun sepeda motor yang parkir di pinggir dan sebagian di atas rumput menghalangi jalan kami. Karena harus mengikuti arus yang padat dan sering bertabrakan dengan penonton lain yang berlawanan arah, saya lama kelamaan terdorong semakin ketengah dan semakin terjepit diantara penonton yang lain. Pergerakan maju saya saat itu benar-benar hanya bisa mengikuti bagaimana pergerakan penonton yang lain, yang terkadang terdorong kekiri atau kekanan. Langkah sayapun hanya bisa bergeser senti demi senti. Dipunggung, tas kamera saya menjadi bumper antara saya dengan orang yang berada di belakang saya. Sementara di depan saya harus melindungi kamera agar tidak terjatuh atau terbentur dengan penonton lain supaya tidak rusak. Saya saat itu berusaha berfikir jernih dan tidak panik menghadapi situasi. Saya saat itu mulai terkunci di tengah-tengah, pergerakan saya beserta penonton lainnya hanya mengikuti arus yang ada, karena posisi tubuh kami semuanya sudah saling berdempetan, tak ada ruang untuk membebaskan diri, nafas tua saya pun sudah tersengal-sengal. Sebentar kami terdorong kekiri atau kekanan bila berpapasan dengan penonton lain yang berlawanan arah. Saya berusaha agar tidak terjatuh bila ada dorongan yang cukup kuat dari belakang. Sebab bila saya sampai terjatuh, maka tidak akan ada ampun lagi, saya akan terinjak-injak oleh mereka yang ada di belakang saya, akibatnya bisa di bayangkan, karena bisa berujung di kematian. Posisi kami semakin sulit dengan masuknya bus rombongan para pemain, bus ini harus melaju menuju kolong stadion dan baru menurunkan para penumpangnya disana. Ke depan kami tak bisa lagi bergerak, sementara dari belakang penonton lain terus mendesak maju, kami benar-benar terjepit. Saya tetap berfikir, bagaimana bisa keluar dari situasi sulit ini. Saya takut fisik saya tidak sanggup lagi bertahan dan lalu jatuh, bayangan kematian karena terinjak-injak itu begitu mengganggu saya. Karena itu saya selalu berusaha bergerak agar bisa keluar dari jepitan itu, dan itu lebih menguras fisik saya, karena harus melawan pergerakan yang sebenarnya justru makin mendorong saya ketengah masa yang tak bisa lagi bergerak. Perjuangan keluar dari himpitan dan jepitan penonton yang nasibnya juga sama dengan saya itu, sedikit demi sedikit berhasil saya lakukan, hingga saya bisa melewati bus para pemain itu. Mendekati pintu XII kepadatan penonton semakin berkurang, karena pintu XII ini adalah tempat masuk penonton VIP Barat,  sehingga saya bisa menarik nafas dalam-dalam. Akhirnya dengan seluruh tubuh basah dengan keringat saya sampai juga di pintu XII. Saya lalu masuk Stadion Utama GBK itu melewati pintu khusus untuk media yang tidak perlu berdesakan sebagaimana pintu masuk penonton di pintu-pintu lainnya. Sampai di dalam stadion saya langsung menuju tribun khusus untuk wartawan dan menemui teman-teman kompasianer yang sudah duluan sampai disana. Saya menurunkan tas kamera yang masih menempel di punggung, begitu tas itu berada di hadapan saya, jaket yang tadi saya sangkutkan di sana tak ada lagi. Tidak lama setelah saya bergabung dengan teman-teman disana, Joshua yang duduk disamping saya mengatakan dua orang penonton tewas terinjak-injak diluar stadion.  Dia memperlihatkan tulisan yang ada di Twitter yang ada di Macbooknya kepada saya. Setelah membacanya saya tercenung, alangkah dekatnya kematian itu dengan saya tadi. Tapi Tuhan masih memberi saya kesempatan untuk hidup lebih lama lagi, dengan memberikan kesempatan bagi saya lolos dari situasi yang mencekam itu. Alhamdulillah.... [caption id="attachment_151022" align="aligncenter" width="650" caption="Macet di depan gedung DPR jalan Gatot Subroto"][/caption] [caption id="attachment_151023" align="aligncenter" width="650" caption="Terpaksa melewati jalur busway"][/caption] [caption id="attachment_151024" align="aligncenter" width="650" caption="Sepi di depan Balai Sidang"][/caption] [caption id="attachment_151025" align="aligncenter" width="426" caption="Bertemu sepeda jangkung di jalan Sudirman"][/caption] [caption id="attachment_151026" align="aligncenter" width="650" caption="Merah, merah dimana-mana"][/caption] [caption id="attachment_151027" align="aligncenter" width="650" caption="Lautan merah di luar Stadion Utama GBK"][/caption] [caption id="attachment_151034" align="aligncenter" width="650" caption="Mencari pintu masuk..."][/caption] [caption id="attachment_151028" align="aligncenter" width="650" caption="Kompasianer Joshua, Choirul, Srondol dan Yusep di Tribun Media"][/caption] [caption id="attachment_151029" align="aligncenter" width="650" caption="Kesedihan sang pecinta Garuda Muda..."][/caption] [caption id="attachment_151030" align="aligncenter" width="650" caption="Sang Supporter...."][/caption] [caption id="attachment_151031" align="aligncenter" width="650" caption="Wajah-wajah sendu"][/caption]

Powered by Indosat

Official Telecomunication Partner of 26th SEA Games 2011

Jakarta - Palembang

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Olahraga Selengkapnya
Lihat Olahraga Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun