Dengan ucapan Bismillah Hendi mulai menjalankan mobil, menempuah jarak 215 kilometer menuju kota Pekanbaru. Kota pertama yang saya tuju, diawal saya pergi merantau. Diawal tahun 60an.
Mobil Suzuki APV yang kami tumpangi bergerak meninggalkan Biaro. Disebelah kanan saya Gunung Merapi yang puncaknya bersembunyai di balik awan, seakan seakan tak sudi melepas kepergian saya. Sementara di sebelah kiri kelihatan nun jauh di kampungku Batu Bajak yang bertengger di puncak Bukit barisan, melepaskan kepergianku dengan pasrah.
Dengan kecepan mobil yang konstan, tak sampai lima belas menit kami sampai di kota kecamatan Baso. Dibaso ini dulu terdapat stasiun kereta api dengan rela ganda. Tempat bersilangnya kereta api Bukittinggi - Payakumbuh. Tapi stasiun ini tinggal kenangan. Sebuah surau/mushalla tua yang  terletak di lingkungan stasiun, menjadi saksi sejarah  perkeretaapian  yang melintasi jalur Bukittinggi Payakumbuh.
Baso kami lewati, lalu meluncur laju menuruni penurunan Dama yang berujung di Labuah Luruih, jalan lurus yang di apit hamparan persawahan yang membentang di kiri kanan jalan. Lepas dari Labuah Luruih, kami sampai di Padang Tarok, terus menjelang PLTA Batang Agam berjalan melewati dinding Bukit Barisan yang terjal bergantiang di samping kanan dan kiri kami.
Sampai di Simpang Batu Ampa , penumpang mobil kami bertambah satu orang. Penumpang yang baru naik ini adalah penumpang yang mengambil tiket di agen Batusangkar. Penumpang terakhir yang naik dalam perjalanan kami ini.
Sampai di Payakumbuh, terjadi sedikit kegaduhan. Ada bau durian yang menyengat di dalam mobil, sehingga menimbulkan rasa yang tidak nyaman diantara penumpang. Hendi lalu menanyakan siapa pemilik durian yang menimbulkan kegaduhan itu. Rupanya penumpang yang naik di Panampuang. Setelah sedikit bersitegang dan beradu argumentasi antara Hendi dan pemilik durian, akhirnya durian itu di pindahkan dan diikatkan di bagian luar mobil. Sebelum melanjutkan perjalanan, semua kaca jendela mobil dibuka, penyejuk udara di pasang dalam posisi maksimum, sampai aroma durian tak lagi tercium di dalam mobil.
Lepas dari kota Payakumbuh kami melewati Lubuak Bangku. Hingga akhir tahun enampuluhan, Lubuak Bangku adalah tempat berhentinya semua kendaraan yang akan menuju Pekanbaru. Disini semua penumpang dianjurkan makan atau membeli bekal untuk menempuh perjalanan panjang menembus jejeran hutan Bukit Barisan yang sepi serta kondisi jalan yang buruk.
Waktu itu, untuk menempuh jarak dari Bukittinggi ke Pekanbaru, bisa memakan waktu dua hingga tiga hari. Disamping jalanan yang rusak, juga karena belum adanya jembatan yang membentang di atas Sungai Kampar yang lebarnya lebih dari seratus meter. Untuk menyeberang dipakailah rakit kayu yang bisa memuat 2 hingga tiga kendaraan sekaligus.
Kini, semenjak membaiknya sarana dan prasarana transportasi dengan jalan yang semakin mulus, serta jembatan yang membentang di atas Sungai Kampar. Peran Lubuak Bangku semakin berkurang, walau tak mati sama sekali. Lubuak Bangku yang dulu ramai siang dan malam, kini telah kehilangan pamornya.
Karena alasan itu pulalah, Hendi tak menghentikan mobilyang dikemudikannya untuk singgah di Lubuak Bangku.
Lepas dari Lubuak Bangku, perjalanan menembuis hutan belantara Bukit Barisan pun dimulai dari mengikuti berlikunya jalan di kelok sembilan. Tapi kelok sembilan yang kami lalui kini tak lagi seperti kelok sembilan yang pernah saya lewati di awal tahun 60an dulu. Disamping jalannya yang sudah mulus, kini untuk mengurangi banyaknya tikungan serta sempitnya jalan yang dilewati, pemerintah Sumatera Barat tengah membangun jembatan layang yang lebar untuk memperlancar arus kendaraan, serta untuk mengurang kemacetan disaat puncak keramaian lalu lintas seperti lebaran dan natal serta tahun baru. Jembatan di Kelok Sembilan itu terdiri dari enam jembatan dengan total panjang hampir 10 kilometer.
Selain sebagai sarana transportasi, jembatan,jalan serta kawasan kelok sembilan ini nantinya juga akan di kembangkan sebagaidaerah tujuan wisata alam. Kawasan Bukit Barisan yang masih asli, akan menjadi daya tarik sendiri bagi para wisatawan yang ingin menikmati suasana hutan raya Bukit Barisan dengan segala kekayaan hayatinya.
Lepas dari kelok sembilan perjalanan diteruskan melalui jalan yang berliku-liku didinding Bukit Barisan. Adakalanya di sebelah kanan kami tebing tinggi menjulang ke angkasa, sementara disebelah kiri jurang curam menganga dengan dalam ratusan meter, atau sebaliknya. Namun indahnya pemandangan alam di sekitarnya itu, meredam rasa takut kami pada jurang yang dalam, maupun tebing yang tinggi.
Ditengah asyiknya menikmati pemandangan alam yang menakjubkan itu, mobil kami melewati lokasi tempat jatuhnya bus Yanti Group beberapa hari sebelumnya yang menewaskan beberapa orang penumpangnya.
Bagai suatu skenario yang telah disusun olehNYA. Pada saat kami lewat, bus Yanti Group itu telah berhasil di angkat keluar dari jurang yang dalamnya lebih dari seratus meter. Tubuh bus yang sudah tidak utuh itu dinaikkan keatas sebuah trailer. Nama bus yang tertulis didinding telah di timpa dengan cat, sehingga tak terbaca lagi.
Saya menyuruh Hendi memperlambat jalan mobil yang kami tumpangi, saya lalu memanfaatkan kesempatan itu untuk mengabadikan bangkai bus yang sudah porak-poranda, serta lokasi jurang tempat jatuhnya bus Yanti itu.
Sejak melewati lokasi jurang maut itu, pembicaraan kami di dalam mobil langsung fokus kemasalah tragedi bus Yanti Group tersebut, hingga kami sampai di Rumah makan Rangkiang. Kecamatan paling timur di Kabupaten Limapulu Kota, yang berbatasan dengan Kabupaten Kampar, Propnsi Riau.
Turun dari mobil, saya melihat jam menunjukkan beberapa menit menjelang setengah enam. Saya beserta beberapa orang penumpang lainnya langsung menuju mushalla, melaksanakan shalat ashar. Selesai shalat sebagian penumpang memesan makanan. Sebagian lain hanya sekadar minum kopi atau minuman lainnya. Sementara saya sendiri memesan nasi goreng, lalu menikmatinyadi meja khusus untuk para sopir, menemani Hendi yang sedang makan sendirian.
[caption id="attachment_104021" align="aligncenter" width="455" caption="Rudi, pengemudi mobil travel yang terpaksa dua kali menjemput saya ke Kamang Ilia."][/caption]
[caption id="attachment_104007" align="aligncenter" width="591" caption="Surau dengan arsitektur lama di dalam Komplek Stasiun Baso yang tak berbekas lagi, saksi sejarah perkeretaapian Bukitinggi - Payakumbuh"][/caption] [caption id="attachment_104009" align="aligncenter" width="591" caption="Pasar Baso yang menjadi pasar induk buah-buahan maupun sayur-sayuran untuk di bawa ke Pekanbaru"][/caption] [caption id="attachment_104010" align="aligncenter" width="591" caption="Pasar Baso"][/caption] [caption id="attachment_104012" align="aligncenter" width="591" caption="Labuah Luruih diapit sawah yang membentang dikiri kanan jalan"][/caption] [caption id="attachment_104014" align="aligncenter" width="591" caption="Sawah membentang luas hingga ke pinggir Bukit Barisan yang berdiri kokoh bagaikan benteng."][/caption] [caption id="attachment_104017" align="aligncenter" width="591" caption="Sawah yang baru di tanam, bagaikan memberi harapan pada masa panen mendatang."]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H