Di era persaingan yang semakin meningkat ini, para pemimpin menyadari pentingnya peningkatan kinerja. Sumber daya manusia dapat memperluas output individu melalui kolaborasi. Karyawan yang berkolaborasi dalam bekerja menjadi standar kerjasama team bagi organisasi (Alie, Beam & Carey, 1998). Ini adalah salahsatu sarana untuk meningkatkan pemanfaatan tenaga kerja dan berpotensi meningkatkan kinerja.
Dalam meghadapi ASEAN Community, negara – negara berkembang dituntut untuk terus meningkatkan daya saing, baik dalam sektor, pariwisata, pertanian, pendidikan dan sktor publik. Lembaga Negara yang mengelola jalannya pemerintahan merupakan organisasi sektor publik. Penyelenggara pemerintahan dituntut untuk mengimbangi kinerja pelayanan menjadi lebih baik efektif dan efisien agar masyarakat dapat memberikan kepercayaannya. Keputusan pemerintah melalui Undang – Undang Nomor 32 Tahun 2004 (yang diperbaharui dengan Undang – Undang Nomor 23 tahun 2014) tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-Undang Nomor 33 tahun 2004 tentang Perimbangan keuangan daerah dan pusat yang memberlakukan system desentralisasi pada pengelolaan pemerintahan memperkuat pentingnya penyelenggaraan pemerintah yang baik. Aturan tersebut membuat pemerintah daerah mendapatkan pelimpahan wewenang dari pemerintah pusat. Hal ini membuat pemerintah daerah semakin mandiri dalam menjalankan otonomi daerah. Kebijakan ini dimaksudkan supaya daerah terdorong untuk meningkatkan kinerja dan kapasistasnya yang tentunya juga dituntut untuk lebih transparan dan akuntabel dalam mengelola keuangan daerah.
Tuntutan profesionalitas kerja bagi pemerintah daerah dalam menjalankan pemerintahannya semakin besar. Hal tersebut bias kita lihat dalam Undang –Undang Nomor 5 tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara (ASN) yang memberikan amanat bahwa setiap pimpinan aparatur sipil Negara melaksanakan pekerjaannya secara profesioan dan tidak memihak, setiap keputusan yang diambil harus berlandaskan pada prinsip keahlian, menjaga dan menjunjung standard etika, dan bertanggung jawab kepada public atas kinerjanya. Pada Undang – Undang Nomor 5 tahun 2014 juga dijelaskan bahwa setiap aparatur Negara diharuskan memberian pelayanan yang baik dan berkualitas kepada public. Intinya bahwa pengelola pemerintahan diwajibkan meningkatkan kinerja menjadi kinerja terbaik dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat.
Secara umum, pelatihan dapat dibagi menjadi dua yaitu pelatihan formal dan informal. Pelatihan formal mengacu pada inisiatif yang memiliki metode yang terstruktur, dan dapat diidentifikasi oleh peserta dan pelatih dengan tujuan menciptakan kesadaran atau pengetahuan baru tentang proses atau aktivitas di tempat kerja (Patton and Marlow 2002), sedangkan pelatihan informal seringkali tidak memiliki struktur formal dan tujuan yang nyataka (Jayawarna et al. 2007). Dengan kata lain, informal pelatihan dapat berupa bantuan yang diberikan oleh pekerja senior (Sicherman 1990) atau tidak direncanakan secara formal oleh suatu organisasi (Mohamud, Ibrahim and Hussein, 2017)
Standar pelatihan, dan kompetensi serta motivasi Karyawan Honorer memiliki hubungan yang kuat, sehingga berpengaruh pada kinerja Karyawan Honorer secara langsung maupun tidak langsung. Dalam peningkatan kompetensi Karyawan Honorer dibutuhkan standar pelatihan yang tersusun secara sistematis agar Karyawan Honorer menjadi profesional dalam menjalankan tugasnya. Pendidikan dan pelatihan harus berorientasi pada hasil untuk memenuhi standar pelayanan minimal yang telah ditentukan oleh pemerintah. Untuk merealisasikan hal tersebut, maka ada banyak metode pembinaan dalam kontek standar pelatihan, dan peningkatan kompetensi sumber daya manusia, sebagaimana dikemukakan oleh Abdurrahman, (2006):
Meningkatkan kepribadian dan semangat pengabdian kepada organisasi dan masyarakat.
Meningkatkan mutu, kemampuan dan keterampilan dalam melaksanakan tugas maupun kepemimpinan.
Dari pendapat Abdurahman tersebut di atas, maka dapat diartikan bahwa sumber daya manusia dalam hal ini Karyawan Honorer harus memposisikan diri sebagai abdi atau pelayan masyarakat yang mampu memberikan pelayanan optimal pada bidang jasa yang dibutuhkan masyarakat. Agar dapat memberikan pelayanan tersebut maka harus memiliki kemampuan dan kompetensi dari Karyawan Honorer yang ditugaskan pada satuan kerja tersebut. Peraturan Pemerintah nomor 14 tahun 1994 tentang Pendidikan dan Pelatihan Karyawan Negeri Sipil. Membedakan tentang jenis diklat PNS yang merupakan persyaratan untuk diangkat dari calon PNS menjadi PNS yang diawali terlebih dahulu mengikuti pendidikan dan pelatihan, yaitu Pendidikan dan Pelatihan Prajabatan. Selanjutnya menurut Abdurrahman (2006:246) tentang kondisi yang semestinya pada Karyawan dinyatakan bahwa, “Karyawan akan menjadi pelaksana yang menunjang tercapainya tujuan, mempunyai tujuan, mempunyai pikiran, perasaan dan keinginan yang dapat mempengaruhi pikiran sikap - sikapnya terhadap pekerjaannya. Sikap ini akan menentukan prestasi kerja, dedikasi dan kecintaan terhadap pekerjaan yang dibebankan kepadanya. Sikap-sikap positif harus dibina, sedangkan sikap-sikap negatif hendaknya dihilangkan sedini mungkin”.
Pelatihan menjadi salahsatu faktor yang mempengaruhi kinerja, hal ini juga dikemukakan berdasarkan temuan dari penelitian (Prayogi dan Nasrudin, 2018) yang menyatakan bahwa pelatihan berpengaruh positif dan signifikan terhadap kinerja karyawan PT. Mopoli Raya Medan dengan hasil t hitung < t tabel (2,021 < 2,00). Hasil penelitian ini juga didukung oleh temuan lain dari penelitian (Ferry, 2018) yang menyatakan bahwa pelatihan berpengaruh positif dan sihnifikan terhadap kinerja karyawan pada PT. Indomaju Textindo. Namun penelitian (Alam et al., 2021) menyebutkan bahwa pelatihan online tidak berpengaruh positif dan signifikaan terhadap kinerja Karyawan.
Faktor selanjutnya yang dapat mempengaruhi kinerja adalah kompetensi. Kompetensi merupakan karakteristik utama yang dapat disesuaikan dengan peningkatan kinerja karyawan. Kompetensi diklasifikasikan menjadi pengetahuan, keterampilan, dan kemampuan Mathis dan Jackson (2001 dalam Yuniarsih dan Suwanto, 2009:23), hal ini dikaitkan dengan hasil penelitian mengenai pengaruh kompetensi terhadap kinerja menunjukkan hasil yang tidak sama. Sebagai contoh, Abidin (2010), dan Setyaningdyah et al. (2013) menyatakan bahwa terdapat pengaruh yang positif dan signifikan antara kompetensi dan kinerja. Di lain pihak Dubey (2011) dan Halloran (2017) menyatakan bahwa tidak terdapat pengaruh yang positif dan signifikan antara kompetensi dan kinerja.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H