Keberadaan anak selalu menuntut perawatan, bimbingan, perlindungan dan pertanggungjawaban penuh dari orang tua. Di sinilah orang tua butuh insting.Â
Insting sendiri merupakan dorongan naluri secara tidak sadar untuk bertindak tepat terhadap rangsangan tertentu yang tidak dipelajari, tetapi telah ada sejak kelahiran makhluk hidup dan bersifat turun-temurun (filogenetik).
Keberadaan seorang anak tentu memberikan arti dan pengaruh kepada orang tuanya, baik arti terhadap nilai, kebanggaan, dan keseempurnaan hidup.
Berdasar pada literasi di atas, saya mencoba berbagi pengalaman pribadi tentang cara menggali insting sebagai seorang ibu dalam menumbuhkan rasa kepercayaan diri anak perempuanku.
Anak pertamaku, Nur Annisa Damayanti, lahir tanggal 13 Agustus 2000 di Kota Surabaya, Jawa Timur.Â
Saat memasuki taman kanak-kanak swasta Islam di Surabaya, ia terlihat pemalu, pendiam, dan tidak berani menatap orang. Saya mengetahui hal itu karena ia bersembunyi di belakang saya supaya tidak terlihat oleh gurunya. Selama seminggu, saya ikut bersekolah di ruang kelas.
Sebagai orang tua, saya dan ayahnya berusaha semaksimal mungkin mencari cara untuk mengubah karakter tertutup dan pemalunya, seperti dengan membiasakan salim atau berjabat tangan dan mencium tangan sebagai bentuk kontak sosial dengan orang lain dan membiasakan Nisa berani mengemukakan pendapat dalam keluarga.Â
Kami sadar bahwa mengubah karakter tertutup dan pemalu tidaklah semudah membalikkan telapak tangan, tetapi membutuhkan proses dan komitmen.Â
Suatu kali, kami tidak sengaja melihat Nisa bercermin dengan berbagai gaya. Ternyata, Nisa pandai bergaya dan jalan berlenggak-lenggok layaknya seorang peragawati.
Akhirnya, saya memiliki insting untuk mengirimkan salah satu foto koleksi Nisa ke ajang lomba foto tanpa sepengetahuannya. Ajang ini bertajuk Kids Competition Talent tahun 2007.Â
Sesuai instingku, Nisa mendapatkan Juara III kategori Action dan layak berdiri di atas panggung untuk menerima piala. Sejak saat itulah, kepercayaan diri Nisa mulai tumbuh.