Mohon tunggu...
Dian Kaizen Jatikusuma
Dian Kaizen Jatikusuma Mohon Tunggu... Human Resources - Penulis, aktif juga di FLP Sumut

Ingin menjadi laki-laki subuh..

Selanjutnya

Tutup

Inovasi

Masih Belum Cukupkah Kita Meributkan Agama di Media Sosial?

13 Agustus 2012   01:46 Diperbarui: 25 Juni 2015   01:52 2056
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="attachment_192736" align="aligncenter" width="604" caption="Saya dan mas Venusgazer, dua sahabat yang berbeda agama, haruskah jadi korban keributan antar agama?"][/caption]

Pagi ini saya terbangun mendengar lolongan BB saya.. Dengan mata terpejam, saya dan istri saya berlomba merogoh-rogoh ke dalam timbunan bantal mencari sumber suaranya.. Wah, mas iwan budiarso, alias kompasianer Bengkellas.. Kata-kata pertama yang terbaca: “Mas akunku diblokir gara-gara menulis poligami dan selibat..” Mata saya langsung terbelalak, dan menatap kosong ke arah layar BB..

Saya sudah menduga, cepat atau lambat, sesuatu seperti ini akan terjadi.. Aksi, akan selalu memancing reaksi.. Saat membaca tentang artikel mas Aan Anak Bangsa, saya sudah yakin tindakan kontra akan muncul.. Itu sudah terbukti puluhan, bahkan ribuan kali, di forum-forum manapun.. Tindakan penghinaan terhadap agama manapun,apalagi jika dilakukan secara terus menerus, pasti akan memunculkan reaksi balasan..  Jika ada seseorang yang cukup bebal untuk menulis dan menyindir: “eh, poligami itu menjijikkan”, maka akan ada aja orang lain yang terpancing, dan tidak sanggup menerima hinaan tersebut, dan balas menghina: “eh dul komat kamit, itu sih masih mending, selibat tuh lebih ngawur”..

Lalu berlanjutlah dengan saling caci, yang melukai banyak pihak lain yang tidak terlibat pada awalnya.. Dan selalu akan muncul pihak ketiga yang kelihatannya netral, tapi komentar-komentarnya malah membuat pertandingan tinju, eh, kata, semakin panas, dan akhirnya melibatkan puluhan orang lain, yang biasanya paling sabar, untuk saling hina menghina.. Dan jangan-jangan, sang pembuat artikel kontroversial pertama, sedang terkekeh-kekeh di depan layar komputer, melihat upayanya untuk membenturkan sesama umat beragama berjalan dengan sukses..

Penghinaan terhadap agama, tidak pernah bisa dianggap sepele.. Saya sudah melihat berkali-kali, umat Islam yang paling moderat pun – yang keluarganya terdiri dari berbagai agama, dan dengan senang hati memilih Ahok sebagai pemimpin – akan terpicu marahnya, minimal protes keras, saat agamanya dihina.. Coba deh lihat, kompasianer yang biasanya paling moderat, paling sabar, dan paling rajin menabung, juga bisa naik pitam, jika agamanya dihina.. Kalau anda bilang: itu tandanya ia tidak dewasa, memangnya pelaku penghinaan itu baru saja menunjukkan kebijaksanaan dan toleransi tingkat dewa? Sungguh lucu jika ada orang yang menghina ibu kita, lalu saat kita marah dan keberatan, si  penghina berkata dengan santai: “Eh, ga dewasa banget sih kamu.. Baru gitu aja dah marah..” Atau jurus ngeles: “wah, aku ga menghina ibu kamu koq.. Kamunya aja yg ke GR an..” Gemes ga, liat orang-orang seperti ini?

Dewasa tidaknya kita, bukan ditunjukkan dgn tidak tersinggung saat orang menghina sesuatu yg kita cintai.. Tersinggung jika dihina, itu manusiawi.. Yg menentukan dewasa tidaknya kita, adalah apa yg kita lakukan dgn ketersinggungan kita itu..

Apa sih gunanya kita mengkritisi ajaran lain? Memangnya umat kita sendiri sudah sempurna, tidak perlu dibina lagi? Mana yang lebih bermanfaat, menghabiskan energi untuk mengkritisi umat lain, atau menyalurkan kapasitas kita untuk membina umat kita sendiri? Saya sungguh sangat mampu mengkritisi semua ajaran agama lain, lengkap dengan data-data valid, yang bisa membuat kerusuhan di kompasiana selama setahun penuh.. Tapi saya memilih tidak melakukannya.. Pertama: jika saya menuliskannya, saya akan melukai sahabat-sahabat saya dari agama lain, baik di dunia maya, maupun di dunia nyata.. Kedua, saya percaya, jauh lebih baik saya melakukan sesuatu yang bermanfaat untuk umat Islam..

So, untuk semua kompasianer, rubrik agama dihapus, bukan karena admin sedang iseng ga ada kerjaan, dan kehabisan ruang kanal. Rubrik agama dihapus karena berkali-kali ada pihak-pihak yang memanfaatkan rubrik tersebut untuk menghina agama, dan menimbulkan keributan dan perpecahan di antara sesama kompasianer.. Buktinya, artikel-artikel agama yang tidak menghina agama, selalu selamat dari guntingan admin, bahkan sampai saat ini..

Saya yakin kasus aan ini bukan kasus yang terakhir, dan akan ada akun-akun bebal dan ababil berikutnya yang membuat sesama kita saling hina, dan saling curiga.. Jika akun-akun seperti itu muncul kembali, mari kita segera menyerahkannya ke admin, agar mereka tidak sempat menyebarkan kebencian dan pertengkaran yang lebih luas lagi, dan akhirnya akan menghilangkan suasana nyaman di rumah kita bersama ini: kompasiana.. Saya rasa, banyak dari kita yang sudah cukup muak melihat caci maki antara umat beragama di hampir semua forum yang ada di internet..

Jika ada yang bilang: “jangan laporkan admin, biar tulisan dilawan dengan tulisan,” saya jadi ingin bertanya: Apa tulisan berisi hinaan memang harus dibalas?

"Toleransi di dunia nyata, sering lebih mudah, karena adanya interaksi.. Toleransi di dunia maya, seringkali hilang, karena tertelan koneksi.."

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun