[caption id="attachment_315492" align="aligncenter" width="500" caption="Ilustrasi/ Admin (Shutterstock)"][/caption]
Beberapa minggu yang lalu,linimasa saya menyajikan satu kejadian yang sukses membuat saya nyengir sekaligus miris. Semua berawal dari tweet salah seorang pecinta buku. Orang tersebut mengeluhkan desain cover salah satu buku terjemahan yang ia nilai buruk, padahal desain cover versi bahasa Inggrisnya sangat elegan. Tentu, tak lupa ia me-mention akun penerbitnya. Apa jawaban admin sang penerbit?
"Saran kami, tdk usah beli bukunya gitu aja kok repot wkwkwk"
Jawaban inilah yang membuat saya tertawa miris pagi-pagi. Bagaimana mungkin, sebuah penerbit menjawab keluhan konsumennya dengan mengatakan : "kalau gak suka dengan desain covernya, ya nggak usah beli". Seketika, hujan mention pun menimpa penerbit itu. Ada yang mengingatkan bahwa pertanyaan tentang cover tadi sebenarnya merupakan bentuk perhatian dari konsumen yang tidak sepantasnya ditanggapi sesinis itu, ada pula yang dengan sarkas mengatakan bahwa ia menyesal telah membeli buku dari penerbit tersebut lalu meminta uangnya dikembalikan, dan banyak yang malah menjadikannya lelucon. Entah apa yang menyebabkan admin sang penerbit memberi jawaban nyeleneh itu. Satu hal yang pasti, citra penerbit seketika runtuh di mata para follower, yang notabene juga merupakan konsumennya. Sangat disayangkan sekali. Memang, penerbit sempat memberikan pembelaan bahwa si pengkritik menggunakan bahasa yang tidak sopan. Tetapi di mata para follower, tetap saja sang admin yang bersalah. Pembeli adalah raja, ia berhak mengungkapkan uneg-uneg dengan cara apapun. Sementara penjual adalah pelayan, yang dituntut untuk selalu menjaga kesopanan.
Kalau melihat kasus ini, kehadiran jejaring sosial ibarat buah simalakama bagi penjual. Di satu sisi, ia memudahkan penjual mempromosikan produknya. Di sisi lain, ia memudahkan konsumen dalam menyampaikan uneg-unegnya secara terbuka. Mention twitter, post di fanspage fb, bahkan bisa juga dengan menulis surat terbuka di forum-forum online. Sebagai penjual, manusiawi rasanya jika ia merasa sedikit jengah dengan penyampaian kritik terbuka, apalagi kalau kritik tersebut disampaikan dengan bahasa yang kurang sopan. Nah, di sinilah letak ujian kebijaksanaan seorang penjual. Jika ia bijaksana, bukan tidak mungkin kritik tersebut justru bisa menjadi sarana baginya untuk meraih kepercayaan yang lebih tinggi dari publik. Bagaimana caranya?
1. Sadari bahwa kritik adalah hal yang wajar
Saat menerima kritik, pertama-tama tanamkan dalam diri kita bahwa ini adalah hal yang wajar, yang pasti pernah diterima oleh semua pelaku usaha di manapun.oTak perlu merasa down, tenangkan diri Anda, dan yakinlah bahwa semua masalah pasti memiliki jalan keluar. Alih-alih kesal dikritik, cobalah berpikir bahwa hal itu merupakan bentuk perhatian konsumen. Bersyukurlah karena konsumen tersebut masih mau mengingatkan Anda, padahal kan bisa saja dia cuek bebek dan langsung beralih ke produk lainnya. Kritik menunjukkan bahwa konsumen percaya Anda bisa memberikan performa yang lebih baik :).
2. Jangan fokus padabagaimana cara keluhan disampaikan, tetapi fokuslah pada apa yang dia keluhkan.
Setiap orang tentu memiliki cara yang berbeda-beda dalam menyampaikan keluhannya. Ada yang mungkin dengan sangat manis, namun terkadang ada pula yang nyelekit. Sebagai penjual, tak usahlah ambil pusing dengan cara penyampaian keluhan itu. Fokuslah mencari solusi logis untuk menyelesaikan keluhan tersebut, dan sampaikan solusi dengan sopan. Kebetulan, lagi-lagi linimasa menyediakan contoh bagaimana praktek yang baik menghadapi keluhan konsumen yang nyelekit. Kali ini, konsumennya adalah teman saya sendiri, yang mengeluhkan layanan provider salah satu operator seluler. Teman saya ini cowok asliJawa Timur, yang sepertinya sangat lumrah memakai kosakata makian *maaf* : jancuk. Suatu hari dia men-tweet :
"Bero @*********, saya langganan paket katanya otomatis perpanjang kok malah nyedot pulsa sampe hampir habis gini. Situ tau jancuk?"
Lantas, beberapa detik kemudian, sang admin menjawab seperti ini :
"@************ Pagi, langganan paketnya apa, BB atau Flash? -[nama admin]"
Dari percakapan di atas, bisa dilihat bahwa cara teman saya mengkritik tak bisa dibilang sopan, tetapi admin operator seluler yang dikritik berhasil untuk tidak terpancing. Admin itu fokus pada masalah apa yang terjadi, lalu memberikan solusi sesuai SOP. Saya yakin, konsumen manapun pasti akan senang jika diperlakukan demikian. Tak terkecuali teman saya yang mengkritik itu. Keesokan harinya, saat masalah sudah selesai, teman saya itu tak sungkan membuat tweet apresiasi seperti ini :
"Pulsa yang kepotong udah balik. Terima kasih, @******"
See? Memberikan tanggapan dengan sopan, tak peduli bagaimanapun konsumen mengkritik, bisa meningkatkan citra baik perusahaan :).
3. Cepat memberikan respon
Begitu ada keluhan/kritik, jangan pernah berpikir untuk menunda membalasnya karena hal ini hanya akan mengurangi kepercayaan konsumen. Balas pada kesempatan pertama. Yang dimaksud balas di sini tidak harus langsung berupa solusi, tapi minimal berikan respon bahwa keluhan mereka sudah kita baca, dan kalaupun solusinya masih harus menunggu koordinasi/konfirmasi dengan pihak ketiga, sampaikan dengan jelas pada konsumen. Lebih baik lagi jika kita mampu menjanjikan tenggat waktu penyelesaian. Yang pasti, jangan biarkan konsumen menunggu, bahkan mengira bahwa kita tidak membaca kritik mereka hingga mereka menghujani kita dengan mention/email/message bertubi-tubi.
4. Tindak lanjuti dengan Jalur Pribadi
Konsumen boleh saja mengajukan keluhan lewat media yang bisa dibaca umum (mention twitter/posting di Fanspage FB/posting di forum umum), tetapi jika keluhan yang mereka sampaikan bersifat mendetail dan teknis sekali, lebih baik coba minta mereka untuk berkomunikasi lewat jalur pribadi. Jika memungkinkan, penjual bisa meneleponnya untuk mengetahui riwayat lengkap permasalahan. Jika tidak, minta konsumen untuk mengirim message entah itu lewat twitter, facebook, ataupun email. Saat nanti masalah sudah teratasi, boleh kita membuat postingan klarifikasi bahwa masalah tersebut sudah selesai.
5. Gunakan kata : maaf, tolong, terima kasih
Tiga kata simpel yang akan membuat nuansa percakapan menjadi lebih berbeda. Jangan pernah segan menggunakan kata ini :). Jika pangsa pasar konsumen memungkinkan, tak ada salahnya pula kita menggunakan emoticon saat berkomunikasi dengan mereka, supaya lebih terasa akrab dan rileks.
Lima tips di atas memang belum teruji, karena saya hanya menyusunnya berdasarkan pengalaman sehari-hari. Apa yang saya harapkan jika saya menjadi konsumen, maka hal itulah yang coba saya berikan ketika saya berperan sebagai penjual di sini. Namun demikian, sebagai penjual, tentu lebih baik jika kita mampu mencegah timbulnya kritik. Bagaimana caranya? Tentu dengan memberikan produk terbaik ^^.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H