Saat ini saya mau membahas salah satu topik yang menjengkelkan bagi saya, yaitu adalah paham bahwa anak adalah investasi. Alasan saya ingin membahas hal ini karena akhir-akhir ini saya sering melihat komentar orang-orang dalam beberapa akun Tiktok yang memandang bahwa anak merupakan investasi bagi mereka. Berikut adalah contoh komentar yang saya temukan dalam media sosial Tiktok:
"Banyak anak banyak rejeki bos! anak bagi sy wajib banyak minimal 4 karena mereka wajib balas budi pada saya dan istri di masa depan!" ungkap Ma***r_G**
Ungkapan yang menganggap bahwa anak memiliki kewajiban untuk balas budi atau bahkan mengganti seluruh biaya yang dikeluarkan oleh orang tua selama mengasuh anaknya banyak ditemukan dalam komentar-komentar yang ada di Tiktok, seperti salah satu contoh yang saya sebutkan diatas.Â
Kecenderungan seperti ini, banyak membawa tekanan terhadap anak dalam aspek ekonomi karena tuntutan untuk "Balas budi" atas apa yang telah diterima oleh mereka selama ini.Â
Hal ini kemudian membawa pertanyaan baru bagi saya, siapa yang dengan kesadaran penuh ingin memiliki anak? Kenapa harus memiliki anak? Bagaimana cara untuk memiliki anak?Â
Bukankah kehadadiran seorang anak di dunia selain karena alasan teologis (diluar konteks kasus kekerasan seksual), merupakan hasil dari hubungan intim yang dilakukan oleh kedua orang tua dengan segala kesadaran penuh? Dengan berbagai alasan yang melatarbelakanginya. Lalu kenapa saat anak tersebut hadir di dunia, diberikan tanggungjawab untuk membawa keuntungan kepada orang tuanya?
Sebagai seorang calon orang tua dan orang tua, saya rasa setiap orang perlu memiliki kesadaran bahwa anak yang telah lahir ke dunia, merupakan tanggungjawab penuh orang tua dalam menyayangi dan mendidik, memberikan kecukupan secara materi dan memperhatikan perkembangan secara psikis hingga anak tersebut menjadi individu dewasa yang bisa hidup mandiri.
Orang tua memiliki tanggungjawab untuk memberikan pendidikan yang layak dan kasih sayang terhadap anak mereka. Namun, dalam beberapa kasus, pendekatan ini bisa berubah menjadi persepsi yang lebih pragmatis, di mana anak dipandang sebagai "investasi" untuk masa depan. Fenomena ini, meskipun kontroversial, tidak jarang terjadi di masyarakat modern.
Pandangan ini seringkali muncul dalam konteks ekonomi, di mana orang tua menganggap investasi finansial yang dilakukan untuk mendukung pendidikan dan pengembangan anak akan menghasilkan "dividen" di masa depan. Hal ini bisa termanifestasi dalam pemilihan sekolah yang mahal, les tambahan yang intensif, atau pengalaman ekstrakurikuler yang memperkaya.
Namun, pandangan ini juga dapat memiliki implikasi psikologis yang kompleks. Ketika anak dianggap sebagai investasi, tekanan untuk sukses dan mencapai ekspektasi tinggi seringkali dapat menimbulkan stres pada anak itu sendiri. Mereka mungkin merasa terbebani oleh harapan yang berat dan kurangnya kebebasan untuk mengeksplorasi minat dan bakat mereka sendiri.
Selain itu, risiko terjadi ketidakseimbangan antara kesejahteraan emosional dan pencapaian materiil anak juga perlu diperhatikan. Fokus yang terlalu besar pada kesuksesan finansial atau prestasi akademik bisa mengesampingkan perkembangan kesejahteraan mental dan emosional anak.