Menurut Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) Suharso Monoarfa, jumlah makanan yang terbuang di Indonesia terbesar se-ASEAN. Provinsi yang penduduknya diperkirakan paling banyak membuang makanan adalah Banten, Jawa Barat dan DKI Jakarta.
Beras dan jagung adalah jenis makanan yang paling banyak dibuang. Penyusutan kedua barang ini mencapai 3,5 juta ton. Jika ditotal pada 2045 bisa mencapai 5,6 juta ton. Padahal makanan yang terbuang tersebut bahkan cukup untuk memberi makan 62% warga miskin di Indonesia yang mencapai 25,22 juta jiwa atau 9,03% dari seluruh penduduk Indonesia.
Bappenas telah meluncurkan peta jalan Rencana Aksi Nasional Ekonomi Sirkular Indonesia 2025-2045 serta Peta Jalan Pengelolaan Susut dan Sisa Pangan dalam Mendukung Pencapaian Ketahanan Pangan Menuju Indonesia Emas 2045 untuk mencegah hilangnya potensi ekonomi akibat penyusutan dan sisa pangan.
Kerugian ekonomi akibat fenomena susut dan sisa pangan (food loss and waste) ini menurut Peta Jalan Pengelolaan Susut dan Sisa Pangan mencapai Rp. 551 triliun setiap tahun yang setara dengan 4-5% Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia.
Kapitalisme
Menumpuknya sampah makanan tidak cukup dengan memanfaatkan sisa makanan yang masih layak dikonsumsi. Namun, juga harus diperhatikan penyebab menumpuknya sampah makanan.
Perusahaan produsen pangan melakukan produksi besar-besaran dan inovasi varian produk baru demi target perolehan profit yang besar, padahal nyatanya tidak semua produk yang diproduksi itu mampu terserap oleh pasar. Kebebasan produsen ini akibat penerapan sistem kapitalisme yang menjadi akar dari permasalahan.
Kapitalisme memang hanya mementingkan produksi dan mengabaikan distribusi ke konsumen. Akibatnya, bahan dan produk pangan menumpuk tetapi distribusinya tidak merata. Inilah yang menjadikan masalah kemiskinan ekstrem tidak kunjung selesai.
Umumnya makanan yang kadaluwarsa akan dibuang. Susu bayi misalnya. Disaat disuatu wilayah banyak anak yang terkena stunting, disisi lain banyak susu yang terbuang. Yang menyedihkan lagi adalah ketika melihat makanan yang masih layak makan dimusnahkan karena tidak laku dijual.
Yang lebih membuat miris adalah ketika terdapat beras dan jagung yang dimusnahkan karena stok menumpuk di gudang, kemudian berkutu, bau apek dan mengalami penyusutan. Padahal disisi lain sedang ada panen raya. Ditambah lagi kabar pemerintah yang gencar mengimpor beras.
Faktor Distribusi
Disaat beras dan jagung dijual, ternyata disisi lain banyak penduduk miskin tidak bisa makan nasi dan jagung karena tidak mampu membelinya. Ini menjadi bukti jika proses distribusi tidak berjalan dengan baik.
Distribusi ini sesungguhnya adalah tugas pemerintah. Karena yang bertugas untuk mengatur distribusi pangan agar tidak menumpuk di gudang adalah tugas pemerintah. Oleh karena itu pemerintah sejatinya harus mampu mengatur distribusi agar beras dan jagung tidak menumpuk di gudang. Begitu juga dengan makanan lainnya termasuk makanan untuk balita. Dengan mekanisme yang tepat maka seluruh barang yang dibutuhkan masyarakat Pemerintah juga bisa membuat mekanisme agar makanan bisa didistribusikan pada masyarakat yang membutuhkan.
Namun upaya distribusi tersebut tidak akan mampu dilakukan karena dianggap akan merugikan industri, yakni merusak pasar. Para pengusaha tidak rela jika makanan tersebut silakan oleh rakyat miskin. Faktor konsumerisme dan sekulerisme mengakibatkan sikap individu yang tidak bertanggungjawab terhadap makanan. Mereka ridak menyesal membuang makanan.
Butuh Perubahan
Menumpuknya sampah makanan ini bisa diatasi jika pemerintah mengawasi industri agar tidak boros sumber daya. Pemerintah juga mendidik rakyatnya untuk menghargai makanan dan tidak menyia-nyiakannya.
Pemerintah juga harus mendidik masyarakat malalui pendidikan yang membentuk kepribadian Islam termasuk menghargai makanan sebagai rezeki dari Allah SWT.
Dari Abu Hurairah ra., "Nabi saw. tidak pernah mencela makanan sekalipun. Apabila beliau suka, beliau memakannya. Apabila beliau tidak suka, beliau pun tidak memakannya." (HR Bukhari no. 5409 dan Muslim no. 2064).
Islam juga mengajarkan untuk tidak bersikap mubazir terhadap makanan. Allah Swt. berfirman, "Dan janganlah kamu menghambur-hamburkan (hartamu) secara boros." (QS Al-Isra [17]: 26---27).
Namun semua langkah-langkah ini hanya bisa dilakukan jika sistem yang diterapkan adalah sistem Islam. Islam akan membentuk kebiasaan di masyarakat agar mereka tidak menyia-nyiakan makanan. Islam juga akan menghimbau untuk memproduksi makanan secukupnya, sesuai dengan kebutuhan pasar yang dihitung secara cermat. Jika ada industri atau pelaku usaha yang terbukti membuang-buang makanan, maka negara akan memberikan sanksi tegas.
Dengan langkah-langkah ini tidak akan ada lagi orang yang kelaparan, juga tidak ada pangan yang menumpuk dan terbuang sia-sia.
Wallahu'alam bishowab.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H