Mohon tunggu...
Dian
Dian Mohon Tunggu... Lainnya - Peternak

Hamba Allah

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Islam Atasi Persoalan Konflik Agraria

17 Oktober 2023   11:52 Diperbarui: 17 Oktober 2023   11:55 119
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia


Permasalahan konflik agraria yang terjadi di Pulau Rempang belum juga menemukan titik temunya. Meskipun pada Kamis  (28-9-2023) Pulau Rempang batal untuk dikosongkan sebagaimana yang telah direncanakan pemerintah. Nyatanya masyarakat desa Pasir Panjang, Sembulang belum bisa benar-benar bernafas lega. Pasalnya, Pemerintah maupun Badan Pengusahaan (BP) Batam hanya memperpanjang tenggang waktu pendaftaran dan tentunya bukan untuk memindahkan masyarakat dari kampung-kampung tua.

Hal ini diperkuat pernyataan Menteri Investasi, Bahlil Lahadalia bahwa rencana pembangunan proyek strategis nasional (PSN) Rempang Eco-City akan tetap berjalan. Hanya saja pemerintah "memberi waktu lebih" untuk sosialisasi. (BBC Indonesia, 28/9/23). Pernyataan tersebut kian menunjukkan bahwa pemerintah tetap berencana menggusur warga, hanya menunggu waktu eksekusinya saja.

Gempuran yang terus dirasakan masyarakat di Pulau Rempang, nyatanya tidak menyurutkan kegigihan mereka untuk mempertahankan tanah leluhur mereka. Salah satu bentuk penolakannya, mereka berkumpul di beberapa posko dan membentangkan spanduk penolakan relokasi. Rasa resah dan gelisah acap kali mereka rasakan setiap kali ada kendaraan masuk ke kampungnya.

Masyarakat Rempang kian sulit saat mendapatkan pasokan pangan. Distributor akan merasa takut untuk memasok barang karena status tempat tersebut yang hendak dikosongkan. Akibatnya, lambat laun persediaan bahan pangan pokok warga pun menipis.

Miris, apabila melihat kondisi rakyat Rempang. Mereka diusir dari tanah milik mereka sendiri yang telah didiaminya selama berpuluh-puluh tahun. Hal ini kian menunjukkan bahwa dalih "kedaulatan ditangan rakyat" hanyalah retorika tanpa realita.   Kenyataannya rakyat justru terusir dari tanah miliknya sendiri. Kedaulatan yang terjadi saat ini justru terletak pada pengusaha kapitalis, bukan di tangan rakyat.

Menurut Ombudsman RI, masyarakat Rempang sebenarnya sudah berupaya untuk melegalkan tanahnya. Namun pemerintah menggantungkan permohonan masyarakat Rempang, sehingga kini mereka tidak memiliki bukti kepemilikan lahan tersebut. Tentu saja persyaratan ini menjadi benturan dan menyulitkan mereka sebagai pemilik tanah.

Semakin miris, wilayah yang akan dipersoalkan bukanlah lahan kosong melainkan tanah yang berpenghuni. Pasalnya pemerintah telah menetapkan pulau Rempang sebagai kawasan Pengembangan Strategis Nasional (PSN) berupa Eco-City.

Masyarakat merasa dipermainkan dengan tawaran pemerintah terkait ganti rugi. Selain karena lokasi pemindahan belum siap. Juga belum ada dasar hukum terkait anggaran untuk kompensasi rumah pengganti, uang tunggu, serta hunian sementara bagi warga. Sementara dari pihak BP Batam hanya mengantongi Surat Keputusan Menteri Agraria dan Tata Ruang/BPN terkait pemberian HPL pada 31 Maret 2023. Namun, SK tersebut hanya berlaku sampai 30 September 2023.

Dalam konflik agraria yang terjadi di Pulau Rempang ini, Pemerintah justru berpihak kepada para pengusaha kapitalis dibandingkan rakyat. Pada sistem Demokrasi Kapitalis ini, rakyat lagi-lagi menjadi korban dari keserakahan penguasa. Hal ini sangat berlawanan dengan Sistem Islam.

Solusi Islam

Dalam sistem Islam,  standar benar dan salah dilandaskan dengan hukum syara'. Negara dalam hal ini berfungsi sebagai pengatur urusan rakyat. Negara juga akan melindungi dan memenuhi kebutuhan rakyat secara merata serta tidak memihak kepada sebagian kelompok.

Syariat Islam melindungi harta masyarakat secara total, termasuk kepemilikan lahan. Islam mengatur skema kepemilikan lahan secara adil. Warga dapat memiliki lahan dari hasil dari pemberian seperti hadiah, hibah atau warisan. Adapun terkait status tanah di Rempang, Syariat Islam telah mengaturnya  dengan clear terkait pengelolaan tanah mati. Warga dapat memanfaatkan lahan tersebut apabila terjadi penelantaran yaitu  tanpa diolah selama 3 tahun. Tanah ini termasuk tanah mati.  Bila ada yang menghidupkan setelah batasan waktu tersebut , mereka  secara syariy sah menjadi milik. Pemiliknya berhak mendapatkan bukti kepemilikan melalui prosedur yang berlaku. Negara sebagai pengurus kemaslahatan warga negara menyiapkan prosedur administasi yang mudah ditempuh oleh rakyatnya.

Sebagaimana Sabda Rasulullah Saw:

"Siapa saja yang menghidupkan tanah mati maka tanah itu menjadi miliknya dan tidak ada hak bagi penyerobot tanah yang zalim (yang menyerobot tanah orang lain)." (HR at-Tirmidzi, Abu Dawud dan Ahmad).

Demikian, Islam mengatur persoalan agraria sehingga minus masalah. Kalaupun ada konflik, maka penyelesainnya dengan menggunakan standar syariat yang diadopsi oleh negara. Negara  melindungi keamanan hak milik rakyat bukan menelantarkannya atau mengusir dari tanah milik sendiri. Wallahualam bissawab.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun