Pesan moral yang diambil dari petuah yang disampaikan, diantaranya mengajarkan masyarakat untuk berperilaku baik, tidak curang, serta  tulus ikhlas dalam mementingkan menjaga kedamaian dan kesejahteraan masyarakat sekitarnya. Tradisi ini juga berkaitan dengan ajaran yang termaktub dalam kitab Sarasamuscaya, Bhagavad Gita, dan Menawa Dharmasastra.
Dalam Kitab Sarasamuccaya, 81, yang berbunyi:
Duragam bahudaghami prarthanasamsayatmakam,
Manah suniyatam yasya sukhi pretya veha ca.
Nihan ta krama nikang manah, bhnanta lungha svabhawanya,Â
akweh mangen-angenya, dadi prathana, dadi sangsaya,Â
pinakawaknya, hana pwa wwang ikang wenang humeret manah, siraÂ
tika menggeh amanggih sukha, mangke ring paraloka kabeh
Memiliki arti bahwa : Â "Keadaan pikiran itu demikianlah tidak berkententuan jalannya, banyak yang dicita-citakannya, terkadang penuh kesangsian, demikianlah kenyataannya; jika ada orang dapat mengendalikan pikirannya, pasti orang itu memperoleh kebahagiaan, baik sekarang maupun di dunia yang lain".
Petuah tersebut membahas sifat serakah manusia yang berasal dari keinginan manusia untuk bebas berkehendak. Kebebasan berkehendak sering menuntun manusia ke dalam godaan materi, hingga cenderung bersikap pragmatis. Jika manusia tidak mampu mengendalikan diri, maka datanglah kegelisahan dan ketidakpuasan. Â
Manusia akan menghalalkan berbagai cara termasuk tindak korupsi untuk memenuhi keinginannya. Sloka ini menekankan pentingnya pengendalian pikiran dan menguasai keinginan yang bersifat nafsu sesaat. Pikiran yang sifatnya materialistis harus dikendalikan, guna menghindari perbudakan objek-objek duniawi yang menghadirkan sifat tamak.