Indonesia tengah dilanda badai disorientasi cara pandang dan moral etika yang tercabik-cabik. Hingga lahirlah kultur kebohongan dan praktik korupsi. Korupsi demi korupsi menjadi permainan kotor dari mulai penguasa, Â kalangan menengah, hingga kalangan bawah.
Catatan sejarah menunjukkan tren kasus korupsi di Indonesia meningkat setiap tahunnya. Dari data hasil pantauan ICW, ditemukan sebanyak 791 kasus korupsi di tahun 2023, dengan taksiran kerugian negara mencapai Rp 28,4 triliun. Merebaknya kasus korupsi yang terjadi, sejatinya menjadi musuh kesejahteraan masyarakat. Efek domino juga bermunculan, sebabkan lunturnya kepercayaan masyarakat akibat terampasnya hak rakyat.
Tindakan kotor ini kebanyakan didasari karena sebab internal, diantaranya karena sifat serakah dan melekatnya hedonisme serta konsumerisme yang disertai bayang-bayang gaya hidup mewah. Selain itu pula, tumbuh suburnya korupsi juga didukung dari sikap pembenaran di sekelilingnya, diantaranya menutupi tindakan curang orang lain, pembenaran korupsi dengan dalih membahagiakan keluarga ataupun anggapan perusahaan sudah untung besar.
Beberapa faktor eksternal yang mewarnai tindak tanduk koruptor juga disebabkan berbagai alasan. Utamanya karena terpicu kesempatan berkedok khilaf, lemahnya sistem pengawasan lembaga, dan akibat  kondisi terhimpitnya perekonomian keluarga. Korupsi juga menjadi bumbu pelengkap dari kasus suap-menyuap untuk naik jabatan ataupun meraih keringanan hukuman di pengadilan.
Korupsi menjadi perbuatan yang mencederai nilai agama dan sosial serta perbuatan tidak etis yang merusak citra diri dan bangsa. Korupsi menjauhkan masyarakat dari cita-cita bangsa, membangun negara yang berdaulat adil dan makmur. Bagaimana caranya Indonesia jadi kaya dan makmur, di saat praktik korupsi makin bertumbuh subur? Lalu, bagaimana cara memberantasnya?
Upaya internalisasi kearifan lokal dan budaya bisa menjadi jawabannya. Variabel budaya yang menjadi identitas bangsa dapat dijadikan penyokong peradaban manusia, hingga memunculkan sikap anti-korupsi jika diperkenalkan sejak dini. Tentunya, budaya mengisyaratkan adanya nilai-nilai perilaku, adat-istiadat, tradisi maupun pola pikir yang lama-kelamaan mengakar kuat pada masyarakat.
Kini, kita pun merasakan era tergerusnya akar budaya bangsa hingga warisan kearifan lokal oleh pusaran disrupsi kemajuan teknologi. Tak ayal lagi, budaya barat dengan mudahnya diterima dan dijadikan sasaran enkulturasi para generasi milenial dan gen z. Padahal, Indonesia kaya akan budaya dan tradisi yang luar biasa. Dimana pendidikan bermuatan lokal ini berperan penting dalam penghayatan dan internalisasi nilai-nilai intelektual lokal.
Sebab itu, perlu dilakukan enkulturasi budaya sikap anti-korupsi lewat pembelajaran budaya sejak dini, yang diperkenalkan oleh orang tua dan masyarakat sekitar. Karena korupsi tidak dapat diberantas hanya dengan mengandalkan hukum pidana saja. Masyarakat diharuskan patuh pada nilai-nilai tradisi yang mencerminkan keteladanan. Demi mencegah penyimpangan etika, hingga menciptakan kesadaran menjaga integritas. Dengan begitu, upaya pembelajaran budaya memiliki dampak positif, bagi upaya pelestarian kearifan lokal sekaligus menanamkan nilai luhur. Salah satunya adalah  nilai-nilai anti-korupsi yang menjadi pedoman bagi generasi muda agar tak masuk  jurang keserakahan.
Penanaman nilai budaya anti-korupsi salah satunya diajarkan dalam tradisi Matiti Suara di Bali. Tradisi kuno ini masih dilangsungkan di Desa Batur, Kintamani. Setiap tahunnya, digelar upacara  Ngusaba Kadasa yang dilaksanakan pada bulan April yang menjadi puncak rangkaian tradisi Matiti Suara. Upacara tersebut dilakukan di Pura Kahyangan Jagat  Pura Batur, Kintamani.
Selama upacara berlangsung, Jero Guru Bedanginan sebagai Kesinoman, menjadi pelaksana utama upacara. Jero Guru menyampaikan sabda petuah dari sesuhunan yang berasal dari Ida Bhatara sebanyak tiga kali, sementara warga Desa Batur menjawab sambil berteriak, sebagai tanda ketulusan dalam menerima sabda tersebut.