Kalau pun ada kritik atau keluhan dari masyarakat yang bernada mencemaskan kualitas sinetron bernuansa agama, tidak ada yang bisa mengubah keadaan. Sinetron itu tetap terus digarap dan masyarakat tetap saja melihat, meski sudah tahu sinetron yang dilihat sama sekali tak mencerminkan kehidupan agamis.
Memang, ketika orientasi ekonomi begitu mendominasi sebuah pruduk, akhirnya esensi dan nilai dari produk itu akan terkalahkan. Maka menjadi sah saja jika Karl Marx mengungkapkan bahwasannya komoditas berakar pada orientasi materialis (Marx via Ritzer dan Goodman). Orang-orang memproduksi obyek tertentu untuk bertahan hidup, tak terkecuali sinetron berlabel agama.
Mereka yang terlibat produksi produk itu bukanlah bekerja untuk eksistensi dirinya sebagai manusia, melainkan untuk kapitalisme, untuk pemilik modal. Merekalah pemenang dari pertarungan citra dan selera karena mereka memiliki uang untuk membeli citra dan selera itu.
Sebetulnya, bukan penonton (masyarakat) yang berkuasa dalam memutuskan untuk mengkonsumsi citra dan selera. Tapi yang berkuasa adalah produser dan televisi. Masyarakat justru berada dalam posisi lemah, posisi menerima, bukan posisi untuk bernegosiasi dengan produser dan televisi.
Pertanyaannya sampai kapan masyarakat kita terus dijejali sinetron yang demikian? Para pembuat sinetron dan televisi seperti tidak pernah lelah untuk terus memproduksi citra agama dengan caranya sendiri. Meski sebetulnya bukan hanya citra agama yang sedang diperdagangkan. Citra manusia Indonesia juga dijungkirbalikkan. ***
CATATAN:
Tulisan ini pernah dimuat di hariandetik [hariandetik.com], 1 Juni 2012, kemudian saya dokumentasikan di blog: dianing .wordpress.com
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI