Mohon tunggu...
Dee Latif
Dee Latif Mohon Tunggu... Administrasi - Sulung dari 5 bersaudara

Pecinta kucing, suka merajut sambil dengerin musik atau nonton drakor n k show

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Jangan Jadi Relawan Wangi

3 Oktober 2016   13:43 Diperbarui: 3 Oktober 2016   15:08 515
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Dua minggu telah berlalu sejak saudara-saudara kita di Garut Jawa Barat mengalami musibah banjir bandang, bantuan segala rupa datang dari setiap penjuru. Posko-posko tanggap darurat bencana berjajar sepanjang jalan dengan spanduk bertuliskan nama lembaga dan gambar logo yang berbeda-beda (posko parpol juga banyak), meriahnya hampir sama dengan bazaar hari Minggu di sekitar alun-alun kota Garut. Tinggal pilih kalau hendak menyalurkan bantuan mau disalurkannya melalui posko yang mana? Atau pilih petugas dan relawan yang seragamnya sesuai dengan warna favorit anda juga boleh, atau datang langsung ke lokasi dengan bendera sendiri pun tidak ada yang melarang.

Niat baik tidak akan pernah ditolak, namun akan lebih baik jika sebelum memberikan bantuan kita mencari info dahulu mengenai barang dan jasa apa saja yang masih perlu disediakan untuk memulihkan wilayah pemukiman yang terdampak bencana. Bisa bertanya melalui relawan yang masih setia bertahan di lokasi, karena mereka yang lebih faham situasi dan kondisi terkini. Cari tahu juga daerah mana saja yang belum optimal tersentuh uluran tangan para donatur dan relawan. Jangan sampai bantuan yang sedianya layak menjadi tidak layak lagi karena sudah berlebihan seperti tumpukan pakaian di pinggir jalan raya yang kini menjadi bagian dari masalah kebersihan lingkungan di kota Garut.

Dokumentasi Pribadi
Dokumentasi Pribadi
Sabtu lalu (1/10/2016) saya dan beberapa teman berkesempatan untuk menunaikan janji silaturahmi ke rumah seorang teman di Garut, momen ini sekalian dimanfaatkan untuk membawa titipan bantuan dari komunitas yang ada di Jakarta, tidak pakai bendera, spanduk, atau seragam, disalurkan langsung ke dua lokasi terdampak bencana, salah satunya wilayah RW di Kampung Lame (belakang pabrik susu MDL 525), tidak melalui posko resmi, karena kebetulan suami teman yang kami kunjungi itu adalah salah satu aktivis REKAPALA (Remaja Kelana Pecinta Alam) yang sejak awal bencana hingga waktu yang belum ditentukan akan terus berupaya memulihkan kampung Lame dan sekitarnya sehingga menjadi pemukiman yang aman dari bencana banjir bandang susulan.

Warga kampung Lame punya memori yang tidak akan terlupakan dalam sejarah banjir bandang kali ini, pasalnya jiwa mereka terselamatkan ketika musibah terjadi, karena saat detik-detik kejadian berlangsung, mereka semua sedang berkumpul di atas jembatan menyaksikan derasnya aliran air yang mengamuk di Sungai Cimanuk, tidak menyadari kalau ternyata pemukiman mereka sudah dilalui air bah setinggi atap, baru ketika berbondong-bondong pulang mereka mendapati mulut gang sudah penuh terhalang air pekat berlumpur, sampai dengan hari Sabtu (01/10/2016) masih terlihat bukti lewatnya air berbekas di dinding luar rumah warga. Karena tidak terdapat korban jiwa, kampung tersebut awalnya sepi bantuan, makanya Relawan dari komunitas pecinta alam REKAPALA dan komunitas pelestari lingkungan RAWAYAN beraksi disini. Karena warga kampung Lame tetap berstatus sebagai korban yang perlu diperhatikan. Aksi REKAPALA dan RAWAYAN tidak hanya cepat tanggap, tapi juga tepat sasaran.

Dokumentasi Pribadi
Dokumentasi Pribadi
REKAPALA dan RAWAYAN tidak hanya menyalurkan bantuan berupa barang-barang kebutuhan sehari-hari, tetapi mereka juga menyumbangkan tenaga dan pikiran untuk meminimalisir dampak banjir bandang susulan yang sewaktu-waktu akan kembali menerjang semua pemukiman di sepanjang aliran sungai Cimanuk dan cabang-cabangnya. Karena menurut informasi dari Aa Mega REKAPALA, hujan deras selama 15 menit saja bisa menyebabkan banjir setinggi pinggang orang dewasa. Hal itu terjadi karena masih banyak lumpur yang mengendap di dalam gorong-gorong, menyebabkan pendangkalan daerah aliran sungai. Apalagi banyak lokasi pemukiman yang kondisinya seperti kampung Lame, tertutup oleh tembok tinggi pabrik. Selain itu masih ada saja warga Garut yang dengan santainya buang sampah sembarangan ke sungai, bikin gemes relawannya.

Ketika mengunjungi kampung Lame, saya terkesima menyaksikan para relawan yang sedang asyik mengeruk lumpur dalam gorong-gorong, usia mereka relatif masih muda, baik yang laki-laki maupun perempuan sama saja rajinnya, sesekali bersenda gurau namun tangannya tetap cekatan, keruk - angkut - buang lumpur, begitu terus bolak-balik meski lelah dan seluruh tubuh bahkan wajah berlulur lumpur, bukan lumpur sehat ala salon spa melainkan lumpur kotor dengan bau khas comberan. Tidak hanya itu, mereka juga membuat jadwal jaga malam di beberapa titik sepanjang bantaran sungai Cimanuk, mengawasi  ketinggian debit air dan meneruskan informasinya ke setiap titik pengamatan. Beda banget dengan aparat resmi yang katanya tidak bisa tanggap darurat karena biasanya menangani bencana gunung berapi, jadi belum punya pengalaman menghadapi bencana banjir bandang. Mungkin mereka lupa dengan pepatah “Learning by doing”.

Dokumentasi Pribadi
Dokumentasi Pribadi
Kami masih melipir di pinggiran gang sempit kampung Lame, saat serombongan bapak-bapak, ibu-ibu dan adik-adik berseragam rapi lewat dengan kamera digital bahkan sebagian membawa kamera professional. Satu dua orang bertanya dengan canggung kepada relawan “eh….ini banjirnya semana?” dia “oh” saja setelah mendapatkan jawaban, lalu lanjut ambil foto lokasi sekali, foto diri sendiri berkali-kali. Kelakuan mereka beda tipis menyebalkannya dengan saya yang hanya datang terus menonton relawannya bekerja. Dan ternyata karakter pengunjung di lokasi bencana memang mayoritas seperti itu, datang meninjau, wawancara dan foto-foto buat bukti kalau pernah kesini, kemudian memajang fotonya di media sosial online.

Dokumentasi Pribadi
Dokumentasi Pribadi
Sepertinya lokasi banjir bandang Garut sedang menjadi destinasi wisata bencana yang trendy di kalangan para komunitas gaul, travelling dan lain sebagainya. Saat dalam perjalanan pulang-pergi Garut, kami sering berpapasan dengan bus pariwisata, mini bus, bahkan mobil pribadi dengan spanduk bhakti sosial bencana alam Garut beserta nama lembaga atau komunitas tertentu dari daerah luar Garut. Menurut Aa Mega, sudah banyak yang datang bermaksud menjadi relawan, tapi banyak juga yang ragu-ragu antara mau masuk lokasi dengan berani atau mundur cantik karena mungkin belum siap mental, tidak rela kotor atau takut bau lumpur, relawan yang semacam ini dapat julukan “Relawan Wangi”.

Sejak bencana alam terjadi relawan datang dan pergi silih berganti, dengan usia yang beragam dari mulai kalangan remaja hingga orang dewasa, dari yang rapi jali sampai gayanya gaul abis, semuanya berbeda penampilan tapi tetap sama kelakuan, terpampang nyata di depan mata para warga saat mereka asyik selfie dengan latar belakang lokasi bencana, bahkan kami melihat ada komunitas yang memakai kaos seragam bertulikan “The Adventure……..” berpose dengan senyum merekah di atas jembatan berlatar belakang pemandangan sungai Cimanuk yang “indah” pasca banjir bandang, mungkin mereka habis bekerja atau akan bekerja di lokasi terdampak bencana seperti relawan REKAPALA dan RAWAYAN. Sungguh kerennya mereka ya…..

#relawanwangi #relawangarela #relawisatawan|Dokumentasi Pribadi
#relawanwangi #relawangarela #relawisatawan|Dokumentasi Pribadi
Ada juga sekelompok ABG yang mojok di parkiran masjid Agung Garut sedang mendandani salah seorang temannya dengan kostum berlumur lumpur dan menyapukan lumpur tersebut ke wajahnya, maksudnya apa ya? Ada yang sudah siap dengan kamera canggihnya. Mau pentas teater atau biar merasakan penderitaan para korban?. Sebenarnya penasaran ingin bertanya langsung, tapi tidak berani, takut mengganggu privasi. Urusan mereka mau melakukan apa. Terserah saja lah…..

Dokumentasi Pribadi
Dokumentasi Pribadi
Mungkin sudah jadi budaya, setiap kali ada bencana alam di Indonesia akan bermunculan para relawan serupa wisatawan. Meski begitu kita tidak boleh selalu berburuk sangka, masih banyak komunitas lainnya yang dengan sukarela membantu, tidak hanya REKAPALA dan RAWAYAN, ada juga mahasiswa dari ITB dan mungkin masih banyak yang lainnya, kita tidak menyadari keberadaan mereka  kalau tidak sengaja bertanya mereka siapa dan dari mana, relawan yang seperti ini seolah tidak eksis karena membaur dengan warga di lokasi bencana.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun