Jelang lebaran permintaan penukaran uang meningkat di sejumlah daerah di Indonesia. Dengan adanya peningkatan permintaan ini, maka diharapkan masyarakat perlu mewaspadai peredaran uang palsu. Sunguh miris memang, bulan suci Ramadhan yang harusnya dijadikan ajang untuk meningkatkan ketaqwaan, ternodai oleh oknum-oknum yang memanfaatkan keadaan.
Mengapa fenomena peredaran uang palsu terus berulang setiap tahunnya? Hal ini tidak terlepas dari fakta kemiskinan yang sedang terjadi di negeri ini. Kemiskinan kerap menjadikan rakyat "kreatif" untuk mencari berbagai modus penipuan. Pendidikan yang rendah semakin memperburuk keadaan. Para pelaku tidak pernah memikirkan dampak dari perbuatan mereka. Mereka tutup mata dari efek domino perbuatan maksiat tesebut.
Perkembangan teknologi percetakan yang melaju pesat dengan ketersediaan barang dan harga yang terjangkau, memberi kemudahan para oknum untuk semakin leluasa mencetak uang palsu. Dari mulai cara tradisional sampai profesional dilakukan agar menghasilkan uang haram tersebut.
Peredaran uang palsu merupakan salah satu jenis kejahatan yang sangat merugikan masyarakat, baik sebagai pelaku ekonomi maupun konsumen. Bentuk kejahatan ini memiliki dampak yang sangat luas. Bukan hanya pelaku ekonomi kecil, sistem perekonomian negara secara nasional pun terkena dampaknya.
Kejahatan pemalsuan uang termasuk dalam kejahatan kerah putih atau White Collar Crime. Mengapa demikian? Hal itu dikarenakan para pelaku seringkali justru datang dari kalangan profesional, memiliki modal, dan berpendidikan tinggi. Pasalnya  tak mudah untuk membuat uang palsu, butuh pengetahuan berkaitan dengan teknologi canggih. Butuh relasi dan jaringan yang terpercaya. Para pelaku  tidak bergerak secara individu, mereka terorganisir bahkan kadang mendapat perlindungan dari oknum pejabat.
Pemerintah nampak masih lemah dalam menangani kasus peredaran uang palsu. Hal ini terlihat dari proses penyidikan dalam mengungkap kasus-kasus pemalsuan kebanyakan hanya pada tataran pengedar saja yang tertangkap, sedangkan puncak piramida kejahatan ini seperti sulit untuk dijangkau. Pemerintah harus serius dan tegas untuk membasmi para pengedar uang palsu. Sanksi yang selama ini diterapkan, nampaknya tidak memberikan efek jera kepada para pelaku.
Namun, perlu diingat bahwa permasalahan peredaran uang palsu bukan semata kejahatan ekonomi. Hal tersebut merupakan imbas dari kebijakan kapitalistik yang saat ini sedang diterapkan. Kebijakan negeri ini banyak yang pro terhadap para pengusaha, sehingga rakyat sering menjadi korbannya. Rakyat harus bersusah payah memenuhi kebutuhan hidup, tidak ada yang mengurusi. Kehadiran negara hanya sebagai regulator bukan pemain utama yang mengurusi rakyat. Negara memindahkan wewenang dan tanggung jawabnya kepada pihak lain (korporasi dan oligarki). Negara hanya menjadi wasit yang keputusannya sering berat sebelah ke arah pengusaha. Alhasil keuntungan dari proses ekonomi lebih banyak mengalir ke kantong mereka. Ini penyebab utama hingga akhirnya rakyat mencari caranya sendiri untuk bertahan hidup, salah satunya dengan melakukan tindakan pemalsuan uang. Tentu kita tidak membenarkan tindakan ini, sekalipun alasannya adalah bertahan hidup. Hanya saja yang perlu digarisbawahi adalah bahwa pemalsuan dan peredaran uang palsu tidak akan berhenti  jika tidak disertai perubahan sistem negera ini. Tak cukup rakyat diberikan tips dan trik untuk mengidentifikasi uang palsu. Perlu juga merevisi total kebijakan negeri ini.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H