Tahun 2024 adalah tahun yang "ramai". Ramai balihonya, ramai bansosnya, ramai juga janji-janji manisnya. Pesta rakyat 5 tahunan sudah digelar pada Februari lalu. Sudah kesekian kalinya rakyat diberi harapan palsu dalam setiap pemilu. Akankah kali ini rakyat bisa berharap pada partai-partai maupun calon yang diusungnya? Nampaknya harapan itu hanya ekspektasi belaka karena faktanya mungkin akan sama seperti kisah terdahulu, habis manis sepah dibuang.
Praktik demokrasi penuh dengan kelemahan dan kekurangan. Sebagai contoh ialah biaya politik yang mahal dalam setiap pemilihan kepala daerah maupun pemilihan umum. Hal ini diakui oleh banyak pihak bahwa butuh dana jumbo untuk membiayai seseorang dalam kontestasi politik. No free lunch, mahalnya biaya politik bisa menyebabkan lahirnya pejabat-pejabat korup yang memanfaatkan posisinya untuk mencari keuntungan atau minimal balik modal kampanye.
Janji-janji manis masih menjadi alat untuk menggaet pemilih. Semua retorika indah disampaikan agar dapat menyentuh emosi, menarik simpati dan empati rakyat. Namun, realitas empiris banyak yang tidak sejalan dengan apa yang dijanjikan kepada rakyat. Pada titik inilah, tidak sedikit para calon menunjukkan praktik politik demagogi dan narsisme politik.
Cawapres Mahfud MD pernah menuturkan dalam sebuah forum pada tahun 2015 silam bahwa demagog dan narsisme politik adalah dua penyakit yang akan selalu mengiringi sistem politik demokrasi. Demagog adalah para orator ulung atau pemimpin penggerak politik yang pandai mempengaruhi rakyat untuk mencapai tujuan-tujuan kekuasaan dengan cara menghasut. Fakta demagog bisa kita lihat pada para pejabat negara yang pandai membuat pencitraan. Namun hakikatnya membohongi rakyat.
Sedangkan narsisme politik adalah sebuah sikap terlalu percaya pada diri sendiri dan merasa dirinya sebagai pihak yang paling berkontribusi atau yang paling berhasil. Dengan narsisme tersebut diciptakan berbagai hal untuk membangun political branding. Sibuk mengunggulkan kelebihannya, demi menguatkan citra baik.
Demagog dan narsisme secara sporadis kerap menjangkiti politikus, khususnya menjelang pemilu. Kedua penyakit ini menjadikan pengidapnya seolah-olah memperjuangkan kepentingan rakyat, padahal tujuan utama mereka yaitu untuk memperoleh kekuasaan dan keuntungan.
Ada sebuah ungkapan yaitu the end does not justify the means (tujuan tidak boleh menghalalkan segala cara). Dalam sistem politik demokrasi, ungkapan tersebut hanyalah sebuah quote tanpa makna. Faktanya, tampak kecenderungan yang amat nyata bahwa para demagog dan mereka yang mengidap narsisme politik menghalalkan segala cara demi tercapainya tujuan.
Apa buktinya? Meningkatnya kasus korupsi di negeri ini menjadi bukti nyata. Korupsi yang terjadi bukan lagi pada tataran pejabat kelas atas, namun sudah merata pada hampir semua sendi pemerintahan. Korupsi adalah indikasi paling terang penghalalan cara untuk meraih keuntungan atau kekuasaan.
Sudah saatnya rakyat membuka mata dan telinga terkait praktik jahat demokrasi yang sedang terjadi di negeri ini. Politikus demagog banyak berkeliaran, tipu dayanya  bertaburan, maka ini menjadi ancaman besar bagi rakyat. Mereka hadir dengan seribu wajah yang berbeda untuk menghasut rakyat. Ketika masalah bermunculan, para demagog pun akan mencari tumbal sebagai scapegoat (kambing hitam).
Semoga para demagog tidak lupa dengan hadits yang berbunyi : "Tidaklah seseorang diamanahi memimpin suatu kaum kemudian ia meninggal dalam keadaan curang terhadap rakyatnya, maka diharamkan baginya surga." (HR Bukhari-Muslim).
Butakah mereka terhadap akhirat sehingga acuh dengan peringatan Allah? Tak belajarkah mereka dari kisah para demagog terdahulu? Sebut saja Fir'aun, Haman dan Qarun, mereka adalah contoh sosok demagog dan narsisme politik yang sukses di zamannya. Lalu bagaimana nasib mereka diakhir hayatnya? Sebuah akhir kehidupan yang tentunya tak ingin dialami oleh pejabat manapun.
DEMOKRASI CACAT DARI LAHIR
Demokrasi memang sudah cacat sejak kelahirannya, sehingga siapapun yang mengikutinya pasti cacat juga. Dua filsuf besar Yunani kuno yaitu Plato dan Aristoteles sekalipun, skeptis dengan demokrasi sebagai sistem pemerintahan. Sekeras apa pun usaha untuk memperbaiki demokrasi, pasti tak akan mampu menjadikannya baik. Hal itu dikarenakan masalah demokrasi itu bukan sebatas pada "siapa", tetapi pada "apa", yakni pada demokrasinya itu sendiri.
Sehingga ketika kita berpikir bahwa demagog dan narsisme politik akan hilang jika pemerintahan diisi dengan figur-figur yang memiliki track record  baik dan semua akan baik-baik saja, sungguh ini pendapat yang keliru.Â
Kehadiran demagog dan kaum narsisme tidak akan teralienasi dari politik jika demokrasi masih dipakai sebagai landasan. Kita pun mengetahui bahwa dalam demokrasi suara terbanyak adalah yang menang, tapi belum tentu suara terbanyak itu pasti benar. Bayangkan ketika suara-suara yang menang adalah suara para demagog dan oligarki, maka sudah pasti rakyat akan menjadi tumbal demokrasi.Â
Hari ini saja kita bisa merasakan banyak agenda pemerintahan mulai dari pembangunan, reformasi birokrasi dan pemberantasan korupsi terhambat dengan merebaknya para demagog yang kemudian saling melindungi dan bersembunyi dalam payung-payung hukum yang mereka buat sendiri. Sudah saatnya demokrasi ini dicabut dari akarnya. Harus ada perubahan revolusioner pada negeri ini.
SISTEM ALTERNATIF
Bicara perubahan tentu tidak akan lepas dari membahas sistem. Setidaknya ada 3 sistem utama pemerintahan di dunia ini, yaitu kapitalisme, komunisme, dan Islam. Kapitalisme adalah sistem yang saat ini tengah bercokol di Indonesia bahkan mayoritas dunia. Sistem ini menjadi penjaga bagi demokrasi dan oligarki .Â
Dengan demikian keberadaannya jangan sampai dipertahankan karena pasti yang bermodal besar, dialah yang akan menang (berkuasa). Kapitalisme pun sudah terbukti menyengsarakan rakyat.
Lalu bagaimana dengan sistem komunisme? Nampaknya sudah banyak bahasan tentang bagaimana sepak terjang sistem ini yang seolah mengedepankan keadilan sama rata, sama rasanya namun ternyata kental dengan kediktatoran. Komunisme secara ekstrem menghapus hak milik individu maupun kelompok, lalu menjadikannya hak komunal milik negara. Tak layak kita melirik komunisme sebagai solusi untuk negeri ini.
Tersisa sistem pemerintahan Islam. Nampaknya sistem Islam mampu menjadi solusi alternatif sistem demokrasi. Sejarah perjuangan bangsa ini pun lekat dengan nilai-nilai Islam. Islam sudah memiliki mekanisme-mekanisme yang jelas tentang berbagai aspek kehidupan termasuk pemerintahan. Sikap kuratif dan preventif pun sudah terkandung dalam aturannya, sehingga manusia tinggal menjalankan saja dan berijtihad jika memang solusi belum ditemukan. Para demagog tidak bisa tumbuh subur, sebab sanksi dalam Islam akan tegas menindak mereka yang zhalim tanpa pandang bulu. Dengan demikian akan lahir para pejabat amanah yang hanya takut pada Allah, bukan pada partai.
Kombinasi sistem yang baik (Islam, pen) dan pejabat-pejabat amanah akan bisa membawa pada kesejahteraan rakyat. Rakyat negeri ini selayaknya tidak fobia mendiskusikan Islam, karena tentu tulisan ini tak cukup untuk menjelaskan betapa adilnya berada dalam naungan sistem Islam.
Oleh Diani Aqsyam
(Aktivis Dakwah Pemuda)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H