Mohon tunggu...
Dian
Dian Mohon Tunggu... -

Halo, Dian di sini!

Selanjutnya

Tutup

Lyfe

Antara Titik dan Koma (?)

6 Mei 2016   14:03 Diperbarui: 6 Mei 2016   14:18 10
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Teruntuk kalian, sebuah keluarga kecil di ranah rantauan keras bernama perkuliahan

Teriring salam dari kampung halaman, dimensi dimana jiwa melekat memeluk raga

Apa warna rasa hari ini?

Sekedar mukaddimah, tradisi yang senantiasa terucap untuk mengecap keeratan tali jiwa atau hanya kias permulaan. Sebuah pertanyaan klasik untuk diri yang jarang menyertakan hadir, bukan? Apapun, ku harap biru senantiasa menaung. Layaknya surat ini. Mengalun kedamaian walau terumbar keresahan.

Menghabiskan sebagian usia awal masa perkuliahan bukan hal singkat, terlebih karena tanggungan UKT yang dibisa dibilang yah, sangat lebih dari cukup untuk menguras hati dan materi. Bukan, surat ini bukan berisi keluh kesah perihal perjuangan formal menjemput title “umbrukan” bernama sarjana. Ya, kita kembali ke awal niat, mengungkap tentang aku, kau, dan kita. Dikatakan demikian sebab awal hidup di ranah perkuliahan tidak semudah mengorek upil ataupun mengundi nasib dengan mengulur jari mengambil pris-prisan, mudah dan tanpa beban. Kehidupan yang makin ababil, baik segi sosial maupun akademik, menjadi kambing hitam sulitnya memulai napas di daerah orang.

Sosial, sekelumit tema kecil muasal kita (?) membangun keluarga di bawah naungan “pemerintahan” di tanah berusia 66. Awalnya, mengisi sajak hidup dan membubuhkan ketikan jari hanyalah sebuah tindakan klasikal dari dorongan untuk memulai membuka pintu diri. Awak antar pesan, pilihan wahid yang ku jamah dengan alasan tanpa alasan. Aneh? Ya, aku belum bisa menemukan pembenaran dari pikir saat itu. Mungkin cocok, batinku membela. Dilandasi jiwa diri yang fakir dan miskin ekspresi raga membuatku berfikir lebih baik memilihnya.

Menjadi kuli surat itu mudah. Yah, tinggal buat lalu antar, kan? Apa susahnya? Mungkin sebagian orang menganggapnya tak lebih sulit seperti membuat corekan di adonan donat. Mau tidak mau mengakui, memang terlihat mudah. Namun, hakikatnya menjadi kami layaknya labirin. Sederhana namun rumit. Melelahkan jika harus melakukan reka ulang bagian yang dikira belum sreg dengan si empunya. Lebih menguras sabar jika sang nyai hanya memberikan upah waktu tak lebih dari jengkal waktu maghrib. Apapun itu (lagi), ketika telah mengambil langkah bukankah harus meneruskan hingga kaki lelah menapak jejak?

Sepintas kata untuk ibu tetua hebat bagi anakan keluarga pengantar kata yang diklonkan membentuk kesatuan dengan saudara berjuluk hubungan silaturahmi (?)

Terima kasih sudah menjadi induk semang selama masa penjajakan. Yakin, menjadi seorang ibu-ibuan (karena menyandang status ibu akan membuatmu protes dengan kolom KTP yang masih belum kawin) bukan hal yang mudah dilakukan. Mengurus anak orang (?) dengan tanggungan mendidik dan membenarkan (harap kata yang penting digaris bawahi bila perlu dibold) tingkah maupun laku di keluarga ini. Termasuk aku, seorang anak yang entah urutan lahir keberapa (hha).

Seorang ibu tak mengharapkan imbalan. Namun, lain hal dengan keluarga kecil kita bukan? Hmm, mungkin bukan mengharapkan, tapi mendambakan. Kenapa? Yah, karena kelak sang ibu akan menjadi nenek dan pada akhirnya akan mengangkat ibu baru untuk melahirkan anak-anak yang (tentu saja) dapat didambakan benar pikirnya. Begitu seterusnya sampai pemerintahan runtuh pada abad keberapa.. Sadar, (masih) sebagai anak, diri ini bukan anak yang dapat didambakan. Tak jarang tugas (?), mungkin lebih halusnya kesukarelaan, tak dapat menempa diri menjadi pribadi yang benar tumbuh kembangnya. Teringat, amanah (?) surat yang diserahkan untuk dihantar menjadi tak terurus dan alhasil sang kakak yang akan menyelesaikannya. Lebih tepat jika dipikir bukan masalah kakak atau adik. Tapi, cinta. Kata orang, semua yang diliputi dengan cinta pasti berasa manis. Dari sini, pasti terungkap makna bahwa aku tak mencinta dengan tulus. Bukan, bukan sebab itu! Hanya saja aku belum menemukan makna cinta yang tersambung layaknya benang merah tanda pertalian jiwa. Kau pasti tahu tentang legenda benang merah itu kan?

Kata orang (lagi), sebelum menemukan cinta yang tepat, seseorang akan merasakan cinta njelepat. Ya, mungkin nasibku yang menjadi cinta njelepat itu. Sudah menjadi cinta yang keberapa? Tapi, aku yakin seburuk-buruknya anak yang lahir pasti ada “timun emas” yang akan mengusap tangis sang induk jika anak-anaknya tak mbeneh untuk mengabdikan jiwa dan raga dalam dekapan keluarga ini. Bukan cinta mu bertepuk sebelah tangan, bukan! Hanya saja rasa yang tercipta antara kita beda warna. Jika kau mengatakan bertepuk sebelah tangan maka tak pernah sekalipun aku mengikuti jejakmu. Yah, walau jejak ceker ningkrung di pelataran rumah. Sekedar nyeker di rumah pusat seukuran upil yang entah memberikan angin segar atau mungkin malah angin tidur yang kehadiranannya ada atau tidak akan sama saja.

Bukan bermaksud membangkang dan menjadi anak durhaka, Bu..

Hanya saja aku (masih) harus menemukan perantauan yang tepat untuk melabuhkan hati. Menangkarkan rasa abdi yang seharusnya bisa mengikatku dengan erat. Aku akan senantiasa mengirim salam. Menyertakan sebongkah kerikil yang mungkin akan terlihat seperti permata jika kau butuh. Bukan berarti aku membohongimu, bukan! Hanya saja kerikilku ini tak senilai dengan bongkah emas yang akan anakmu yang lain berikan, mungkin hanya sekedar penghias pelataran rumah. Ya, kerikil. Mungkinkah berarti?

Sekian lama berada diperantarauan yang absurd pasti berujung lahinya kabar abu-abu. Aku tau, engkau telah bertumbuh menjadi induk yang lebih hebat. Ku ucapkan selamat. Sangat berbahagia. Ibu hebat kami kini telah menjadi wakil ratu bagi pemerintahan. Semoga dimudahkan membesarkan anakan (untuk kesekian kalinya), diberi kesabaran dan jiwa besar mengahadapi anakan “semi gagal” seperti ku (dan semoga tidak ada, aamiin), serta dilimpahkan kebahagian agar senyumnya senantiasa mengembang. Diri ini sangat mengagumi senyummu, Bu. Teruslah kuat dengan senyum itu!

Sekilas kata untuk senior kepala ketik, tetua super keren dengan kemampuan warna rasanya yang membuat keluarga bahkan pemerintahan selama sehempas (lebih) menjadi berarti. Bonjour!

Sepertiga (atau bahkan kurang!) dari kewajiban memberikan warna dalam gambar tahun pengajaran ini tidak ku lakukan. Hanya goresan mouse pada sebuah rumah bernama kotak rasa yang sanggup aku jamah. Itu pun sekadar salam angin yang entah dikenal atau tidak, yang entah berdampak atau tidak. Mungkin kami perlu pembaruan karakter? Untuk mengikat perhatian terhadap hati kecil kita. Hmm, mungkin sudah tak perlu terusik dengan status angin lalu ya. Yakin, sang juru baru, punya segudang gagasan yang akan mewarna ke depannya. Yang pasti akan lebih mengandung makna untuk memeluk banyak jiwa kan? Dilengkapi si imam pendamping (satu-satunya) di sana, tak hanya berwarna namun bermakna dengan jiwa ekstrovert mereka.

Sepatah kata untuk sang juru, saudara seperguruan yang tengah mengenyam langkah depan yang baru.

Semangat! Selamat menempuh jejak sebagai kakak asuh dengan segala warna esok. Buatlah langkah penuh warna dan rasa dengan dekapan hangat di setiap bayangnya. Warna hitam-oren mu berkesan. Sepertimu, hangat layaknya warna oren, berlebur layaknya warna hitam. Ya, aku suka..

Salam,

Dian “Rahardian”

22 Januari 2016

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun