Mohon tunggu...
Dian
Dian Mohon Tunggu... -

Halo, Dian di sini!

Selanjutnya

Tutup

Lyfe

Antara Titik dan Koma (?)

6 Mei 2016   14:03 Diperbarui: 6 Mei 2016   14:18 10
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Bukan bermaksud membangkang dan menjadi anak durhaka, Bu..

Hanya saja aku (masih) harus menemukan perantauan yang tepat untuk melabuhkan hati. Menangkarkan rasa abdi yang seharusnya bisa mengikatku dengan erat. Aku akan senantiasa mengirim salam. Menyertakan sebongkah kerikil yang mungkin akan terlihat seperti permata jika kau butuh. Bukan berarti aku membohongimu, bukan! Hanya saja kerikilku ini tak senilai dengan bongkah emas yang akan anakmu yang lain berikan, mungkin hanya sekedar penghias pelataran rumah. Ya, kerikil. Mungkinkah berarti?

Sekian lama berada diperantarauan yang absurd pasti berujung lahinya kabar abu-abu. Aku tau, engkau telah bertumbuh menjadi induk yang lebih hebat. Ku ucapkan selamat. Sangat berbahagia. Ibu hebat kami kini telah menjadi wakil ratu bagi pemerintahan. Semoga dimudahkan membesarkan anakan (untuk kesekian kalinya), diberi kesabaran dan jiwa besar mengahadapi anakan “semi gagal” seperti ku (dan semoga tidak ada, aamiin), serta dilimpahkan kebahagian agar senyumnya senantiasa mengembang. Diri ini sangat mengagumi senyummu, Bu. Teruslah kuat dengan senyum itu!

Sekilas kata untuk senior kepala ketik, tetua super keren dengan kemampuan warna rasanya yang membuat keluarga bahkan pemerintahan selama sehempas (lebih) menjadi berarti. Bonjour!

Sepertiga (atau bahkan kurang!) dari kewajiban memberikan warna dalam gambar tahun pengajaran ini tidak ku lakukan. Hanya goresan mouse pada sebuah rumah bernama kotak rasa yang sanggup aku jamah. Itu pun sekadar salam angin yang entah dikenal atau tidak, yang entah berdampak atau tidak. Mungkin kami perlu pembaruan karakter? Untuk mengikat perhatian terhadap hati kecil kita. Hmm, mungkin sudah tak perlu terusik dengan status angin lalu ya. Yakin, sang juru baru, punya segudang gagasan yang akan mewarna ke depannya. Yang pasti akan lebih mengandung makna untuk memeluk banyak jiwa kan? Dilengkapi si imam pendamping (satu-satunya) di sana, tak hanya berwarna namun bermakna dengan jiwa ekstrovert mereka.

Sepatah kata untuk sang juru, saudara seperguruan yang tengah mengenyam langkah depan yang baru.

Semangat! Selamat menempuh jejak sebagai kakak asuh dengan segala warna esok. Buatlah langkah penuh warna dan rasa dengan dekapan hangat di setiap bayangnya. Warna hitam-oren mu berkesan. Sepertimu, hangat layaknya warna oren, berlebur layaknya warna hitam. Ya, aku suka..

Salam,

Dian “Rahardian”

22 Januari 2016

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun