Mohon tunggu...
Dian Ibrahim
Dian Ibrahim Mohon Tunggu... Guru - Guru

Saya pribadi introvert yang menyukai hujan di setiap rintiknya

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Gerimis di Terik Mentari

6 Desember 2022   09:50 Diperbarui: 6 Desember 2022   10:01 122
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Waktu menunjukkan pukul 13.27. Tampak gadis kelas 3 SD itu dari celah pintu. Wajahnya masih basah setelah wudhu beberapa saat yang lalu. Hampir ditebak mukena yang ditarik dari sampiran bambu akan dia kenakan untuk salat zuhur ini. Nyatanya gadis itu hanya meletakkan mukena itu sembarang di atas sejadah. Sedikit agak diberantakkan cara menaruhnya.


Wes sembayang, nak? Tanya neneknya yang baru saja selesai mengaji. Nenek melihat mukena gadis kecil di atas sejadah.
Sampun, jawab gadis itu. Sambil seakan-akan mau merapikan mukena.


Sembayang (salat) ini jangan telat-telat. Ndak ilok. Kata neneknya.
Si nenek berlalu masuk ke dalam kamar. Melanjutkan istirahat siang sepertinya.

Gadis kecil itu masuk pula ke kamarnya. Menyiapkan buku dan beberapa kitab untuk pergi TPQ sore ini. 

Pukul 14.40 gadis kecil itu sampai di TPQ. Masih persiapan untuk salat Asar berjamaah dengan teman-temannya yang lain. Beberapa ustaz dengan membawa tuding (tongkat bambu kecil) mulai memberi perintah. Meminta beberapa anak laki-laki yang main kejar-kejaran untuk segera mengambil wudhu karena azan sudah berkumandang. Gadis kecil itu pun sama dengan yang lain. Masih duduk-duduk menikmati gulali dengan teman-temannya. 

Seusai salat, para santri masuk ke kelas masing-masing. Bukan kelas seperti di sekolah pada umumnya. Hanya bilik-bilik setengah terbuka. Sebagian kelompok malah tetap di dalam musola karena bilik yang tersedia tidak cukup untuk mereka. 

Seorang ustaz berperawakan kecil, berkulit hitam dan berkumis tebal masuk ke kelas gadis kecil itu berada. Cara beliau mengajar di kelas membuat para santri betah berlama-lama. Tetapi tidak demikian dengan si gadis. Kelasnya bukanlah kelas yang banyak diisi oleh anak-anak sebaya. Sepertinya pembagian kelas dilakukan berdasarkan kemampuan membaca Al-Quran. Beberapa santri ada yang sudah kelas 5 dan 6. Yang lain malah ada yang masih kelas 1 SD.
Tahu apa yang membuat si kecil itu bersungut-sungut? Cara gurunya memotivasi di kelas sepertinya tidak benar-benar memotivasi. Ustaz sering mengunggulkan dua nama teman sekelasnya yang dinilai punya kemampuan membaca Al-Quran terbaik. Selalu dua nama itu saja yang dipuji setiap pertemuan. Selalu. Padahal di kelas itu ada banyak santri yang lain yang menurut si gadis juga bagus bacaannya.

Hingga suatu waktu sang ustaz bertanya sampai mana target khatam Al-Quran tiap santri. Gadis kecil itu mengatakan dirinya sudah melampaui target lembaran Al-Quran yang harus dibaca. Dirinya pun bangga saat sang ustaz memujinya. Padahal itu nyatanya si gadis hanya membaca tiga empat ayat per halaman. Mulutnya memang tampak serius melafalkan ayat. Tetapi matanya tak mungkin berbohong bukan? Tidak mengapa. Tidak ada yang tahu.

Memang itu yang diinginkan. Tidak peduli harus berbohong, yang penting namanya sore itu sudah berhasil dipuji oleh sang ustaz.
Gerimis turun di tengah terik matahari sore. Gadis kecil pulang bergerimis dengan riang. Malam ini dia akan memikirkan cara lain. Bagaimana sang ustaz kembali memujinya. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun