Adapun ketetapan berdasarkan Permendagri No 41 tahun 2012 tentang pedoman penataan dan pemberdayaan pedagang kaki lima yang menyatakan bahwa penataan dilakukan untuk memberikan perlindungan hukum dan pengakuan terhadap keberadaan PKL dan juga dalam melakukan kegiatan usaha para PKL merasa aman, tenteram dan nyaman dengan tetap menjaga keindahan, kebersihan, kerapian, keamanan dan ketertiban lingkungan sekitarnya sesuai dengan lokasi yang sudah ditentukan.
Dengan pungutan pungutan tersebut kesejahteraan dari para pedagang kaki lima inipun menurun. Tentunya para pedagang kaki lima ini keberatan karena pendapatan yang diapatnyapun jadi berkurang. Walaupun adanya pungutan tersebut namun harga yang dijual penjual tersebut tidak dirubah karena takut tidak laku jika terlalu mahal.
Fenomena pemungutan liar dalam kegiatan usaha di jalan Babakan Raya berkaitan dengan teori pendekatan berbasis kekuasaan dalam ekonomi politik. Preman memiliki kekuasaan untuk meminta pungutan uang kebersihan, keamanan, dan biaya "orang meninggal" kepada pedagang kaki lima dan apabila pedagang kaki lima tidak membayar pungutan tersebut, bisa menciptakan konflik sosial antara pedagang dan preman.
Pendapatan pedagang kaki lima harus berkurang pendapatannya akibat pemungutan liar tersebut, hal tersebut semakin jadi beban jika pedagang kaki lima tersebut justru mengalami kerugian dalam usahanya namun masih harus membayarkan uang "meninggal" setiap harinya.Â
Selain itu, pemerintah juga dirugikan, karena adanya regulasi yang dilanggar yaitu terkait pungutan liar. Hal tersebut membuktikan bahwa fenomena kasus pungutan liar di jalan Babakan Raya ini sesuai dengan teori kekuasaan terkondisi dimana orang yang menjalankan kekuasaan maupun yang tunduk pada kekuasaan tidak menyadari bahwa kekuasaan itu sedang dijalankan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H