'Terserah kamu deh, Mas. Aku paling tahu mana yang benar, mana yang bohong. Tapi aku nggak suka kalau mutusin itu pakai blokir segala!' Kasarku padanya, masih dengan agak emosi.
'Mas beneran nggak tahu itu, Dek. Mungkin dia yang blokir.' Sulit kupercaya dengan kata-katanya, tidak bisa membedakannya lagi. Karena masih dikuasai emosiku sendiri.
Sekelebat bayangan masa lalu itu terusik, menganggu pikiran. Kubiarkan saja dia melakukan apa pun yang disukainya, toh itu haknya sendiri. Dan aku juga tidak berhak mencampuri urusan yang bukan urusanku.
Kalau dia bisa, aku juga bisa. Tidak masalah diblokir juga, toh berarti nggak perlu capek-capek stalking apalagi kepo. Kuhapus semua kenangan bersamanya, termasuk nomor ponsel.
Aku memang sudah tahu dari dulu, jauh sebelum berita itu.
'Eh, lu tahu nggak? Si Alil merit ntar Maret.' Aku hanya bisa diam ketika membaca pesan WhatsApp dari Yoga, teman dulu yang sekerja dengannya.
'Terus? Emangnya kenapa?' Balasku.
'Nggak apa-apa sih, gue cuma kasih tahu elu aja. Wkwkwk.' Dahiku berkerut, apanya yang menurutnya lucu, hatiku heran.
'Oh ..., terus ngapain kasih tahu gue? Emang penting gitu?'
'Wkwkwk. Lu bener-bener udah lupa ya?'
'Terserah dia, bodo amat gue juga.' Balasku lagi.