Mohon tunggu...
Ardianti Hapsari Prasetyaningtyas
Ardianti Hapsari Prasetyaningtyas Mohon Tunggu... -

Nothing special

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

ARTI MIMPI

29 Oktober 2014   20:55 Diperbarui: 17 Juni 2015   19:16 217
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

“Tapi ‘kan mereka masih hidup, memangnya mau nitip apa coba sebelum meninggal?” protesku. Mendadak aku takut dan tak rela. Dan sadar bahwa pernah kehilangan sosok seseorang yang sangat kusayangi, kini semua terlambat, tak mau kejadian ini terulang lagi. Tapi itu semua tergantung takdir Allah, Dia berhak mengambilnya atau tidak. Aku langsung beristighfar dalam hati.

“Itu seumpama, kenangan juga titipan.” Jelasnya. Oh, kirain, batinku bicara.

“Apapun mimpi kamu, ketika itu terjadi, jangan membuat kamu merasa yakin bahwa kamu berhak mengatakan apa pun itu sebelum saatnya ….” Tegasnya, “Yang bisa dilakukan adalah membimbing ke arah yang lebih baik. Misalnya, kamu mimpi lihat besok teman kamu akan sakit dan parah. Nah, besok temani dia. Ajak shalat, beramal atau kasih makan gelandangan. Siapa tahu, dengan beramal sakitnya akan tertunda.”

Andai saja aku berada di dekatnya sekarang, tapi keadaan ini tak memungkinkan. Sejak kelulusan delapan tahun yang lalu sampai sekarang pun belum pernah ketemu sama sekali, batinku sedih.

“Ada hal-hal yang mampu menunda datangnya musibah, bahkan menjauhkan. Anggap kamu dokter yang tahu obat-obatan. Dulu jin dikisahkan dapat menembus langit dan menguping percakapan di alam sana, lalu menyiarkan pada manusia. Tuhan tak suka itu.” Lanjutnya. Segera saja aku langsung berdoa, memohon perlindungan, kesehatan dan keselamatan untuk sahabat maupun keluarga besarku pada Allah.

Termenung, mengingat-ingat mimpi beberapa tahun silam. Aku tak pernah bisa melupakannya, dan masih terasa membekas di memori.

Awal-awal semester menengah pertama. Sedang berdiri di depan pintu kelas, kutengok ke belakang ruangan lain. Tumpukan tas-tas milik teman-teman sekelas dijadikan satu, entah untuk apa. Dan lebih memilih tak acuh, langsung kemudian pandanganku kembali menuju pelataran halaman depan gerbang sekolah.

Tak percaya dengan apa yang kulihat dari jauh meski tak terlalu jelas. Tapi aku yakin, “Loh, Bapak? Ngapain kesini? Ini ‘kan belum saatnya jam pulang,” tanyaku heran pada diri sendiri. Segera saja kususul bapak di depan, baru saja sampai pos satpam. Malah langsung pergi, “Pak …!” teriakku memanggilnya di luar gerbang. Tapi sosok itu tak menoleh, “Bapak ….!” Teriakku lagi. Malah sosoknya semakin jauh dari pandanganku. Pelan-pelan menghilang.

Ternyata itu benar firasat, bahwa beliau tak akan pernah kembali. Sampai sekarang.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun