Mohon tunggu...
Dian Fitriyani
Dian Fitriyani Mohon Tunggu... Diplomat - Wakil Presiden Mahasiswa Universitas Diponegoro 2019

Mahasiswa Ilmu Pemerintahan FISIP Undip 2016

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Aktivis, Memperjuangkan Kebenaran atau Kebebasan?

3 September 2019   15:39 Diperbarui: 3 September 2019   16:03 94
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Aktivis merupakan sebuah sebutan yang biasanya untuk seseorang yang memperjuangkan kepentingan tertentu, terlepas kepentingan itu baik atau buruk tergantung dari sudut pandang mana kita melihatnya. Menurut KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia) aktivis merupakan orang (terutama anggota organisasi politik, sosial, buruh, petani, pemuda, mahasiswa, wanita) yang bekerja aktif mendorong pelaksanaan sesuatu atau berbagai kegiatan dalam organisasinya.

            Semua orang bisa menjadi seorang aktivis. Hanya saja kembali kepada hakikat kita hidup sebagai manusia itu untuk apa? Katakanlah apa yang dilakukan seorang aktivis adalah sebuah perjuangan (jihad) yang mana terutama untuk melindungi orang kepentingan orang yang tertindas dan lemah, atau untuk mempertahankan diri dari serangan musuh. Maka sejatinya menjadi aktivis adalah mulia dan betujuan baik.

            Namun, akhir-akhir ini kita sering melihat dan mendengar banyak sekali aktivis yang memperjuangkan hal-hal yang tidak sesuai dengan nilai dan norma yang berlaku dalam masyarakat, bahkan konstitusi negara sekalipun. Demokrasi yang memberikan ruang berserikat, berkumpul, dan mengeluakan sering disalah artikan untuk melakukan hal-hal yang diluar batas dengan dalih HAM (Hak Asasi Manusia). Katakanlah seperti para aktivis gender yang justru ingin membenarkan LGBT atau masuk kedalam ormas yang dilarang pemerintah padahal sudah jelas tujuannya adalah ingin mengganti ideologi negara.

            Setiap manusia punya kepercayaan, tergantung kepercayaan kepada yang benar atau kepada yang salah. Ketika manusia diberikan amanah untuk menjadi wali Tuhan di bumi, maka sudah seharusnya dia menjadi tuhan-tuhan kecil dimuka bumi untuk memperjuangkan kebenaran, bukan kebabasan. Maka, sejatinya manusia harus menyelaraskan tujuan kehidupannya dengan maksud dan rencana Tuhan menciptakan dirinya. Pada akhirnya, ia akan hidup sesuai degan design Tuhan. Bisa kita sepakati bahwa Tuhan selalu menuntun kita kepada kebenaran untuk mencapai sebuah kebaikan. Semuanya berawal dari kepercayaan, kepercayaan yang salah akan membuat peradaban yang rusak (tidak maju). Contohnya adalah Pompen yang memiliki kepercayaan bahwa Sodom adalah perbuatan yang diperbolehkan. Akhirnya masyarakatnya melakukan perbuatan itu dan menjadi sebuah budaya. Budaya ini akan berkembang menjadi peradaban. Karena yang masyarakat Pompen ini adalah salah, maka peradaban mereka hancur karena tidak ada keturunan yang melanjutkan peradabannya.

            Ketika mengikuti sebuah diskusi yang dihadiri oleh para aktivis yang mengatasnamanakan HAM mereka seringkali menyebut bahwa apa yang dilakukan pemerintah atau yang tidak setuju dengan gerakan mereka adalah bahwa negara telah memonopoli kebenaran. Untuk menjawab hal seperti ini kita bisa menggunakan analogi. Misalkan kita sedang belajar, mengaji, atau sekolah. Dalam hal seperti itu kita harus punya guru yang akan memberi tahu dan mengajarkan bahwa apa yang kita pahami adalah benar atau salah. Apabila salah maka akan diarahkan mana yang benar, apabila benar maka dikatakan itu benar. Bukan dengan sebutan bahwa guru ini telah memonopoli makna kebenaran dari siswanya. Disinilah yang dimaksud bahwa negara juga membuat serangkaian peraturan dengan segala macam pertimbangkan untuk mengatur kehidupan berbangsa dan bernegara sehingga mewujudkan masyarakat yang adil dan beradab.

            Oleh karena itu sebagai generasi muda yang menjadi iron stock kepemimpinan bangsa sudah seharusnya kita memahami hakikat hidup sebagai manusia bahwa apa yang kita lakukan adalah untuk orang lain pula. Terkadang, kita harus meninggikan hati daripada akal, untuk menjadi landasan kita bergerak memperjuangkan sebuah kebenaran. Batas apa yang bisa membuat manusia teguh memegang kebenaran dan tidak tunduk pada keburukan. Kelebihan manusia inilah yang disebut dengan pengetahuan. Kelebihan yang akhirnya membuat malaikat mengakui kelemahan dirinya dan memaksa setan untuk bersujud. Begitu pula manusia sesungguhnya menyimpan ruh Tuhan hingga mampu berdiri tegak serta memilah mana perbuatan baik dan buruk.

            Aktivis adalah baik. Aktivis adalah mulia. Jangan pernah menyerah menjadi seorang aktivis. Namun ingat, apa yang kita perjuangkan hari ini akan dimintai pertanggungjawaban kelak. Kita tinggal memilih apakah kita mau menjaga peradaban yang sudah dari dulu dibangun oleh nenek moyang kita, atau mau sedikit demi sedikit menggerus peradaban ini hanya dengan dalih kebebasan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun