Kalimantan Barat dijuluki Provinsi Seribu Sungai. Satu yang terkenal adalah Sungai Kapuas yang merupakan sungai terpanjang di Indonesia. Anak dan cabang sungai ini membentuk ratusan sungai besar dan kecil yang melintasi provinsi ini. Sistem hidrologi yang ada menjadi dasar pembagian wilayah-wilayah yang secara administratif juga banyak yang dinamai berdasarkan sungai-sungai utamanya, misalnya Kabupaten Kapuas Hulu, Kabupaten Landak, Kelurahan Sungai Jawi, Kuala Mempawah, dan lain-lain.
Namun demikian, tak berarti penduduk yang tinggal di sini bebas dari masalah air bersih. Ini karena air sungai kualitasnya tidak memenuhi syarat sebagai bahan baku air minum. Kondisi tanah yang sebagian besar tanah gambut, membuat air sungai berwarna kecoklatan hasil larutan partikel tanah organik, dan rendaman sisa tumbuhan yang lapuk serta perakaran pepohonan. Ibarat air teh yang berwarna coklat.
PDAM yang memanfaatkan sungai sebagai sumber air baku luas wilayah pelayanannya belum merata. Biasanya air dari PDAM tidak dimanfaatkan sebagai bahan baku air minum, karena masih menyisakan endapan lumpur halus. Masyarakat biasanya hanya menggunakan air PDAM ini untuk kebutuhan mandi dan mencuci. Lalu bagaimana dengan kebutuhan air minum? Sejak lama masyarakat Kalimantan Barat punya tradisi menampung air hujan dalam tempayan besar di setiap rumah. Air hujan yang turun langsung ditadah dari talang atap menuju tempayan yang terbuat dari semen, atau drum plastik.
Semakin tingginya tingkat polusi udara seiring dengan meningkatnya jumlah kendaraan bermotor yang melepaskan sisa pembakarannya ke udara, akan mempengaruhi kualitas air hujan ini. Saat musim kemarau, maraknya pembakaran lahan untuk pembukaan ladang baru, baik untuk ladang tradisional milik masyarakat bahkan lahan perkebunan sawit oleh perusahaan skala besar, membuat Kalimantan Barat diselimuti kabut asap. Asap, gas buang kendaraan bermotor dan industri ini naik ke angkasa bersama uap air selanjutnya menurun suhunya di ketinggian tertentu, lalu membentuk awan dan mengikuti siklus hidrologi, turun sebagai hujan. Air hujan ini bersifat asam, karena molekul sisa pembakaran seperti CO2, NOx, CO, H2S berikatan dengan molekul H2O. Nah, hujan inilah yang ditampung oleh sebagian besar masyarakat dan dikonsumsi.
Ketika Pontianak lama tidak diguyur hujan (lebih dari 3 minggu saja), kualitas air hujan yang ditampung pertama kali rasanya tidak segar seperti bau hangus atau ada bau asap. Terlebih jika sehabis musim kemarau. Meskipun bagi kami yang terbiasa, ini hanya masalah rasa, tidak merasa dampaknya bagi kesehatan (lebih tepatnya tidak memeriksakan kualitas air minum). Bagaimana pun puluhan tahun kami mengkonsumsi air hujan. Penggunaan air hujan untuk konsumsi rumah tangga masih sangat tinggi, lazim terutama untuk minum dan memasak. Jika terus-menerus dikonsumsi, kualitas air yang kurang baik ini akan berdampak pada kesehatan. Mulai dari maag, pengeroposan gigi, dan bahaya lainnya. Ini pun sepertinya membutuhkan penelitian lebih lanjut. Entah karena sudah kebal, atau tidak merasa ada dampak bagi kesehatan, keluarga saya sendiri sudah puluhan tahun mengkonsumsi air hujan.
Sebagian besar teman-teman di Pulau Jawa akan sangat heran bahkan prihatin bahwa kami di Kalimantan masih lumrah menampung bahkan memasak air hujan untuk minum dan mengolah makanan. Setelah sempat tinggal cukup lama di Pulau Jawa semasa kuliah, saya jadi paham mengapa mereka “ngeri” mendengar kami minum air hujan. Pernah saya memperhatikan air hujan yang tertampung di ember. Ternyata air hujan di Jawa sangat kotor, bahkan terdapat kotoran kehitaman. Buruknya kualitas air hujan di daerah perkotaan Pulau Jawa bisa disebabkan polusi udara yang tinggi, selain bisa jadi karena penggunaan atap tanah liat yang tererosi (terlarut) oleh tetesan air hujan, tumbuhnya jamur dan ganggang di atap tanah liat tersebut, kotoran hewan, dan kotoran lain.
Saya biasanya menjelaskan bahwa air hujan di Pontianak lebih jernih. Boleh jadi karena pemakaian atap sebagian besar besar berbahan seng, polusi udara yang relatif lebih rendah dibanding di Jawa, dan penyerapan debu dan karbon oleh pepohonan yang masih tinggi. Meskipun demikian, kualitas udara yang semakin tahun semakin buruk menimbulkan kekhawatiran akan keamanan air hujan yang kami gunakan sehari-hari. Bagaimana kalau suatu saat air hujan di Kalimantan akan seperti air hujan di Jawa? Akankah kami masih akan menggunakannya? Bahkan untuk mencuci baju pun tidak layak lagi. Kualitas air hujan yang terus menurun, menyebabkan masyarakat Kalimantan Barat membutuhkan alternatif sumber air minum yang aman.
Kebutuhan air untuk konsumsi ini kemudian menjadi peluang bagi industri air minum lokal dan nasional untuk memasarkan produknya. Oleh pandangan awam, air minum dalam kemasan sering dianggap lebih aman karena dalam pengemasannya mencantumkan kode registrasi Badan POM, tanggal kedaluarsa dan nama produsen. Data Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) 2012 menunjukkan tren peningkatan penggunaan air minum dalam kemasan/isi ulang di Indonesia, dari 11,26% tahun 2008 menjadi 23,33% tahun 2012. Peningkatan ini seiring menurunnya akses konsumsi air minum layak dari 46,45% tahun 2008 menjadi 41,66 tahun 2012. Permintaan akan air minum dalam kemasan akan terus meningkat dengan semakin meningkatnya jumlah penduduk yang sulit memperoleh air layak konsumsi khususnya di perkotaan.
Sayangnya, harapan memperoleh air minum memenuhi syarat kesehatan sering diabaikan oleh produsen air minum dalam kemasan. Maret 2015 lalu, masyarakat Kalimantan Barat dikagetkan dengan berita penarikan produk air minum dalam kemasan produksi lokal yang merknya cukup terkenal. Air minum tersebut tidak terjamin kualitasnya karena tidak mengantongi izin edar BPOM yang semestinya sudah diperpanjang sejak tahun 2011 lalu. Peredarannya selama 4 tahun ditetapkan illegal karena belum memenuhi syarat sanitasi dalam memproduksi air mineral, mulai dari pengambilan air hingga distribusi produknya. Selain itu sumber air yang digunakan disinyalir tidak terjamin mutunya. Sementara itu, 27 April 2015, YLKI merilis nama-nama merk air minum dalam kemasan gelas bermasalah. Peran pemerintah terutama Balai POM sangat penting dalam pengawasan produk industri air minum agar masyarakat terhindar dari bahaya mengkonsumsi air minum yang tidak layak seperti kasus di atas.
Sementara itu konsumen yang kritis juga mulai mempertanyakan bagaimanakah kualitas air minum dalam kemasan yang diperoleh. Mungkinkah mutu standar tersebut didapat setelah sumber baku air minum yang digunakan telah melalui serangkaian perlakuan fisik dan kimiawi, sehingga kita bertanya-tanya dari manakah sebenarnya air mineral tersebut berasal?
Aqua sebagai produsen air minum ternama di Indonesia, melandaskan industri air minum dengan 4 pilar Aqua Lestari, yaitu Pelestarian air dan Lingkungan, Pengelolaan Distribusi Produk, serta Pelibatan dan dan Pemberdayaan Masyarakat. Dengan pilar ini, tercermin kesadaran Aqua, bahwa untuk memperoleh air yang bersih perlu integrasi kelestarian daerah resapan mulai dari hulu, tengah hingga ke hilir.
Kebijakan Aqua untuk melindungi sumber daya air didasarkan pada upaya untuk menjamin kemurnian dan kualitas sumber air dalam rangka menjamin kualitas dan keamanan produknya. Untuk itu Aqua berkomitmen mengetahui sistem hidrogeologi dari sumber airnya dalam hubungan dengan lingkungan dan habitat sekitarnya. Studi mendalam sebelum eksplorasi dilakukan untuk mengetahui kondisi geologi dan sistem aliran sungai (watershed) mulai dari daerah hulu hingga ke hilir melalui 6 tahapan roadmap: identifikasi dan prospeksi, survei dan investigasi; eksplorasi; eksploitasi; pengawasan dan perawatan; dan perlindungan sumber air.
Referensi:
http://rkonline.id/patroli/ternyata-air-mineral-merek-passy-itu-ilegal
http://www.aqua.com/aqua_lestari
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H