Mohon tunggu...
dian equanti
dian equanti Mohon Tunggu... Dosen - Pengajar Geografi

Menggemari isu Lingkungan, dan Kependudukan

Selanjutnya

Tutup

Nature Pilihan

Pak Jumadi, Nelayan Pelestari Mangrove dari Setapuk Besar, Singkawang Utara, Kalimantan Barat

5 Januari 2022   03:42 Diperbarui: 5 Januari 2022   03:54 1323
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pak Jumadi (Dokumentasi, 2020)

Kami menemui Pak Jumadi atas saran seorang teman yang bekerja di Dinas Pariwisata Singkawang. Pertemuan terjadi dua kali. Pertama saat berkunjung ke Setapuk Mangrove pada 13 Oktober 2020 sekitar pukul 14.30 WIB. Kali kedua, pada 14 Oktober 2020 sekitar pukul 16.30 sengaja kami sempatkan berkunjung ke kediaman beliau sehari sebelum bertolak pulang ke Pontianak. Berikut hasil wawancara yang kami peroleh.

Pak Jumadi bertubuh tinggi besar. Merasa postur tubuhnya memenuhi syarat, Pak Jumadi muda pernah mengikuti seleksi penerimaan TNI dua kali, namun gagal. Dengan gaya bicara blak-blakan dan perbendaharaan kosakata yang baik, ia terkesan sangat cerdas. Orang yang terlibat obrolan dengannya mungkin tidak akan percaya bahwa ia hanya lulusan SMA.

Setelah menamatkan SMA di Tahun 1997, ia bekerja di Pontianak di sebuah perusahaan sawmill (perusahaan penggergajian kayu) selama 7 tahun. Masa ketika perusahaan-perusahaan berstatus Hak Pengusahaan Hutan (HPH) masuk di Kalimantan Barat sekitar tahun 2000-an, banyak perusahaan sawmill tutup karena adanya pelarangan perusahaan penebangan hutan. Ia berhenti bekerja sebagai buruh sawmill di tahun 2004, dan kembali ke kampung halamannya di Singkawang.

Di Singkawang, ia mengikuti jejak keluarga pergi melaut. Ayah dan adik laki-lakinya memang bekerja sebagai nelayan. Mula-mula menjadi anak buah kapal, hingga dapat membeli kapal penangkap ikan sendiri. Pada tahun 2006 ia mendirikan kelompok nelayan yang diberi nama Surya Perdana Mandiri. Ada kisah unik dibalik nama kelompok ini. Surya adalah nama seorang pemilik toko emas yang dikenal sebagai orang terpandang yang menjadi panutan di kampungnya. Pak Surya ini dikenal ramah dan mau bergaul dengan siapa saja. Beliau dikagumi karena sosoknya bijaksana dalam memandang sesama manusia. Nama perdana artinya pertama, maksudnya kelompok nelayan ini yang pertama ada di Setapuk dan diharapkan dapat berkontribusi bagi masyarakat nelayan sekitar. Kelompok nelayan ini memiliki Anggaran Dasar Rumah Tangga dan peraturan yang disepakati anggotanya, serta iuran kas yang digunakan untuk membiayai berbagai kegiatannya.

img-20201026-wa0016-61d4a8b14b660d36290ca0d2.jpg
img-20201026-wa0016-61d4a8b14b660d36290ca0d2.jpg
                                                                         Perahu-perahu Nelayan yang di sungai kawasan Setapuk Mangrove

Kelompok mangrove ini sering mendapat cibiran dari masyarakat. Dari 10 orang anggota kelompok nelayan, beberapa di antaranya tidak sepakat membentuk kelompok mangrove. “Pekerjaan yang sia-sia”, komentar anggota nelayan yang waktu itu tidak setuju. Sebelumnya, di Desa Setapuk sudah ada 3 kelompok mangrove. Kelompok mangrove yang dinamai Swadaya Peduli Mangrove merupakan kelompok mangrove ke-4 di Setapuk.

“Sampai kapanpun, nama swadaya tidak akan dihilangkan. Secara filosofis kata swadaya ini menjadi motif kelompok ini agar tidak hanya menunggu bantuan (untuk bergerak)”.  

Upaya menanam mangrove di sekitar pantai oleh kelompok sebelumnya, tidak ada yang berhasil. Mangrove yang ditanam gagal tumbuh, atau terbawa arus laut sebelum tumbuh.

Merespon anggota kelompok nelayan yang tidak setuju dengan dibentuknya kelompok mangrove, Pak Jumadi mengatakan,

“Tidak mau (ikut) tidak masalah. Semua anggota tetap saya rangkul. Tidak ada yang karena tidak sependapat dengan saya, lalu saya keluarkan. Yang penting biaya (penanaman mangrove) tidak mengurangi apa yang harus disetorkan ke kelompok nelayan”.

Meskipun tidak mendapat dukungan sepenuhnya dari anggota nelayan, dan usahanya dipandang dengan apatis oleh masyarakat, Pak Jumadi tetap berkeyakinan hanya dengan menanam mangrove lahan kampungnya dapat diselamatkan. Ia tidak ingin Setapuk suatu saat hilang sebagaimana abrasi lumayan parah dialami suatu kampung lain. Tak hilang akal dalam mengajak orang lain ikut peduli, Pak Jumadi mengajak anak-anak kampung berusia Sekolah Dasar yang bermain di sekitar pantai sepulang sekolah untuk mencari buah bakau. Buah bakau ini dijadikan bibit bakau untuk ditanam. Bakau atau mangrove merupakan tumbuhan yang sangat sensitif terhadap perbedaan kondisi lingkungan, seperti salinitas (kadar garam), pH tanah dan air tempat ia tumbuh, persaingan dengan tanaman gulma lain, maupun gelombang. Menanam mangrove dengan bibit dari luar kerap kali gagal karena tanaman tak mampu menyesuaikan diri dengan lingkungan. Oleh karena itu dengan menggunakan bibit dari buah bakau daerah sendiri diharapkan bibit tersebut mewarisi sifat induk dewasa yang mampu bertahan di lingkungan ini.

Ia mengatakan, “Ada (maupun) tidak ada bantuan pemerintah. Kami tetap menanam mangrove”, tegas Pak Jumadi menyatakan tekadnya.

                                                                                    Jembatan Kayu Menuju Kawasan Setapuk Mangrove

“Bagaimana kami berpangku tangan pada pemerintah, sementara daratan kami semakin rusak. Seharusnya pemerintahlah yang berterima kasih kepada kami menjaga kelestarian lingkungan pesisir. Berarti masyarakat sudah ada kesadaran. Masyarakat masyarakat peduli terhadap lingkungan. Pemerintah kota tidak berkontribusi. Apa kita mau Kota Singkawang semakin bergeser ke dalam (oleh abrasi)”. Suaranya terdengar sedikit emosial. “Anak cucu yang merasakan. Tidak terasa sudah belasan tahun”, kenangnya. Kalau ada umur, boleh juga kita ikut menikmatinya”, tambahnya.

Pembicaraan terus berlangsung seru. Seorang di antara kami mengajukan pertanyaan mengenai pendapat Pak Jumadi mengenai investor, khususnya di bidang pariwisata. Begini responnya, “Kami tidak ingin pengembang (investor) masuk ke Singkawang, tapi masyarakat dibiarkan menjadi penonton”. 

Gagasan untuk menjadikan setapuk menjadi tujuan wisata baru muncul satu dekade setelah Swadaya Peduli Mangrove berdiri. Dengan anggaran kas yang ada, ditambah program Dinas Pariwisata yang mendorong tumbuhnya objek wisata yang dikelola masyarakat, dibentuklah Kelompok Sadar Wisata (Pokdarwis) di Setapuk dengan daya tarik utama kawasan mangrove. Pokdarwis ini dikukuhkan oleh instansi Dinas Pariwisata sejak 2016. 

Setelah Pokdarwis resmi disahkan, banyak orang desa yang iri. Kenapa kelompok ini sering mendapat bantuan. Sering dianggap memiliki banyak uang menjadi pengurus berbagai kelompok. “Padahal dia tidak tahu sulit prosesnya.

Dalam mengelola wisata, tak lepas dari dinamika. Wisata sering alam dianggap sebagai lokasi yang terbuka siapa saja. Pernah terjadi sekelompok pemuda masuk sambil mabuk-mabukan. Tentu ini menimbulkan keresahan masyarakat sekitar. Apalagi kondisi menjadi tidak kondusif karena mereka terlibat keributan. Terpaksa Pak Jumadi terpaksa turun tangan meminta mereka keluar di area wisata dengan paksa. “Alasan pemuda-pemuda itu area wisata lain itu bebas aja. Di sini ndak bisa. Jam 17.00 area wisata ditutup untuk umum. Juga ada tanda larangan membawa minuman keras”, jelasnya.   

Figur ketokohan Pak Jumadi membuatnya ditunjuk menjadi ketua di beberapa kelompok komunitas. Bahkan kini ia menjabat ketua di empat organisasi yaitu kelompok nelayan, mangrove, Pokdarwis dan koperasi. Kemampuannya memengaruhi orang lain di sekitarnya miliki tampaknya terasah sejak masih menjadi buruh sawmill. Pak Jum mengenang masa itu ia sering memprovokasi sesama buruh menuntut tunjangan hari raya jelang lebaran kepada perusahaan, “Tiap tahun, kita “melawan” perusahaan untuk memperjuangkan THR”, begitu ia mengistilahkan konflik buruh dan perusahaan.

Sebagai penggerak komunitas mangrove, Pak Jum masih relatif muda, ia baru 41 tahun. Selain kelompok mangrove dan nelayan, ia ditunjuk menjadi Ketua Pokdarwis dan koperasi. Ia pernah menawarkan agar orang lain saja yang menjadi ketua (di kelompok lainnya), supaya bisa fokus ke mangrove, tetapi usul itu ditolak para anggota. Mereka mengatakan, “sudah biar Pak Jum saja sekalian. Sampai terlontar ungkapan, jika Ketua berhenti anggota akan bubar”. Pak Jum tak punya pilihan. Ia merasa perlu melakukan kaderisasi ilmu dan regerasi kepemimpinan untuk menjamin keberlangsungan kegiatan yang sudah berjalan.

Mengelola wisata berbasis alam bukan perkara sederhana. Menurut Pak Jum, dengan menawarkan wisata Mangrove, artinya mangrovenya harus ada terlebih dahulu. Ia sempat menyinggung tren BUMDes wisata alam yang marak belakangan, bukan dilatarbelakangi adanya alam yang terpelihara, namun lebih pada motif menarik wisatawan.

“Kita di sini terkendala masalah Sumber Daya Manusia. Kalau ada orang (pengunjung) tanya kita mesti tahu jenis-jenis mangrove apa yang ada di situ. Apa khasiatnya (manfaatnya), apa apakah bisa dikonsumsi atau tidak. Jangan sampai pengunjung bertanya, kita bingung”.

Ibu-ibu di sini terlibat menanam. Supaya mereka mendapat pengalaman bagaimana rasanya menanam puluhan hektar. Bakau di sini (ditanam) dari nol. Dulu di sini lumpur, ia menunjuk area tempat wisata tempat kami berbincang itu. Yang ada hanya bakau api-api, kemudian ditanam jenis bakau lainnya. Berdasarkan pengamatan di areal Setapuk Mangrove, banyak ditanam jenis bakau minyak (Rhizopora apiculate) dan Bakau Kurap (Rhizopora macronata).

Tahun 2016-2018 hasilnya lumayan, bahkan pengunjung tidak pernah sepi. Terlebih Sabtu Minggu. Namun sejak 2018 hingga 2020 ini musim hujan lebih panjang. Musim hujan menjadi kendala karena akses jalan jadi buruk dan lahan mangrove tergenang cukup tinggi sehingga sulit untuk melakukan penanaman.

“Pemasukan kita hanya dari sini (pengunjung). Kita pakai untuk renovasi. Saat kami berkunjung, Mangrove Setapuk tampak sepi. Selain kami bertiga, pengunjung tampak 2 orang pengunjung yang datang menjelang sore sekitar pukul 15.00. Kemudian beberapa orang anak muda berjumlah 5 orang. Sewaktu kami datang, pintu tiket tidak dijaga. Kami mengira karena pandemi, lokasi wisata tutup sementara. Namun beberapa pekerja yang memperkeras jalan setapak menuju taman mangrove mempersilakan kami masuk. Tampaknya meskipun cukup dikenal, belum ada program pembangunan jalan menuju taman mangrove jalan Jalan setapak menuju lokasi mangrove berupa jalan tanah lumpur yang licin saat hujan.

Di sebelah kiri terdapat sungai yang mengalir menuju pantai. Di tepi sungai dibangun dermaga, beberapa perahu nelayan ditambatkan. Sebelah kanan, tampak pemukiman yang diselingi ladang masyarakat sekitar yang didominasi pohon kelapa. Di bawah pohon kelapa dimanfaatkan untuk menanam padi. Di lahan kosong, semak yang masih pendek menghijaukan pemandangan. Tampaknya lahan ini baru saja dibersihkan untuk persiapan penanaman. Hujan yang tak kenal musim di Kalimantan Barat ini membuat rumput dan semak cepat sekali tumbuh. Perjalanan singkat yang berjarak sekitar 1 kilometer ke lokasi tujuan tidak begitu melelahkan karena medan yang datar. Hanya sedikit batuan pecah beberapa bagian licin yang perlu diwaspadai.   

mangrove-setapuk-3-61d4ac4c06310e686208f9e2.jpg
mangrove-setapuk-3-61d4ac4c06310e686208f9e2.jpg
                                                                        Mangrove cukup besar dan mampu bertahan dihempas gelombang

Catatan: Setapuk Mangrove pada kunjungan kami di 2021, berganti nama menjadi Singkawang Mangrove Park seiring perubahan pengelolaan kawasan mangrove oleh instansi pemerintahan Singkawang Utara, Kota Singkawang, Kalimantan Barat

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun