Ia mengatakan, “Ada (maupun) tidak ada bantuan pemerintah. Kami tetap menanam mangrove”, tegas Pak Jumadi menyatakan tekadnya.
Jembatan Kayu Menuju Kawasan Setapuk Mangrove
“Bagaimana kami berpangku tangan pada pemerintah, sementara daratan kami semakin rusak. Seharusnya pemerintahlah yang berterima kasih kepada kami menjaga kelestarian lingkungan pesisir. Berarti masyarakat sudah ada kesadaran. Masyarakat masyarakat peduli terhadap lingkungan. Pemerintah kota tidak berkontribusi. Apa kita mau Kota Singkawang semakin bergeser ke dalam (oleh abrasi)”. Suaranya terdengar sedikit emosial. “Anak cucu yang merasakan. Tidak terasa sudah belasan tahun”, kenangnya. Kalau ada umur, boleh juga kita ikut menikmatinya”, tambahnya.
Pembicaraan terus berlangsung seru. Seorang di antara kami mengajukan pertanyaan mengenai pendapat Pak Jumadi mengenai investor, khususnya di bidang pariwisata. Begini responnya, “Kami tidak ingin pengembang (investor) masuk ke Singkawang, tapi masyarakat dibiarkan menjadi penonton”.
Gagasan untuk menjadikan setapuk menjadi tujuan wisata baru muncul satu dekade setelah Swadaya Peduli Mangrove berdiri. Dengan anggaran kas yang ada, ditambah program Dinas Pariwisata yang mendorong tumbuhnya objek wisata yang dikelola masyarakat, dibentuklah Kelompok Sadar Wisata (Pokdarwis) di Setapuk dengan daya tarik utama kawasan mangrove. Pokdarwis ini dikukuhkan oleh instansi Dinas Pariwisata sejak 2016.
Setelah Pokdarwis resmi disahkan, banyak orang desa yang iri. Kenapa kelompok ini sering mendapat bantuan. Sering dianggap memiliki banyak uang menjadi pengurus berbagai kelompok. “Padahal dia tidak tahu sulit prosesnya.
Dalam mengelola wisata, tak lepas dari dinamika. Wisata sering alam dianggap sebagai lokasi yang terbuka siapa saja. Pernah terjadi sekelompok pemuda masuk sambil mabuk-mabukan. Tentu ini menimbulkan keresahan masyarakat sekitar. Apalagi kondisi menjadi tidak kondusif karena mereka terlibat keributan. Terpaksa Pak Jumadi terpaksa turun tangan meminta mereka keluar di area wisata dengan paksa. “Alasan pemuda-pemuda itu area wisata lain itu bebas aja. Di sini ndak bisa. Jam 17.00 area wisata ditutup untuk umum. Juga ada tanda larangan membawa minuman keras”, jelasnya.
Figur ketokohan Pak Jumadi membuatnya ditunjuk menjadi ketua di beberapa kelompok komunitas. Bahkan kini ia menjabat ketua di empat organisasi yaitu kelompok nelayan, mangrove, Pokdarwis dan koperasi. Kemampuannya memengaruhi orang lain di sekitarnya miliki tampaknya terasah sejak masih menjadi buruh sawmill. Pak Jum mengenang masa itu ia sering memprovokasi sesama buruh menuntut tunjangan hari raya jelang lebaran kepada perusahaan, “Tiap tahun, kita “melawan” perusahaan untuk memperjuangkan THR”, begitu ia mengistilahkan konflik buruh dan perusahaan.
Sebagai penggerak komunitas mangrove, Pak Jum masih relatif muda, ia baru 41 tahun. Selain kelompok mangrove dan nelayan, ia ditunjuk menjadi Ketua Pokdarwis dan koperasi. Ia pernah menawarkan agar orang lain saja yang menjadi ketua (di kelompok lainnya), supaya bisa fokus ke mangrove, tetapi usul itu ditolak para anggota. Mereka mengatakan, “sudah biar Pak Jum saja sekalian. Sampai terlontar ungkapan, jika Ketua berhenti anggota akan bubar”. Pak Jum tak punya pilihan. Ia merasa perlu melakukan kaderisasi ilmu dan regerasi kepemimpinan untuk menjamin keberlangsungan kegiatan yang sudah berjalan.
Mengelola wisata berbasis alam bukan perkara sederhana. Menurut Pak Jum, dengan menawarkan wisata Mangrove, artinya mangrovenya harus ada terlebih dahulu. Ia sempat menyinggung tren BUMDes wisata alam yang marak belakangan, bukan dilatarbelakangi adanya alam yang terpelihara, namun lebih pada motif menarik wisatawan.
“Kita di sini terkendala masalah Sumber Daya Manusia. Kalau ada orang (pengunjung) tanya kita mesti tahu jenis-jenis mangrove apa yang ada di situ. Apa khasiatnya (manfaatnya), apa apakah bisa dikonsumsi atau tidak. Jangan sampai pengunjung bertanya, kita bingung”.