Maraknya pertumbuhan objek wisata alam baru di Kalimantan Barat dapat dipandang sebagai peluang bergeraknya ekonomi masyarakat lokal. Dengan menawarkan keindahan pemandangan dan lingkungan yang terbentuk alami serta fasilitas sederhana, masyarakat kini dapat mendatangkan pengunjung datang ke desa mereka. Di sisi lain, pengelolaan yang tidak tepat memunculkan kekhawatiran bagi pemerhati lingkungan akan dampak negatif yang ditimbulkan oleh kegiatan wisata tersebut.Â
Dampak negatif pariwisata tersebut antara lain kerusakan lingkungan seperti timbulan sampah, grafiti atau coretan-coretan, maupun terganggunya kehidupan sosial budaya masyarakat. Kekhawatiran ini menjadi perhatian Dosen Program Studi (Prodi) Pendidikan Geografi IKIP PGRI Pontianak merespon fenomena objek wisata alam, khususnya di sepanjang pantai barat Kabupaten Mempawah, di antaranya Cinta Mangrove Park.Â
Pengelolaan wisata yang dianggap mampu menjembatani kepentingan konservasi lingkungan yang minim gangguan, adanya partisipasi masyarakat dan ekonomi lokal yang berkelanjutan adalah ekoturisme. Kepedulian terhadap pengelolaan wisata berkelanjutan ini mendorong Tim Dosen melakukan Pengabdian Kepada Masyarakat (PKM) bertajuk, "Sosialisasi Ekoturisme di Kawasan Objek Wisata Cinta Mangrove Kabupaten Mempawah".
PKM ini dilaksanakan di Aula Desa Sungai Bakau Besar Laut, Kecamatan Sungai Pinyuh Kabupaten Mempawah pada 4 Desember 2021. Tim Dosen terdiri dari Dian Equanti, S.Si, M.Pd; Agus Suwarno, M.Pd; Galuh Bayuardi, Eviliyanto M.Pd; dan Dony Andrasmoro, M.Pd. Acara ini dihadiri oleh Bapak Kepala Desa, H. Iwan Supardi, Bapak Rustam selaku Sekretaris Desa, Bapak Amrazi sebagai sekretaris BUMDes sekaligus pengelola Cinta Mangrove Park, Ketua BUMDes Ishak Alqindi, tokoh masyarakat dan warga setempat.
PKM ini dikemas dalam dialog interaktif antara tim PKM dan warga. Cinta Mangrove Park yang dibuka sebagai objek wisata sejak 2017. Acara dibuka oleh Sekretaris BUMDes, sekaligus Pengelola Objek Wisata Alam Cinta Mangrove. Dalam sambutannya Rustam yang merupakan Sekretaris Desa Bakau Besar Laut menuturkan, semasa pandemi Cinta Mangrove Park ditutup untuk menghindari kunjungan yang memicu kerumunan.
 Sebelumnya Rustam juga memaparkan tentang penyelenggaraan wisata alam yang dimulai sejak tahun 2017. Meskipun untuk sementara wisata ini ditutup, ditegaskan oleh pengelola bahwa konservasi mangrove terus berjalan. Hal ini dilakukan karena masyarakat melalui edukasi terus menerus menyadari bahwa ekosistem mangrove merupakan benteng pertahanan Desa Sungai Bakau Besar Laut dari ancaman abrasi yang semakin mengkhawatirkan. Hal ini telah disadari masyarakat.
Ketua Tim PKM Dosen Pendidikan Geografi IKIP PGRI Pontianak Dian Equanti, membuka dialog dengan mengapresiasi masyarakat Desa Bakau Besar Laut atas pengelolaan Cinta Mangrove Park sebagai wisata yang mengepankan konservasi yang sebenarnya merupakan konsep-konsep ekoturisme.
Dalam penjelasannya, ia menjelaskan bahwa ekoturisme pada dasarnya adalah kegiatan berwisata mengunjungi objek wisata alam, tanpa mengganggu lingkungan alami di sekitarnya. Ekoturisme merupakan penyelenggaraan wisata yang memiliki prinsip keberlangsungan secara menyeluruh yang meliputi keberlangsungan ekosistem, keberlangsungan ekonomi dan sosial budaya. Keberlangsungan ekosistem yang dimaksud adalah terjaganya kelestarian lingkungan, minimnya dampak negatif atau gangguan akibat kegiatan wisata terhadap kondisi alami lingkungan.Â
Keberlangsungan ekonomi ekoturisme adalah wisata yang dapat terus berlangsung seiring dengan lingkungan yang terjaga, sebagai daya tarik utama wisatawan. Â Sementara keberlangsungan sosial budaya bermakna bahwa pariwisata memberi penghormatan dan penghargaan kepada keberadaan masyarakat setempat, menghargai budaya, menghormati nilai-nilai yang berlaku di masyarakat, serta melibatkan masyarakat baik sebagai pelaku atau penyelenggara pariwisata maupun penerima manfaat dari pariwisata di lingkungan tempat tinggalnya.
Galuh Bayuardi menyatakan bahwa ketertarikannya adalah cara pengelolaan objek wisata alam Cinta Mangrove ini, berdasarkan hasil dari penelitian yang dilakukannya bersama tim pada periode tahun 2019, dan 2020. Penelitian tersebut menunjukkan bahwa di sepanjang pantai barat Kalimantan Barat telah berkembang wisata alam berbasis masyarakat, dan hal tersebut dapat dikategorikan ecotourism atau ekowisata, dengan ciri-ciri dikelola oleh masyarakat, bukan investor atau pemilik modal, berawal dari konservasi lingkungan, dan dapat dikembangkan sebagai edukasi baik untuk masyarakat lokal, ataupun wisatawan dan masyarakat umum.
Beranjak dari sini tim PKM bermaksud menunjukkan kepedulian, serta apresiasi terhadap konservasi lingkungan yang dilakukan oleh masyarakat Desa Bakau Besar Laut, dengan memberikan sejumlah bibit tanaman produktif kerja sama dengan BPDASHL Kapuas kepada masyarakat yang hadir, serta sejumlah bibit mangrove bagi Cinta Mangrove Park. Agus Suwarno menambahkan bahwa apa yang telah dilakukan oleh masyarakat dalam konservasi mangrove berupa penanaman ini dapat menjadi warisan untuk dinikmati dan dikelola oleh generasi berikutnya. Dan hal ini dapat dimaknai pula bahwa penanaman tanaman, merupakan amal ibadah tidak hanya pada anak cucu, namun juga umat manusia di bumi ini secara umum.
Interaksi kemudian menjadi lebih hangat dan akrab, ketika Pak Bakri sebagai Ketua RT 13 Desa Bakau Besar Laut, yang berada di lokasi konservasi atau objek wisata alam Cinta Mangrove menceritakan kisah penanaman mangrove yang merupakan usaha keras, dan tidak jarang merasa sia-sia karena pada awal penanaman, mangrove yang baru saja ditanam terbawa hanyut oleh ombak dan gelombang pasang yang kuat terutama di akhir tahun-sampai dengan awal tahun.Â
Beliau bersama masyarakat lain juga menceritakan bahwa upaya untuk menahan ombak tersebut dengan bambu, peralon, dan beberapa usaha lain, namun seringkali masih tetap hanyut. Pak Bakri mengatakan bahwa hal ini hanya dapat diatasi dengan memasang "batu kubus" (penahan, pemecah ombak), sehingga bibit mangrove dapat tumbuh tanpa hempasan ombak dan gelombang besar.
Ketua BUMDes, Ishak Al-Qindi, yang akrab dipanggil Bang Al, melanjutkan dengan mengatakan bahwa, program-program bantuan penanaman mangrove biasa dimulai pada akhir tahun pada saat musim gelombang pasang atau ombak besar, atau sering dikatakan musim angin barat dan angin selatan. Hal ini lah yang sampai saat ini dirasa sebagai salah satu kendala kegiatan penaman mangrove ini.Â
Pernah juga muncul ide dan dilaksanakan penanaman pada bulan Februari ketika ombak dan gelombang yang ditiupkan angin barat dan selatan mulai mereda. Dan saat itu tanaman mangrove dapat tumbuh, dan nampak cukup kuat, namun demikian pada bulan November berikutnya saat musim angin barat dan selatan, sebagian besar mangrove tersebut hanyut oleh ombak. Kemudian Bang Al juga masih berfikir dan ingin mengetahui lebih lanjut mengenai bagaimana penanaman mangrove yang dapat tumbuh dengan baik oleh ancaman cuaca ekstrim tersebut.
Kepala Desa Bakau Besar Laut, Iwan Supardi menceritakan program-program dan kegiatan-kegiatan tentang konservasi Mangrove sudah dilakukan sejak 2012 termasuk mengundang berbagai lembaga penelitian maupun perguruan tinggi untuk melakukan penelitian mangrove di desa ini. Evilyanto, anggota Tim PKM yang juga Sekretaris Program Studi Pendidikan Geografi Pontianak menyatakan melalui kesempatan PKM ini merupakan sarana saling tukar wawasan dan pengalaman tentang persoalan mangrove yang luas dampaknya bagi masyarakat dan pengelolaan wisata.
Di akhir acara, Amrozi menutup dengan memberi kesimpulan bahwa pada dasarnya kegiatan selama ini adalah konservasi mangrove oleh masyarakat, sementara peran serta fungsi wisata, dan edukasi merupakan bonus dari keberhasilan konservasi mangrove tersebut.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H