Mewakili generasi kids and teen era 90-an, membaca adalah hiburan menyenangkan selain bermain dan bersepeda di sore hari. Berkurangnya kebiasaan membaca anak-anak masa kini tak bisa dilepaskan dari begitu lekatnya perangkat hiburan visual instan dalam genggaman. Tidak perlu saling mengunggulkan generasi dalam kebiasaan mengikuti zamannya.
 Sebagaimana kita mahfum bahwa tantangan masing-masing generasi berbeda. Jika dulu, televisi sering disalahkan menjadi penyebab anak-anak duduk berjam-jam di depan TV, malas mandi, belajar, bahkan bisa memicu obesitas jika diiringi kebiasaan mengudap cemilan. Ini belum menyinggung masalah konten yang dianggap tidak mendidik, namun terus diproduksi karena disukai pasar.Â
Majalah-majalah remaja era 90-an juga dituding meningkatkan perilaku dan gaya hidup konsumtif, karena ulasan mode yang mau tak mau membawa tren fesyen terbaru, make up, gaya rambut, dan hobi koleksi para idol yang dikhawatirkan mendorong sejumlah remaja tergiring secara impulsif mengikuti gaya hidup hedonis. Teknologi saat ini membawa semua ancaman itu dalam gawai selebar telapak tangan saja. Isu-isu berita bohong atau ujaran kebencian bahkan tidak serusuh sekarang.
Salah satu upaya untuk menangkal ancaman yang merusak perilaku masyarakat itu adalah gerakan literasi. Membaca buku masih relevan saat ini, buat melatih kesabaran kita semua. Kita tidak boleh menilai buku dari sampulnya, apalagi berkomentar padahal isi bukunya belum dibaca. Sangat berbeda dengan kebiasaan netizen yang buru-buru berkomentar pada caption berita daring dengan judul provokatif, padahal isi artikel berbeda. Mirip kalian terjebak kisah mengharukan, eh malah digiring mengikuti akun online-shop. Eh maaf, itu sih pengalaman pribadi.
Kembali ke maksud mulia penulisan artikel ini yaitu membagikan konten positif berupa ulasan buku favorit. Sejujurnya ini alasan aman penulis kasta junior seperti saya agar tidak dirisak (di-bully). Setiap buku akan membawa kesan sendiri. Ikut tersenyum, jatuh cinta, sakit hati, penasaran atau ketakutan dikejar pembunuh berantai. Terkesan, takjub, bingung, berpikir. Lagi baca filsafat, atau buku sains? Ah silakan baca buku di hadapanmu, sambil ngopi!
Kali ini, saya akan mengulas novel Daughter of Fortune, ditulis oleh Isabelle Allende. Novel ini mengambil setting pertengahan abad ke 19 (tahun 1800-an). Kita akan berkenalan dengan Eliza, tokoh utama berusia belasan tahun, yang tinggal di rumah keluarga koloni Inggris mewah di Chili. Bagaimana dia berada di rumah itu adalah kisah menarik mengenai asal-usulnya.Â
Dia dirawat Miss Rosa dan Mama Fresia. Oleh Miss Rosa, Eliza mendapat didikan Inggris sebagai putri terhormat dengan iman Protestan, teguh berbahasa Inggris dan diharuskan mampu bermain piano. Bersama Mama Fresia, ia bermain di hutan, mendengar dongeng Indian seram. Ia pun bersahabat akrab dengan buruh Cina, Tao Chi'en. Darinya ia bertukar pendapat tentang penting tidaknya asal usul nenek moyang. Padahal Eliza sendiri adalah bayi yang dibuang.Â
Tidak jelas apakah dia ras Indian, atau keturunan kolonial Inggris. Rambutnya hitam, tapi berparas kaukasoid. Lebih jauh kita menyaksikan pertemuan dan benturan berbagai budaya. Kesan multikultur novel ini sangat terasa. Beberapa catatan yang sempat saya tulis dalam status Facebook, berkaitan dengan alur kisah, pengetahuan, petikan quote disertai refleksi berikut ini rasanya cukup mewakili.
Kita ke tokoh Jacob Todd, yang bergabung dalam program misionari agar bisa berpetualang. Dalam pelayarannya mengarungi Laut Atlantik, ia membawa berpeti-peti Injil Protestan untuk dijual di Chili, sebuah negara kepulauan di belahan bumi selatan dengan mayoritas Katolik. Karena dia sebenarnya adalah atheist yang oportunis, uang sokongan yang diperoleh digunakan untuk membiayai hidup yang nyaman. Begitu tersiar bahwa Todd misionaris gadungan, ia dikucilkan dari pergaulan.Â
Tidak lagi diundang pada pertunjukan musik tiap Rabu Miss Rose, ditolak Union Club. Bahkan diusir pemilik kamar yang ia huni di mana selama ini ia mendapat fasilitas terbaik, semua karena pemilik rumah merasa ia telah berderma bagi penyebaran sabda Yesus. Bagaimana? Dalam kisah nyata banyak yang memberi derma tidak sedikit untuk mendukung kegiatan agama, tapi tidak peduli kegiatannya apa. Bermodal percaya saja pada si tokoh.
Gentleman, gentle halus, man, lelaki. Di era Victorian, sekitar tahun 1600-1800an, ini menunjuk tuan-tuan asing di negara-negara koloni Inggris. Ada pepatah, perempuan dikutuk dengan sakit saat melahirkan, sedang laki-laki dikutuk untuk bekerja keras dan mengalirkan keringat di dahi mereka. Kaum gentlemen ini tidak pernah bekerja kasar, golongan patrona pemilik perkebunan atau kapal dagang kaya di negara kolonial. Hegemoni pada patron, membuat pekerja tidak punya pilihan, walau bekerja dengan upah rendah,dan berbagai kesewenang-wenangan tuannya.
Di novel ini juga ada kisah penyebaran iman Protestan di Chili oleh para misionaris Inggris. Sentuhan humornya adalah tokoh Jacob Todd yang ke berlayar ke selatan menuju Chili bukan karena panggilan tugas misionaris, tapi memang gemar bertualang. Dia naksir berat dengan Miss Rose. Miss Rose digambarkan cantik, cerdas dan rajin merawat diri dengan berbagai losion eksotis dari timur jauh yang dibawa kakaknya, John Sommers. (Catatan: Kalau kita tahu  dalam Geografi Regional, timur dekat, timur tengah dan timur jauh itu dipandang dari sudut pandang penjelajah Barat ya. Jadi bukan hanya jaman now aja perawatan kulit dari Asia ini hits, udah dari 1840-an terkenalnya).
Akibat reputasi yang buruk, Jacob Todd terkucil. Jika sebelumnya ia masih berharap Miss Rose akan melunak dan menerima cintanya, kini ia malah tidak lagi diundang pada pertunjukan musik setiap Rabu. Tidak ada lagi alasan menetap di Valparaiso, Chili. Dalam kondisi miskin ia ditolong oleh Joaquin Andieta. Joaquin adalah buruh administrasi perusahaan ekspor impor di pelabuhan yang juga sangat miskin.Â
Ia merawat ibunya yang menderita TBC di rumah yang sangat tidak layak. Kisah selanjutnya akan membawa kita ke wilayah utara Amerika, berlayar dengan kapal layar dan kapal uap, melalui Atlantik, singgah di tanah genting Panama, berlabuh di San Francisco, menuju tanah kebebasan California. Aii, sebelumnya juga akan dibawa ke Canton, Cina sambil meresapi kebijaksanaan Konfusionisme yang diajarkan oleh seorang zhong yi pada muridnya.
Di novel negara kolonial itu, saat adegan bertengkar hampir adu fisik misalnya, akan ada penengah yang bicara, "mari tuan-tuan kita duduk dan bicarakan permasalahan ini seperti orang beradab." Kata beradab (civilized) di sini karena orang-orang belahan bumi barat itu menganggap dirinya lebih beradab dibanding negara koloninya.
Quote from Daughter of Fortune. "Kenapa kau tak meminta bayaran pada para penjahat?", Eliza bertanya. Tao Chi'en menjawab, "Karena aku lebih suka mereka yang berhutang kepadaku". Di California yang keras, gali alias penjahat akan melindungi keamanan usaha. Yah, preman gitu. Dalam dunia kita sekarang, otak kejahatan berkerah putih tak perlu mengotori tangannya sendiri untuk melanggar hukum. Iya, mereka memakai tangan penjahat di bawah kekuasaannya. Kita bisa jadi tidak akan menjadi penjahat yang kasar, tapi lebih berpeluang jadi penjahat kerah putih yang tetap necis. Pemalsuan misalnya.
Semakin banyak kau belajar, semakin cepat kau tahu betapa terbatasnya pengetahuanmu, ujar sang guru kepada Tao Chi'en. Tao Chi'en adalah etnis Cina dengan kemauan luar biasa untuk belajar, khususnya tentang pengobatan. Meskipun pengobatan Tiongkok sangat terkenal maju pada zaman itu, tapi dia juga mengagumi teknik pengobatan ala fan wey, sebutan untuk orang barat ketika itu (yah, istilah kita, bule). Teknologi medis Barat sudah mengenal tindakan operasi, yang tidak lazim bahkan tabu dilakukan pengobatan Cina. Hingga ia dan Ebanizer Hobs, dokter rombongan misionari kolonial saling belajar.
Novel ini seolah mesin waktu yang membawa kita pada rasa takjub saat dunia dipenuhi penemuan baru. Banyak sekali yang ingin dibagi,fakta yang ingin dikonfirmasi. Kembali ke dunia saat semua masih baru, di pertengahan abad 19 yang penuh keajaiban. Isabel Allende dengan gaya tulisannya yang humoris berhasil membuat saya tersenyum berulang. Ketika ia menggambarkan Tao Chien yang memilih kapal layar daripada kapal uap.Â
Takut jika ketel raksasa berisi air mendidih mesin uap meledak, ia bisa mati di laut dengan tubuh hangus dan tidak utuh. Juga, awal ide pengawetan bahan perbekalan segar seperti sayur dan daging dengan es dan garam. Tahun itu belum ada mesin pembuat es, jadi es diambil dari salju abadi gletser. Ini novel yang sungguh menarik.
Identitas buku: Judul Daughter of Fortune. Pengarang Isabelle Allende. Penerbit: Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H