Mohon tunggu...
dian equanti
dian equanti Mohon Tunggu... Dosen - Pengajar Geografi

Menggemari isu Lingkungan, dan Kependudukan

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Maju Negaranya, Bahagia Warganya

19 Oktober 2017   12:13 Diperbarui: 19 Oktober 2017   17:40 1070
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: capitalfm.co.ke

Bahagia itu sederhana. Ungkapan ini seolah hadir untuk memotong deretan syarat bagi manusia untuk bahagia. Sebut saja syarat itu, performa fisik prima, pasangan yang setia, keluarga harmonis, sahabat dan lingkungan yang mendukung kehidupan pribadi dan sosial, dan memiliki akses terhadap berbagai pilihan.

Satu di antara kodrat manusia adalah berkehendak. Kehendak ini praktis membedakan manusia dari mahluk berakal lain. Dengan kehendak, manusia menjadi hewan yang paling banyak keinginan. Konon, diberi seribu pilihan, kehendak ini mendorong manusia mencari pilihan ke seribu satu. Begitu seterusnya. Dan kita membutuhkan sarana memenuhi kehendak itu, berupa uang, wewenang, pengaruh, juga kemerdekaan.

Dalam ungkapan bahagia itu sederhana, serta-merta bahagia direduksi dalam konsep rasa senang. Padahal perasaan senang sesaat sifatnya. Akhir-akhir ini, tren keterangan foto di media sosial berbunyi, "bahagia itu sederhana, bisa kumpul bareng keluarga di hari libur". Liburnya usai, senangnya berkurang. Lalu intensitas senang ini akan meningkat kembali saat dopamine diproduksi oleh sel-sel saraf otak. Pemicunya boleh jadi kabar honor kerja sudah cair, atau berhasil berburu barang yang sedang dikorting besar.

Bahagia menurut saya bukan cuma senang sesaat. Bahagia menggambarkan keadaan positif tentang apa yang dirasakan seseorang dengan kondisi kehidupannya. Kalau Anda ditanya apakah saat ini bahagia, bisa jadi hampir semua menjawab 'Ya'.  

Tumbuh dalam budaya yang menginternalisasi rasa syukur, kebanyakan kita akan sungkan atau malu mengaku tidak bahagia. Di sinilah letak biasnya, miskin asal bahagia. Bagaimana bisa bahagia jika kebutuhan minimal pun tidak tercukupi.Kategori cukup bagi manusia dipengaruhi subyektivitas masing-masing. Ada yang cukup dengan penghasilan tiga juta rupiah per bulan, namun nominal yang sama terasa kurang jika harus memenuhi kebutuhan keluarga yang tinggal di kota besar dengan dua orang anak usia sekolah, ditambah persoalan pasangan tidak memiliki sumber penghasilan.

Katanya, bahagia itu tak semua tentang uang. Sahabat yang menemani saat kemalangan menimpa, bahkan meminjamkan uang di saat terdesak menjadi komponen yang membuat perasaan tenang. Sebaliknya, kondisi yang tampak mapan secara ekonomi pun bisa merasa kurang bahagia. Coba simak video iklan Meikarta. Tampak seorang gadis kecil yang duduk di dalam mobil; mengamati kehidupan kotanya.Wajahnya murung dalam lamunan. Banjir, jalanan rawan kejahatan dan tumpukan sampah membuatnya jengah. Dalam hati ia berdoa, "bawa aku pergi dari sini".

Kita boleh saja membuat daftar faktor-faktor yang mempengaruhi kebahagiaan. Di dalam daftar itu tulislah terpenuhinya kebutuhan materi, emosional, lingkungan yang nyaman, dan daya dukung sosial. Satu lagi, terpenuhinya kebutuhan spiritual. Di dalamnya mencakup rasa syukur pada Sang Pencipta, hubungan selaras dengan alam, dan perasaan tentram.

Konsep bahagia sangat subjektif seperti diilustrasikan di atas. Agar dapat dipantau secara internasional, indikator kebahagiaan dalam konteks kolektif harus disusun untuk merangkum berbagai aspek kesejahteraan (wellbeing) yang dapat diterima secara universal. Laporan Survei Kebahagiaan Dunia pertama kali dipublikasikan bulan April 2012 oleh PBB dalam pertemuan tingkat tinggi membahas kebahagiaan dan kesejahteraan. Kebahagiaan dipandang sebagai parameter yang lebih pas untuk mengukur keberhasilan pembangunan sosial dan ketercapaian target kebijakan publik.

Terdapat delapan indikator Kebahagiaan oleh PBB tahun 2017, yaitu : 1) Pendapatan per Kapita; 2) usia harapan hidup berdasarkan (WHO); 3)Dukungan sosial; 4) Kebebasan menentukan pilihan hidup; 5) Kedermawanan; 6) Persepi korupsi; 7) Perasaan positif; dan 8) Perasaan negatif. Penjelasan singkat kedelapan indikator kebahagiaan itu sebagai berikut.

Pendapatan per kapita diterjemahkan sebagai kemampuan daya beli masyarakat dalam nilai Dollar menurut nilai konstan tahun 2011.

Usia harapan hidup, adalah rerata lama usia yang dapat dicapai oleh seorang warga negara saat lahir, berdasarkan data Badan Kesehatan Dunia (WHO).

Dukungan sosial, adalah rerata nasional Gallup World Poll (GWP) dengan jawaban biner nol  (0) atau satu (1), dalam merespon pertanyaan, "Jika Anda dalam masalah, apakah Anda memiliki kerabat atau teman yang akan membantu saat Anda membutuhkannya".

Kebebasan menentukan pilihan hidup, adalah rerata nasional GWP untuk pertanyaan, "Apakah Anda puas, atau tidak puas dengan kebebasan menentukan pilihan terhadap hidup Anda sendiri?

Kedermawanan (generosity), adalah rerata nasional GWP sebagai respon terhadap pertanyaan, "Apakah Anda mendonasikan uang untuk amal bulan yang lalu".

Persepsi korupsi, merupakan rerata nasional GWP terhadap dua pertanyaan, yaitu (i) "Apakah korupsi menyebarluas dalam sistem pemerintahan", dan (ii) "Apakah korupsi menyebarluas dalam dunia usaha (bisnis)".

Perasaan positif (positive affect), didefinisikan sebagai rerata pengukuran perasaan bahagia selama beberapa hari yang lalu, mewakili kebahagiaan, keceriaan, dan kenyamanan.

Perasaan negatif (negative affect), didefinisikan sebagai rerata pengukuran perasaan negatif selama beberapa hari yang lalu, mewakili perasaan kekhawatiran, kesedihan, dan kemarahan dalam berbagai intensitasnya.

Khalayak pembaca data perlu memahami sifat generalisasi menjadi ciri khas output survei. Artinya, indeks yang dihasilkan dianggap mewakili populasi di wilayah survei. Wajar jika ada kasus yang tidak selaras dengan pernyataan publikasi secara general, selama keberadaan data menyimpang ini tidak mengganggu tingkat kepercayaan survei. Fenomena ini dapat menjadi bahan kajian studi kasus.

Pasca pelantikan Gubernur DKI Jakarta, 16 Oktober lalu, warga Jakarta akan menjadi saksi bagaimana slogan kampanye Anies Baswedan-Sandiaga Uno, "Maju Kotanya, Bahagia Warganya" diwujudkan. Menarik dicermati bahwa slogan ini tampaknya terinspirasi dari capaian negara-negara maju meraih predikat paling bahagia. Tahun 2017, The worldhappines.report melansir 10 negara di peringkat paling bahagia selama kurun waktu 2014 -- 2016, berturut-turut adalah Norwegia, Denmark, Islandia, Switzerland, Finlandia, Belanda, Kanada, Selandia Baru, Australia dan Swedia. 

Bagaimana dengan Indonesia? Berdasarkan survei yang dilakukan terhadap 155 negara tersebut, Indonesia menempati ranking 81, dua peringkat di bawah Cina (urutan 79). Di Asia Tenggara posisi negara kita bahkan berada jauh di bawah Filipina (urutan 72).

Adakah korelasi antara negara maju dengan kebahagiaan warganya? Dikutip dari situs investopedia.com, ada beberapa ciri yang membedakan negara maju dengan negara berkembang. Dominasi ciri negara maju secara kasat mata adalah sistem industrialisasi yang diimplementasikan secara masif dalam kehidupan warga negaranya. 

Dari aspek kesetaraan gender, lebih banyak proporsi wanita yang bekerja khususnya mereka yang menduduki posisi eksekutif utama. Negara maju menggunakan sumberdaya dunia dalam jumlah yang tidak berimbang dibandingkan negara-negara berkembang, terutama sumber energi dunia seperti minyak bumi dan gas. Penjelasannya karena warga negara maju sebagian besar mengendarai mobil, menggunakan perangkat elektronik lebih banyak di rumahnya, sehingga kebutuhan listriknya pun tinggi. 

Kondisi ini kontras dengan negara berkembang, di mana banyak warganya belum menggunakan teknologi yang memerlukan penggunaan sumberdaya alam tersebut. Yang menarik, tingkat hutang di negara maju justru tinggi. Ini karena lebih banyak jumlah warga negara maju yang memiliki akses pembiayaan dari perbankan. Sebaliknya, di negara berkembang masih banyak mereka yang kesulitan mendapat pinjaman modal dari bank.

Instrumen lain yang digunakan untuk menentukan kemajuan negara adalah HDI (Human Development Index). Komponen HDI atau dikenal dengan Indeks Pembangunan Manusia merupakan komposit dari indikator angka harapan hidup saat lahir (Life expectancy at birth), lama sekolah yang diharapkan (Expected years of schooling), dan pendapatan nasional per kapita (Gross National Income per Capita).  

Dengan nilai antara 0 hingga 1, semakin maju suatu negara, nilai HDI akan semakin mendekati angka 1 (satu), demikian pula sebaliknya. Sebagai informasi, sebagian besar negara maju meraih nilai HDI di atas 0,8. Negara-negara maju dengan nilai HDI di atas 0,8 di antaranya terdapat Jerman (0,92), Perancis (0,89), Belanda (0,92), Norwegia (0,94), Korea Selatan (0,89), Swedia (0,9), Australia (0,93), Kanada (0,91), Finlandia (0,89), Islandia (0,92), Denmark (0,92), Switzerland (0,94)dan New Zealand (0,91).

Tampaknya negara maju memang berpeluang membahagiakan warganya. Di antara deretan negara dengan HDI di atas 0,8 tersebut, ada Norwegia, Denmark, Islandia, Switzerland  dan Finlandia yang termasuk 5 besar negara paling bahagia di dunia. Membandingkan indikator HDI dengan indeks kebahagiaan, memang ada sudut pandang berbeda pada keduanya dalam memandang keberhasilan pembangunan.  

Penggunaan parameter lama sekolah memunculkan kritik terhadap HDI yang tidak mengakomodasi kebebasan masing-masing warga dalam membuat berbagai pilihan tentang pendidikan formal. Warga negara yang memilih untuk tidak menempuh pendidikan tinggi, secara kasar jatuh pada kelompok sosial yang lebih rendah dibanding mereka yang bersekolah lebih lama.

Juni 2016 menandai komitmen OECD (Organization for Economic Cooperation and Development) untuk mendefinisikan ulang makna pertumbuhan ekonomi dengan mengetengahkan kesejahteraan penduduk sebagai perhatian utama upaya pemerintah. Demikian pula pemimpin UNDP dalam pidatonya menegaskan bahwa kualitas lebih penting daripada pertumbuhan ekonomi itu sendiri. 

Perhatian lebih pada kebahagiaan haruslah menjadi bagian dari upaya bersama mewujudkan pembangunan manusia yang berkelanjutan.

Mewujudkan warga bahagia tentu membutuhkan upaya keras semua pihak, baik pemerintahan hingga masyarakatnya sendiri. Tidak hanya bertujuan meningkatkan citra positif persepsi korupsi, mengingat aspek kebahagiaan mencakup berbagai aspek hingga urusan perlindungan hak menjalankan pilihan. Kita sebagai warga masyarakat pun punya peran dalam menyebarkan perasaan nyaman, dan peduli lewat kedermawanan dan menciptakan perasaan positif itu dalam keseharian.

Salam Bahagia

Pontianak, 19 Oktober 2017.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun