Mohon tunggu...
dian equanti
dian equanti Mohon Tunggu... Dosen - Pengajar Geografi

Menggemari isu Lingkungan, dan Kependudukan

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Darurat Ketahanan Ideologi Pada Generasi Muda

6 Oktober 2017   11:01 Diperbarui: 6 Oktober 2017   11:06 5850
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Benarkah ketahanan ideologi Indonesia berada dalam kondisi rapuh? Setidaknya demikian yang bisa kita tangkap dalam pernyataan Lembaga Pertahanan Nasional (lemhanas) beberapa waktu ini. Jika menilik beberapa pemberitaan berkaitan dengan ketahanan ideologi, akan banyak dijumpai pernyataan senada bahwa ketahanan ideologi sedang dalam kondisi mengkhawatirkan. Dalam rentang 2014-2015 ada 12 provinsi yang mengalami pelemahan ketahanan ideologi, bahkan dari 34 provinsi di Indonesia, hanya terdapat 5 provinsi yang berada dalam klasifikasi cukup tangguh berdasarkan survei yang dilakukan oleh The Fund for Peace.

Sebelum bicara jauh tentang ketahanan ideologi di kalangan generasi muda, kita akan mulai terlebih dahulu dengan pemahaman mengenai ketahanan ideologi. Ketahanan ideologi adalah kondisi mental bangsa Indonesia berlandaskan keyakinan terhadap kebenaran ideologi Pancasila yang memiliki kemampuan menggalang persatuan dan kesatuan nasional. 

Dalam hal ini, bangsa Indonesia meyakini bahwa Pancasila merupakan ideologi yang dapat menyatukan berbagai perbedaan suku, agama, ras  dan budaya yang telah ada di bumi nusantara, demi kepentingan bersama untuk mewujudkan cita-cita nasional dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Tangguh artinya tahan terhadap ancaman. Jika tangguh dilekatkan pada sikap mental manusia, maknanya ia tidak mudah menyerah menghadapi berbagai rintangan. Dalam konteks berbangsa, ketahanan ideologi ini seyogianya dicerminkan oleh sikap kolektif warga negara yang menghayati dan mengamalkan Pancasila.

Kembali pada sikap mental, maka ketahanan ideologi inipun bisa melemah karena adanya pengikisan nilai ideologi dalam masyarakat. Oleh karena itu perlu upaya untuk membangkitkan kembali gagasan tentang pentingnya pengamalan nilai-nilai Pancasila di kehidupan sehari-hari. Layaknya seseorang yang menurun semangatnya ketika berhadapan dengan masalah yang melahirkan pesimisme, mereka yang tangguh memiliki resiliensi yang tinggi. Dengan demikian, ketahanan ideologi dapat dimaknai sebagai resiliensi suatu ideologi bertahan menghadapi pergulatan dinamika sosial politik ekonomi untuk tetap hidup dan menjadi gagasan utama yang menjiwai seluruh tatanan kehidupan warga bangsanya.

Tentu saja untuk terus hidup, ideologi negara perlu terus dipelihara, dilestarikan,  diwariskan generasi masa kini agar diwarisi generasi mendatang. Negara ini akan tetap berdiri tegak sebagai Negara Kesatuan Republik Indonesia jika generasi mudanya memegang teguh ideologi yang telah diwariskan pendiri bangsa. Menilik UU No. 40 Tahun 2009 tentang Kepemudaan, definisi pemuda dibatasi pada mereka yang berusia 16 hingga 30 tahun, namun generasi muda memiliki jangkauan spektrum definisi yang lebih lebar. Dari aspek program pembinaan misalnya, generasi muda adalah bagian penduduk yang berusia 0 -- 30 tahun. 

Dipandang dari kematangan psikologis, usia 30 -- 40 tahun dianggap sebagai masa transisi kedewasaan pemuda menuju tingkat kematangan pribadi. Sedangkan secara ideologis-politis, generasi muda adalah mereka yang akan menggantikan generasi pendahulu sebuah organisasi, atau kepemimpinan dalam masyarakat, yang berusia 18 -- 30 tahun, bahkan hingga 40 tahun. Oleh karena itu, nasib suatu bangsa, baik dan buruknya negara ini kelak, sangat ditentukan oleh karakter generasi mudanya, oleh nasionalisme dan patriotisme yang mereka miliki untuk membangun negerinya, penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi, serta daya saing mereka dengan bangsa-bangsa lain di dunia.

Berada di usia yang prima, generasi muda memiliki produktivitas yang tinggi, aktif serta memiliki idealisme yang tinggi. Idealisme adalah keyakinan atas suatu hal yang dianggap benar oleh individu yang bersumber dari pengalaman, pendidikan, kultur budaya dan kebiasaan. Idealisme tumbuh secara perlahan dalam jiwa seseorang, dan termanifestasikan dalam bentuk perilaku, sikap, ide maupun cara berpikir.

Idealisme ini mendorong kaum muda tertarik pada nilai-nilai ideal, tentang kehidupan bermasyarakat, penegakan hukum, keadilan termasuk kehidupan beragama. Daya tarik nilai ideal ini membawa tuntutan implementasi norma-norma ideal tersebut dalam hidup bermasyarakat, dan bernegara. Hal ini berimplikasi pada munculnya gerakan-gerakan pemuda untuk mewujudkan konsep ideal itu. Seorang tokoh nasional, Tan Malaka pernah berkata, "Idealisme adalah kemewahan terakhir yang dimiliki pemuda".

Idealisme tentang cita-cita bangsa Indonesia yang berdaulat bebas dari kolonialisme menjadi bahan bakar yang menggerakkan para pemuda berjuang, dalam pergerakan-pergerakan nasional menempuh risiko apapun mewujudkan kemerdekaan Indonesia. Di masa pasca reformasi, dengan kebebasan berserikat dan mengekspresikan pendapat yang lebih luas, idealisme pemuda muncul dalam berbagai bentuk yang lebih beragam. Mereka bersedia mengambil inisiatif dan terobosan berani, memotong rantai birokrasi dan prosedur berbelit, hingga lahir gerakan-gerakan swadaya yang dipelopori para pemuda. Sebut saja kisah Gamal Albinsaid, seorang dokter muda yang menggerakan warga binaannya untuk mengelola sampah, yang kemudian hasil pemilahan sampah dihargai senilai nominal tertentu agar dapat digunakan untuk membiayai pengobatan.

Banyak contoh idealisme generasi muda yang dijiwai keingingan mengabdi, melestarikan budaya, meningkatkan derajat pendidikan dan kesejahteraan masyarakatnya, bahkan rela melepas kenyamanan (privilege) yang sudah dinikmati sebagai kalangan sukses dengan jabatan pekerjaan dan penghasilan yang tinggi. Inilah idealisme pemuda yang tentu selaras dengan nilai luhur Pancasila yang diilhami Kemanusiaan yang adil dan beradab. Menjadi pendidik di daerah terpencil, menjadi tenaga medis, pelestari mangrove di daerah pantai yang memberdayakan masyarakat, adalah sebagian contoh yang kita saksikan. Dorongan untuk memanusiakan sesama manusia yang rendah akses kesehatan, pendidikan dan pembiayaan oleh perbankan konvensional, dan lain-lain.

Di sisi lain, idealisme mendorong sikap kritis generasi muda terhadap penyimpangan nilai-nilai ideal yang semestinya hadir di tengah masyarakat. Nilai itu antara lain, penegakan hukum, kemakmuran yang merata, keadilan sosial, pemimpin yang jujur, ketertiban bermasyarakat dan sebagainya. Sementara Pancasila, yang dinyanyikan anak-anak Sekolah Dasar, Garuda Pancasila, lalu diberikan dalam mata pelajaran PPKn hingga perguruan tinggi berupa mata kuliah wajib Pendidikan Pancasila, terasa hanya sebatas ideologi bisu. Sebagian generasi muda beranggapan bahwa Pancasila tidak hadir di tengah berbagai masalah yang dihadapi bangsa Indonesia. Dan golongan ini tertarik untuk menemukan alternatif solusi all in one package pada ideologi lain.

Hadirnya organisasi masyarakat yang menginginkan Pancasila diganti dengan ideologi yang berasal dari golongan agama mayoritas menjadi klimaks dari bersemainya bibit-bibit antiPancasila. Meskipun dikatakan bahwa dengan diterapkannya ideologi tersebut, penganut agama lain tetap bebas melaksanakan peribadatannya masing-masing, namun perilaku pemaksaan pelaksanaan tata cara ibadah ataupun tata perilaku penganutnya sudah mulai marak. Pemaksaan itu berupa intimidasi misalnya, razia yang dilakukan perseorangan atau kelompok orang terhadap mereka yang tidak melaksanakan puasa, penyebaran di media sosial yang memojokkan ajaran maupun penganut agama lain, atau bahkan masyarakat dalam satu golongan agama yang saling menjelek-jelekkan karena perbedaan pemahaman dalam menterjemahkan makna suatu dalil.

Perlu digarisbawahi bahwa kebebasan berpikir setiap manusia perlu dihargai, karena kemanusiaan selayaknya mengedepankan penghormatan pada manusia secara utuh. Artinya, ruang-ruang diskusi semestinya tetap dibuka bagi berbagai ideologi yang masuk ke Indonesia. Hal ini untuk memperkaya khasanah keilmuan generasi penerus. Namun generasi muda pun perlu mendalami perjalanan bangsanya, sehingga selalu ada upaya untuk meletakkan wawasan dari penjuru dunia untuk memperkaya kemajemukan bangsa Indonesia.

Upaya-upaya merawat ketahanan ideologi harus  mengikuti perkembangan zaman. Berpuluh-puluh jam penataran Pedoman Penghayatan Pengamalan Pancasila (P4) seperti era Orde Baru tidak lagi pas diberikan pada anak-anak muda sekarang. Kaum muda sekarang adalah generasi millennial, yaitu mereka yang lahir antara tahun 1982 hingga awal 2000. Generasi ini berciri adaptif terhadap perkembangan teknologi, memiliki keingintahuan tinggi sehingga mudah mempelajari hal baru. Dari merekalah lahir inovasi-inovasi yang tidak pernah dipikirkan generasi sebelumnya. Dalam generational theory, generasi digolongkan berdasarkan era dominan yang menandai saat kelahiran mereka. Generasi muda saat ini didominasi oleh tipe Y, yakni mereka yang lahir dari tahun 1980 hingga 1990 an.  

Dalam banyak bahasan mengenai tipe generasi dalam dunia kerja, dikatakan bahwa generasi Y cenderung menyukai sesuatu yang instan, mereka tipe multitasking. Sikap instan ini karena mereka hidup saat teknologi memberikan banyak kemudahan, mulai dari melakukan aktivitas sehari-hari hingga memperoleh informasi. E-marketer seperti dikutip laman kominfo.go.id memprediksi pengguna internet di Indonesia mencapai 112 juta. Paparan generasi muda pada internet sangat tinggi, sebagaimana survei APJII 2016 menyatakan bahwa 42,8 persen pengguna berusia antara 10 -- 34 tahun. Sementara aktivitas paling dominan pengguna internet pada 2016, 73 persen digunakan untuk membuka situs jejaring sosial. Padahal jejaring sosial dengan batasan karakter tertentu untuk konten tulisan, sementara dilengkapi fitur berbagi objek visual berupa foto dan video, segala informasi menyebar dengan kecepatan sekali tekan.

 Menghadapi ledakan informasi yang tersaji, generasi muda sebagai pengguna terbanyak internet harus membekali diri dengan daya pikir kritis untuk menangkal berita bohong, ujaran kebencian ataupun provokatif. Dan daya kritis ini di antaranya dihasilkan dari generasi dengan literasi yang baik. Sayangnya inilah yang belum menjadi budaya utama. Membaca dari berbagai sumber, mendengar dan menyimak dari berbagai sisi dan lalu berdiskusi harusnya menjadi budaya ilmiah yang tumbuh seiring dengan peningkatan akses informasi instan yang disediakan internet.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun