Ketika Kompasiana mengajukan topik "definisi cantik", saya berpikir pertanyaan ini sepertinya akan punya jawaban sama jika diajukan kepada pemenang beauty pageant alias kontes puteri-puterian di Kerajaan Bumi.
Cantik luar dalam, begitu jargonnya. Cantik fisiknya, perilakunya, juga cerdas pemikirannya, atau dikenal dengan 3 B, Beauty, Behaviour, Brain. Kalaupun 3 parameter tersebut disusun menurut prioritas, akan lebih baik jika Behaviour, Brain, terakhir Beauty yang tentu menjadi daya tarik tambahan.Â
Menelusur jejak penanaman konsep cantik ala putri, anak-anak perempuan perkotaan biasanya tak lepas dari pengenalannya dengan karakter-karakter Disney. Kisah-kisah klasik Putri Salju, Cinderella, hingga yang Frozen adalah sejumlah karakter yang populer.
Ahli bahasa Carmen Fought dan Karen Eisenhauer melakukan analisis terhadap dialog 12 film Disney. Fought menyatakan ada pesan tersirat yang disampaikan kepada anak perempuan, bahwa nilai diri mereka didasarkan pada penampilan.Â
Pada film-film awal, antara lain Putri Salju, Cinderella, Sleeping Beauty, The Little Mermaid, dan Beauty and the Beast, 60 persen pujian berkaitan dengan penampilan, dan hanya 9 persen  pada kemampuan.
Pergeseran paradigma yang bergerak menuju pada kesetaraan gender, direspons pada film-film yang lebih baru. Tangled dan Brave misalnya, pujian lebih meningkat pada kemampuan. Anak-anak perempuan mendapat lebih pengakuan pada keberaniannya daripada penampilannya.
Kombinasi sifat-sifat cantik fisik, baik hati, cerdas, dan berani menjadi sari konsep kecantikan secara universal. Dalam kontes-kontes kecantikan, paramater-parameter cantik ini digunakan untuk menilai para kontestan.
"Being a princess" seperti yang dominan dihadirkan dalam kontes kecantikan, seolah menjadi ajang mewujudkan "mimpi menjadi putri" sebagian wanita muda di dunia. Berbungkus duta wisata, pemberdaya perempuan dan kerja sosial lainnya, tetap saja apa yang disajikan ke penyimaknya di seluruh dunia adalah tentang kecantikan fisik para peserta kompetisi itu. Dengan alasan yang sama saya pernah menyatakan ketidaksetujuan atas diselenggarakannya kontes kecantikan versi alternatif religius, you named it.Â
Walau berbungkus baju rapat seluruh tubuh, ditambah penguasaan bahasa asing, kemampuan olah seni, sekali lagi subyektivitas juri akan dipengaruhi kecantikan penampilan fisiknya.
Masalahnya di sini, adalah penilaian-penilaian pada tubuh, wajah, bisa jadi juga karakter perempuan yang membuat seolah perempuan adalah obyek yang bisa kita klasifikasikan dalam grade A, B, C. Cantik, lumayan cantik, cantik tapi kurang cerdas, dan seterusnya.Â
Perempuan menjadi tidak mandiri bahkan sekedar untuk menghargai dirinya sendiri, karena ia senantiasa disodorkan sejumlah kriteria idol, yang justru mengedepankan keindahan ragawi.