Beberapa hari lalu, saya mendapat telepon berkode area Jakarta. Seorang wanita ramah menyebut nama lengkap saya dan mengenalkan dirinya. Ia menanyakan apakah benar saya nasabah bank yang ia sebutkan, saya mengiyakan. Dan seperti ditebak ia menawarkan produk asuransi yang katanya bekerja sama dengan bank tersebut.
Saya bukannya tidak setuju dengan upaya marketing asuransi seperti itu. Telpon yang terus berdering ke nomor handphone pada saat hari dan jam sibuk tentu mengganggu. Biasanya telpon tawaran asuransi saya tolak dengan alasan kesibukan. Dan, penawaran iklan via telepon seperti itu menurut saya sulit dipercaya. Tidak ada bukti apapun jika terjadi klaim. Untuk kalangan dengan terbiasa dengan budaya membaca, email atau brosur menurut saya lebih baik. Lewat brosur, informasi tentang jasa atau produk yang ditawarkan bisa dipelajari terlebih dahulu oleh calon prospek. Justru pada pertemuan langsung dengan agen asuransi, kita bisa bertanya atau mengkonfirmasi ketentuan tentang skema asuransi yang dipilih. Kembali pada tujuan mula tulisan ini, sebaiknya saya hentikan saran bagi marketing asuransi, karena mereka tentu lebih paham strategi yang tepat memasarkan produk asuransi.
Yang saya persoalkan adalah apakah pihak Bank dapat menggunaka data pribadi saya untuk kepentingan pihak ketiga? Secara etika pun kita perlu minta izin jika memberikan nomor kontak seseorang kepada orang lain.
Saat mengajukan aplikasi membuka rekening pada bank, calon nasabah diminta mengisi data pribadi secara lengkap dan jujur. Ini merupakan itikad baik seorang nasabah untuk memudahkan segala urusan dengan pihak bank secara administratif dilandasi kepercayaan yang tinggi mengenai uang yang dititipkan, termasuk kerahasiaan data pribadi yang diberikan. Sayangnya data-data pribadi nasabah ini tidak jarang disalahgunakan bocor ke pihak ketiga. Kepentingan penggunaan data ini pun tidak ada hubungannya dengan masalah antara bank dengan nasabah langsung, namun kepentingan komersial lain. Apakah data nasabah tidak termasuk data rahasia sehingga boleh dipertukarkan?
Sebagai orang yang tidak paham hukum penggunaan data, cara praktis yang bisa dijadikan rujukan apalagi kalau bukan googling. Berikut informasi yang saya peroleh dari forum tanya jawab masalah hukum di situs hukumonline.com bertajuk “Bolehkan Bank Memberikan Informasi Data Nasabah”.
Dari laman ini saya mendapat informasi bahwa segala sesuatu yang berhubungan dengan keterangan mengenai nasabah penyimpan dan simpanannya, merupakan rahasia bank. Ketentuan ini diatur dalam Pasal 1 angka 28 UU. No 10 Tahun 1998 tentang Perubahan atas UU No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan (UU Perbankan). Pasal 40 ayat (1) UU Perbankan mengatakan bahwa bank wajib merahasiakan keterangan mengenai nasabah penyimpan dan simpanannya.
Keterangan mengenai nasabah yang dimaksud termasuk nomor HP, alamat tempat tinggal dan tempat kerja. Pada hari itu si agen yang menelepon ke kantor tempat saya bekerja. Senin pagi. Mendengar si penelepon menyebut nama lengkap saya menyebut sebuah bank, tentu saya berkerut mendengarkan di awal, merasa saya tidak pernah terlambat menyelesaikan pembayaran kredit. Eh.. Rasanya seperti ditagih hutang aja.
Penggunaan data nasabah dan simpanannya di bank memiliki beberapa pengecualian, yaitu
1. Untuk kepentingan perpajakan
Pimpinan Bank Indonesia atas permintaan Menteri Keuangan berwenang mengeluarkan perintah tertulis kepada bank agar memberikan keterangan dan memperlihatkan bukti-bukti tertulis serta surat-surat mengenai keadaan keuangan nasabah penyimpan tertentu kepada pejabat pajak (Pasal 41 ayat (1) UU Perbankan).
2. Untuk penyelesaian piutang bank yang sudah diserahkan kepada Badan Urusan Piutang dan Lelang Negara/Panitia Urusan Piutang Negara