Kun Fayakun!
Tuhan sedang mengucap mantra
Senja tak lagi indah nan memesona, pijakanku seketika runtuh tak berarah
Terpantul bayang kegelisahan dari cermin kesayangan, membeku, menyusuri ruang diri
sambil berkata, "Apakah damai masih ada?" pada senja yang melumpuhkan jiwa bernyawa
Rindu tak lagi untuk terkasih
Menjelmalah rindu menjadi ratusan ribu tanda tanya
"Apa rindu hanya dibayar dengan temu?"
"Apa obat dari hanyalah peluk?"
Geram jiwaku pada Sang Penguasa!
Pulangkanlah nyawa yang senantiasa membuatku berbenah
Hapuskan segala derai air yang mengucuri tubuhnya
Kuguncangkan raganya, kubisikkan kalimat cinta yang kupunya
Bibirnya merekah, terlukis merah rona pipi atas kepulangannya
Menggigil raganya, hanya dua tangan menengadah yang akan menghangatkan
Berapa kilometer rindu menembus jarak?
Bagaimana nasib rinduku yang tak kunjung menemnui peluk?
Musnah bekas pengharapan dalam ruang diriku atas rindu yang harus dibayar tuntas
Rindu akan senantiasa bercorak kelabu, seutas benang putih antara aku dengannya
Tuhan dan doa adalah wujud terbaik dari pertemuan juga pelukan
dengan pinta agar Tuhan dan doa selalu memelukmu dalam keabadian
-dari gadis kecil yang selalu menyebutmu Ayah
Wahyu Dian Andriana, mahasiswa Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia di Universitas Negeri Surabaya
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H