Mohon tunggu...
Diandra Widya Nararya
Diandra Widya Nararya Mohon Tunggu... Lainnya - -

-

Selanjutnya

Tutup

Ruang Kelas Pilihan

Sebuah Takdir

30 November 2020   19:20 Diperbarui: 30 November 2020   19:31 37
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Jika itu masalahnya, Aku tidak peduli, Aku akan menghukum diriku sendiri untuk ini!" Dia berkata dengan tegas. 

Aku tersentak dan menjauh dari Amelia dan berbalik menghadap Mark, matanya yang tajam berubah menjadi murung, alisnya berkerut karena kebingungan dan marah, serta bibirnya ikut mengerucut erat. 

"Tidak! Tidak, kenapa tidak ada yang bisa mengerti aku sedikit saja? Kenapa semua orang hanya berkata apa yang ada di benaknya mereka sendiri?? KENAPA!? " Aku sangat memohon untuk dimengerti.  Aku sangat frustasi dan tidak tahan lagi dengan situasi ini, rasanya seakan-akan ada asap  mengepul yang keluar dari telingaku. 

"Tolong kalian semua pergi!" Aku berteriak dan melangkah pergi dengan terengah-engah. 

Setelah berlari terus menerus selama satu atau dua jam, kakiku sangat lemas dan seperti mati rasa. Aku berhenti dan berusaha menjaga langkahku agar tidak terjatuh. Sore itu, aku mengira sekitar jam 4 dan aku tidak tahu di mana aku berada. 

Mungkin ini adalah tujuanku, mungkin dikecewakan adalah takdirku, mungkin hidup tanpa perasaan dan disakiti adalah suatu keberhasilan yang aku dapatkan, mungkin aku sangat ditakdirkan untuk hal ini, takdir untuk bepergian tanpa tujuan dan takdir untuk menyakiti diri sendiri tanpa alasan.

Apakah aku baik-baik saja? Baik untuk hidup, bernapas, menikmati hidup, dianggap, dicintai, dirindukan, diperlakukan dengan baik, dimengerti, dan diperhatikan?

Aku jatuh di atas batu besar yang tertutup salju, yang lama-lama salju itu mencair. Aku sangat lelah, kesal, muak, dan berhenti untuk memikirkan hidupku serta orang-orang terdekatku. 

Aku mengangkat bahu saat angin yang dingin berhembus, ketika tersadar aku mencari  jaket kulitku. Setelah memakainya, aku memeluk lututku dan bergerak mundur sedikit ke belakang. Aku menyandarkan kepala dan punggungku di atas batu besar. Saat itu aku mulai menutup mataku dan  merasakan ada lelehan salju yang menetes di kulit kepala dan tulang punggungku.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ruang Kelas Selengkapnya
Lihat Ruang Kelas Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun