Mohon tunggu...
DIANDRA THUFAILAH
DIANDRA THUFAILAH Mohon Tunggu... Lainnya - Mahasiswi Universitas Pendidikan Indonesia

Saya merupakan mahasiswa Universitas Pendidikan Indonesia.

Selanjutnya

Tutup

Politik

Ketika Mayoritas Menentukan : Apakah Pemilihan di Negara Demokrasi Benar-benar Aman?

20 Desember 2024   00:03 Diperbarui: 20 Desember 2024   00:03 21
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Pemilu dan Pilkada sebagai Wujud Demokrasi di Indonesia Indonesia merupakan negara yang menganut sistem demokrasi. Hal ini sudah ditegaskan dalam pembukaan UUD 1945 bahwa Indonesia pada dasarnya berkedaulatan rakyat. Frasa ini menyimpan jantung dalam konsep demokrasi, yaitu kedaulatan tertinggi berada di tangan rakyat. Selain itu, pada UUD 1945 Pasal 1 Ayat 2 semakin diperjelas bahwa : "kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-undang Dasar. Apabila dianalogikan, demokrasi merupakan bibit tanaman yang menumbuhkan pemilu dan pilkada sebagai sebuah konsekuensi. Adapun rakyat dalam hal ini menjadi pemupuk tanah dan pemilah buah yang dirasa paling baik. Ada yang mampu membedakan mana kualitas buah yang baik, ada yang hanya asal memilih, ada yang memilih karena disuruh, dan ada pula yang memilih buah berdasarkan luarnya saja (padahal di dalamnya telah habis digerogoti ulat). Lantas, mengapa pilkada dan pemilu harus dilaksanakan di Indonesia sebagai wujud demokrasi? Berkaca dari sejarah, Indonesia pasca Orde Baru sudah menyelenggarakan empat kali pemilihan umum legislatif secara reguler, dilanjutkan dengan pemilihan presiden secara langsung (Sakir et al.,). Lebih lanjut lagi, untuk memperkuat legitimasi, Indonesia juga menyelenggarakan pemilu kepala daerah secara langsung (Sakir et al.,). Langkah ini merupakan bagian dari reformasi politik yang bertujuan untuk membangun pemerintahan yang lebih akuntabel, transparan, dan partisipatif. Selain itu, penyelenggaraan pilkada secara langsung juga memperkuat hubungan antara pemimpin daerah dan masyarakat yang diwakili. Proses ini tidak hanya memastikan bahwa suara rakyat dihormati, tetapi juga menciptakan mekanisme kontrol sosial yang mendorong para pemimpin untuk bertanggung jawab atas kebijakan yang diambil. Pemilu dan pilkada juga menjadi ajang pendidikan politik bagi masyarakat. Melalui proses ini, rakyat diajak untuk mengenali visi, misi, serta program kerja calon pemimpin, sehingga diharapkan dapat membuat keputusan yang berdasarkan pertimbangan rasional. Dengan demikian, pelaksanaan pemilu dan pilkada di Indonesia tidak hanya berfungsi sebagai sarana pergantian kekuasaan, tetapi juga sebagai pilar yang memperkokoh demokrasi dan menjaga stabilitas politik negara.

 

Benarkah Mayoritas Suatu Negara Menentukan Hasil Pemilihan? 

Demokrasi sering kali digambarkan sebagai sebuah sistem yang berlandaskan pada prinsip "majority rule", di mana keputusan diambil berdasarkan suara mayoritas. Dalam konteks pemilu, hal ini berarti bahwa kandidat atau kebijakan yang mendapatkan suara terbanyak akan keluar sebagai pemenang. Namun, benarkah mayoritas selalu menentukan hasil pemilihan, dan apakah ini mencerminkan demokrasi yang ideal? Pada dasarnya, majority rule adalah prinsip fundamental dalam demokrasi untuk memastikan bahwa keputusan diambil berdasarkan kehendak mayoritas masyarakat. Sistem ini memberikan kesan keadilan dan legitimasi, karena suara terbanyak dianggap mewakili keinginan kolektif. Namun, dalam praktiknya, banyak faktor lain yang memengaruhi hasil pemilu selain sekadar jumlah suara. Salah satu contohnya adalah sistem pemilu yang diterapkan, seperti sistem first-past-the-post atau representasi proporsional, yang dapat menghasilkan distribusi kursi parlemen yang tidak selalu mencerminkan distribusi suara rakyat. Selain itu, konsep mayoritas sering kali menghadapi tantangan dalam konteks masyarakat yang beragam. Di negara dengan pluralitas budaya, agama, dan etnis, suara mayoritas bisa saja mendominasi tanpa memberikan ruang yang cukup bagi kelompok minoritas untuk berpartisipasi secara setara dalam proses politik. Fenomena ini dapat menimbulkan ketimpangan kekuasaan yang berisiko memarjinalkan kelompok tertentu. Oleh karena itu, demokrasi yang sehat tidak hanya mengutamakan suara mayoritas, tetapi juga melindungi hak-hak minoritas sebagai bagian dari prinsip inklusivitas. Di sisi lain, partisipasi pemilih juga menjadi faktor penting yang perlu diperhatikan. Mayoritas suara yang menentukan hasil pemilu sering kali berasal dari mereka yang aktif berpartisipasi, sementara kelompok yang tidak menggunakan hak pilihnya tidak terwakili dalam hasil akhir. Fenomena ini menunjukkan bahwa hasil pemilu tidak selalu mencerminkan kehendak mayoritas populasi, melainkan mayoritas dari mereka yang hadir di tempat pemungutan suara. Dengan demikian, kesadaran politik masyarakat dan tingkat partisipasi dalam pemilu menjadi elemen penting untuk memastikan bahwa hasil pemilu benar-benar merefleksikan kehendak rakyat secara keseluruhan. 

Lantas Bagaimana Jika Masyarakat Didominasi Kebodohan? 

Somin (2004) mengemukakan kalimat yang begitu memperkuat perspektif bahwa masyarakat yang bodoh akan memilih pemimpin yang sama bodohnya. Ia berkata bahwa "Demokrasi menuntut pemilih yang terinformasi". Ketidaktahuan ini bukan hanya masalah individu, tetapi juga ancaman serius bagi keberlangsungan demokrasi itu sendiri. Ketika masyarakat tidak memiliki pengetahuan yang memadai tentang politik, kontrol terhadap kebijakan publik menjadi lemah. Alih-alih menciptakan pemerintahan yang mencerminkan kehendak rakyat, kebodohan politik justru membuat pemerintah lebih rentan untuk dimanipulasi oleh elit. Dalam kondisi seperti ini, suara rakyat yang seharusnya menjadi fondasi demokrasi dapat dimanfaatkan oleh pihak-pihak tertentu untuk kepentingan pribadi atau golongan. Akibatnya, keputusan yang diambil oleh pemimpin yang dipilih tidak lagi mencerminkan kepentingan mayoritas, melainkan menjadi alat legitimasi bagi kekuasaan yang cenderung otoriter atau oligarkis. Lebih buruk lagi, masyarakat yang tidak terinformasi dapat dengan mudah mendukung kebijakan yang sebenarnya bertentangan dengan kepentingan mereka sendiri. Dalam banyak kasus, ketidaktahuan ini diperburuk oleh penyebaran informasi yang salah atau propaganda yang dirancang untuk membentuk opini publik sesuai dengan agenda tertentu. Dengan demikian, pemilih yang kurang pengetahuan bukan hanya pasif, tetapi juga rentan dimanfaatkan untuk memperkuat status quo yang merugikan mereka. Fenomena ini menggambarkan paradoks dalam demokrasi: sementara sistem ini bertujuan untuk mewujudkan kedaulatan rakyat, ketidaktahuan di kalangan pemilih justru dapat merusak tujuan tersebut. Oleh karena itu, pendidikan politik menjadi kunci untuk memastikan bahwa masyarakat tidak hanya memiliki hak suara, tetapi juga kemampuan untuk membuat keputusan yang bijak. Tanpa pemilih yang terinformasi, demokrasi berisiko kehilangan esensinya sebagai sistem yang melayani kepentingan rakyat secara menyeluruh. 

Menilik Kembali Pemilu dan Pilkada di Indonesia

Pemilu dan pilkada di Indonesia selalu menjadi momen krusial dalam perjalanan demokrasi bangsa. Namun, ironisnya, ajang yang seharusnya menjadi pesta rakyat ini kerap diwarnai oleh berbagai polemik dan drama politik. Dari rakyat yang kecewa dengan hasil pemilihan hingga gugatan antarcalon yang kalah dan menang, semua ini seolah menunjukkan bahwa demokrasi kita masih jauh dari sempurna. Suara rakyat, yang digadang-gadang sebagai inti dari demokrasi, acap kali terasa seperti formalitas belaka tanpa benar-benar mewujudkan aspirasi mereka. Salah satu permasalahan mencolok adalah meningkatnya jumlah calon tunggal dalam pilkada. Fenomena ini tentu memunculkan pertanyaan: apakah demokrasi kita benar-benar memberikan ruang bagi berbagai pilihan, atau justru semakin dibajak oleh kepentingan politik tertentu? Ketika rakyat dihadapkan pada pilihan tunggal, demokrasi kehilangan esensinya sebagai sistem yang menawarkan kebebasan memilih. Hal ini menunjukkan lemahnya kompetisi politik yang seharusnya menjadi bagian penting dari proses demokrasi. Tidak hanya itu, strategi politik yang dimainkan para aktor sering kali lebih berorientasi pada kekuasaan daripada pelayanan publik. Koalisi partai dibangun bukan karena kesamaan visi untuk bangsa, melainkan atas dasar kalkulasi kursi dan peluang kemenangan. Praktik ini, ditambah dengan penggunaan politik identitas dan kampanye negatif, justru memperburuk fragmentasi masyarakat. Akibatnya, isu-isu krusial yang seharusnya menjadi fokus utama justru tenggelam di tengah hiruk-pikuk perebutan kekuasaan. Ironisnya, setelah pemilu usai, pemimpin yang terpilih sering kali tidak jauh berbeda dari para pesaingnya. Janji-janji kampanye yang diucapkan dengan lantang perlahan memudar, tergantikan oleh upaya membangun dan mempertahankan kekuasaan. Rakyat, yang sebelumnya diharapkan menjadi subjek utama demokrasi, kembali menjadi objek yang hanya diingat saat pemilu berikutnya. Akan tetapi, demokrasi bukanlah sesuatu yang harus ditinggalkan, melainkan diperbaiki. Rakyat harus diberdayakan agar lebih kritis dan aktif, bukan hanya menjadi peserta pasif dalam setiap pemilu. Di sisi lain, para politisi harus menyadari bahwa kepercayaan rakyat adalah mandat yang harus dijaga, bukan alat untuk meraih kekuasaan semata. Pemilu dan pilkada seharusnya menjadi momentum untuk mewujudkan harapan rakyat, bukan sekadar ajang kompetisi kekuasaan. Jika tidak ada perubahan mendasar dalam cara kita memandang dan menjalankan demokrasi, maka kita hanya akan terus mengulang lingkaran kekecewaan yang sama. 

Upaya Membangun Demokrasi yang Berkualitas Melalui Pemilihan

Protes besar-besaran di Korea Selatan yang menuntut Presiden Yoon Suk Yeol mundur menunjukkan potret rakyat yang sadar akan kekuatan demokrasi. Mereka tahu bahwa kekuasaan pemimpin berasal dari rakyat dan dapat dicabut ketika kepercayaan publik terkhianati. Hal ini menjadi bukti bahwa demokrasi tidak hanya bergantung pada sistem, tetapi juga pada kualitas kesadaran rakyatnya. Sayangnya, di Indonesia, kesadaran semacam ini masih sering terjebak dalam ilusi formalitas pemilu. Kita punya demokrasi, tapi apakah kita benar-benar menjalankannya dengan baik? Banyak persoalan yang masih melingkupi demokrasi kita, mulai dari politik uang hingga minimnya partisipasi yang bermakna. Pemilu masih sering dilihat sebagai ajang rutin lima tahunan tanpa refleksi mendalam tentang apa artinya memilih. Jika kondisi ini dibiarkan, demokrasi kita hanya akan jadi sebuah seremoni tanpa ruh perubahan. Dalam membangun demokrasi yang lebih berkualitas, ada beberapa hal yang perlu kita benahi bersama: 

1. Ciptakan Pemilih yang Melek Politik Demokrasi menuntut rakyat yang paham hak dan tanggung jawabnya. Pendidikan politik harus menjadi prioritas, baik melalui pendidikan formal maupun media sosial yang lebih akrab di kalangan muda. Pemilih perlu tahu, memilih itu bukan sekadar mencoblos nama yang paling familiar, tapi memilih visi yang mampu membawa perubahan nyata. 

2. Tegakkan Hukum untuk Melawan Politik Uang Politik uang bukan hanya menghina kecerdasan pemilih, tapi juga merusak fondasi demokrasi itu sendiri. Penegakan hukum harus berani dan tegas untuk memberantas praktik ini. Tanpa keadilan yang nyata, pemilu hanya menjadi ajang jual beli suara. 

3. Transparansi adalah Harga Mati Proses pemilu yang transparan adalah kunci kepercayaan rakyat. Penghitungan suara, laporan keuangan kampanye, hingga pengawasan independen harus dilakukan secara terbuka. Demokrasi tanpa transparansi hanya akan melahirkan kecurigaan dan apatisme publik. 

4. Peran Media yang Kritis dan Objektif Media memegang peran penting dalam membangun kesadaran masyarakat. Sayangnya, sebagian media masih sibuk menjadi alat propaganda elite politik. Media harus kembali ke fungsinya sebagai pengawas demokrasi, menyuarakan kebenaran, dan memberikan ruang bagi diskusi yang sehat. 

5. Tingkatkan Partisipasi Rakyat Demokrasi yang berkualitas memerlukan rakyat yang aktif, bukan pasif. Partisipasi rakyat tidak berhenti di tempat pemungutan suara; mereka harus terus mengawal kebijakan dan mempertanyakan janji yang pernah diucapkan pemimpin mereka. 

Kisah di Korea Selatan adalah pengingat bahwa demokrasi sejati lahir dari keberanian rakyat untuk peduli dan bertindak. Indonesia memiliki potensi untuk mewujudkan demokrasi yang lebih matang, tetapi itu hanya bisa terjadi jika kita semua berkomitmen untuk terlibat secara kritis dan aktif. Demokrasi bukan milik elite politik; ia adalah milik rakyat, dan kita punya tanggung jawab untuk menjaganya tetap hidup dan relevan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun