Mohon tunggu...
Diandra Shafira
Diandra Shafira Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Saya Diandra Shafira, salah satu mahasiswi dari Universitas Islam Negeri yang berada di Jakarta. Dari dulu saya memang memiliki minat dan ketertarikan pada menulis. Namun, ini pertama kalinya saya mencoba untuk mempublishkannya

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Menerobos Masa Jahiliyah di Makkah dan Tanah Jawa

16 Desember 2024   07:22 Diperbarui: 16 Desember 2024   09:56 23
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Seringkali kita salah menafsirkan kata 'Jahiliyah'. Memang jahiliyah memiliki arti kebodohan, namun, bukan berarti kata bodoh ini merujuk pada tingkat intelektual suatu masyarakat. Istilah jahiliyah sendiri digunakan untuk menggambarkan keadaan masyarakat yang jauh dari nilai - nilai moral dan keagamaan sebelum datangnya cahaya Islam. Di Makkah, periode jahiliyah ditandai dengan penyembahan berhala, praktik kesukuan yang ekstrim, ketidakadilan sosial, penindasan terhadap perempuan, dan sebagainya. Hingga akhirnya Rasulullah Muhammad SAW diutus untuk membawa perubahan besar dalam masyarakat melalui ajaran tauhid dan akhlak mulia. Di sisi lain, tanah Jawa pada masa sebelum meluasnya ajaran Islam yang disebarkan oleh Walisongo, masih diwarnai oleh praktik-praktik animisme, sinkretisme, dan ketimpangan sosial, meskipun masyarakat Jawa telah mengenal ajaran Hindu dan Buddha.

Sebagaimana dikutip dari Luthviyah Romziana dalam jurnalnya, "Pandangan Al-Qur'an Tentang Makna Jahiliyah Perspektif Semantik", istilah jahiliyah di Al-Qur'an memiliki dimensi makna yang berlapis. Tidak hanya mengacu pada kebodohan atau ketiadaan ilmu, jahiliyah juga digunakan untuk menggambarkan kondisi keyakinan yang menyimpang serta perilaku yang tidak sesuai dengan norma dan nilai moral. (Jurnal Keilmuan Tafsir Hadis, Vol. 4, No. 1, 2014, hlm. 136).

Di dalamnya, juga dijabarkan lebih lanjut terkait makna dari Jahiliyah. Di mana menurut al - As Fahani, kata Al Jahl memiliki 3 makna. Pertama, yaitu ketidaktahuan atau ketiadaan pengetahuan tentang sesuatu yang seharusnya diketahui (kosongnya Jiwa dari Ilmu). Ini merupakan makna dasar dari kata "jahil" sebagai lawan dari "ilmu" (pengetahuan). Kedua, yaitu meyakini suatu al yang tidak layak untuk diyakini ada, atau kenyataan yang kosong. Maksudnya Al-Jahl ini juga bisa merujuk pada kondisi di mana seseorang meyakini sesuatu yang bertentangan dengan kebenaran. Dalam hal ini, orang tersebut memiliki pengetahuan yang salah. Ketiga, melakukan tindakan atau perilaku yang tidak sesuai dengan adab atau aturan yang semestinya. Baik melakukan hal kebaikan yang menurut keyakinannya itu sendiri benar atau sudah mengetahui bahwa perbuatan yang dilakukannya adalah salah. Contohnya orang yang melalaikan sholat karena disengaja atau tidak melaksanakan perintah allah karena disengaja pula.

Jadi Al-Jahl menurut Al-Asfahani tidak hanya mengacu pada kebodohan intelektual, tetapi juga mencakup ketidaksesuaian keyakinan dan tindakan yang berlawanan dengan nilai-nilai kebenaran dan akhlak. Hal ini relevan dalam menggambarkan masa Jahiliyah sebelum masyarakat mengenal Islam, di mana ketiadaan ilmu, keyakinan yang menyimpang, dan perilaku yang tidak bermoral menjadi karakteristik masyarakat saat itu.

Fenomena Jahiliyah di Makkah

Meskipun Makkah berkembang sebagai pusat perdagangan internasional berkat lokasinya yang strategis di antara Suriah dan Yaman, saat itu, ekonomi kota ini tidak lepas dari praktik riba dan monopoli elit yang menindas kaum miskin. Ketimpangan sosial juga terlihat dari tradisi seperti mengubur anak perempuan hidup-hidup karena dianggap aib. Dalam kajian Nurhamim, juga dijelaskan sistem politik pada masa itu didominasi oleh struktur suku yang bersaing demi kekuasaan, di mana kepemimpinan oligarki sering memonopoli kekayaan dan kekuasaan. Nurhamim juga mencatat bahwa sistem kepercayaan polytheisme memiliki pengaruh besar terhadap kehidupan masyarakat, termasuk dalam budaya dan hukum yang diterapkan. Praktik-praktik ini menunjukkan bahwa masa jahiliyah bukan hanya sebuah fase sejarah, tetapi juga simbol keterasingan dari nilai-nilai kemanusiaan dan keadilan. (Nurhamim dalam Tsaqofah; Jurnal Agama Dan Budaya 14, no. 2 (1961): 93--117).

Selaras dengan itu, masa jahiliyah yang dikenal sebagai era kegelapan moral, juga tercantum dari Al - Quran. Di mana hukum dipermainkan (QS. Al-Maidah: 50), perempuan dieksploitasi secara budaya (QS. Al-Ahzab: 33), masyarakat bersikap arogan (QS. Al-Fath: 26), dan keyakinan mereka lemah (QS. Ali Imran: 154). Dalam situasi penuh penyimpangan ini, Rasulullah Muhammad SAW diutus untuk membawa perubahan besar. Melalui dakwah yang bijaksana dan penuh hikmah, Nabi SAW menanamkan nilai tauhid, persamaan hak, dan keadilan sosial, hingga mampu mentransformasi masyarakat menuju kehidupan yang lebih manusiawi dan beradab.

Seperti yang sudah kita ketahui bahwa Rasulullah SAW menggunakan berbagai strategi dan pendekatan dakwah yang relevan dengan kondisi masyarakat Arab saat itu. Pertama, beliau memulai dakwah secara personal dan rahasia, yaitu menyampaikan ajaran Islam kepada orang-orang terdekatnya untuk menghindari konflik langsung dengan masyarakat Quraisy yang masih kuat mempertahankan tradisi jahiliyah. Kedua, dakwah Rasulullah menekankan pada tauhid, dengan tujuan utama menghapus penyembahan berhala dan menggantinya dengan pengesaan Allah sebagai landasan kehidupan. Ketiga, Rasulullah membangun diplomasi dan aliansi dengan berbagai suku melalui perjanjian, seperti Piagam Madinah, untuk menciptakan tatanan masyarakat yang damai dan adil. Keempat, beliau menjadikan keteladanan moral sebagai kekuatan utama dakwahnya, di mana akhlak mulia Rasulullah menjadi daya tarik besar bagi banyak orang untuk memeluk Islam, dan lain sebagainya.

Dengan demikian, Rasulullah tidak hanya menghapuskan kebiasaan buruk dan sistem yang tidak adil, tetapi juga membangun fondasi masyarakat yang berlandaskan akhlak mulia dan nilai-nilai kemanusiaan yang universal. Transformasi ini menjadi salah satu bukti kehebatan dakwah Islam dalam menjawab tantangan zaman dan membawa peradaban menuju puncak kemuliaan.

Fenomena Jahiliyah di Tanah Jawa

Sebelum Islam berkembang di Jawa melalui dakwah Walisongo, masyarakat Jawa hidup dengan sistem kepercayaan yang bercampur antara Hindu, Buddha, dan kepercayaan lokal, seperti animisme dan dinamisme. Sinkretisme ini melahirkan tradisi yang jauh dari nilai-nilai tauhid, dengan praktik seperti pemujaan roh nenek moyang, pengorbanan hewan untuk dewa-dewa, dan ritual magis yang menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari. Ketimpangan sosial juga sangat terasa, di mana kerajaan dan kasta atas mendominasi sumber daya, sementara rakyat kecil hidup dalam kesenjangan. Dalam situasi ini, Walisongo hadir sebagai pembawa Islam di Nusantara, yang memperkenalkan ajaran Islam dengan pendekatan budaya yang bijaksana.


Dalam dakwahnya, Walisongo menggunakan berbagai pendekatan dakwah yang diadaptasi dari budaya lokal dan sesuai dengan ajaran Islam, sebagaimana disebutkan dalam Al-Qur'an Surah An-Nahl (16:125): "Serulah (manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik, dan bantahlah mereka dengan cara yang baik..." Pendekatan ini mencakup metode al-hikmah, yaitu dakwah yang bijaksana, atraktif, dan populer untuk menarik perhatian masyarakat awam. Selain itu, salah satu metode yang terkenal adalah penggunaan seni dan budaya sebagai media dakwah. Contohnya, Sunan Kalijaga yang memanfaatkan wayang kulit dan gamelan sebagai sarana untuk menyampaikan pesan Islam.

Selain itu, Walisongo juga mendirikan pesantren sebagai pusat pendidikan dan pembinaan masyarakat. Islam diajarkan secara bertahap untuk mengurangi resistensi dari masyarakat yang telah lama menganut kepercayaan lama. Kehidupan sederhana dan sikap toleran mereka juga menjadi teladan yang menarik perhatian masyarakat Jawa untuk memeluk Islam. Dengan strategi ini, Walisongo berhasil mentransformasi kepercayaan dan budaya masyarakat Jawa menuju Islam, seraya menjaga harmoni dengan tradisi lokal. Transformasi ini menjadi salah satu tonggak penting penyebaran Islam di Jawa, dan bukti bahwa pendekatan dakwah yang bijaksana mampu menjawab tantangan sosial dan budaya pada masanya.

Jadi bagaimana menurut kalian? Apakah makna 'Jahiliyah' dalam konteks masyarakat Makkah sebelum datangnya Islam dapat disamakan dengan konteks masyarakat Jawa sebelum ajaran Islam disebar luaskan oleh Walisongo?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun