Mohon tunggu...
Healthy

Ancaman Tersembunyi Wanita Rhesus Negatif

25 November 2017   18:12 Diperbarui: 25 November 2017   18:44 7113
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Apakah para pembaca sekalian tahu seberapa pentingnya golongan darah dan rhesus kita? Tidak hanya fatal jika kita melakukan tranfusi darah dengan golongan darah yang tidak cocok, namun ternyata memiliki pasangan yang hanya berbeda rhesus saja bisa berdampak pada nyawa janin.

Tahukah kalian, bahwa saat ini kalian para pembaca wanita memiliki resiko penyakit kehamilan yang dapat berdampak pada kematian janin? Tenang saja, resiko ini hanya terdapat pada wanita bergolongan darah rhesus negatif yang mengandung janin rhesus positif. Penyakit ini disebut eritroblastosis fetalis. Eritroblastosis fetalis adalah kelainan darah yang berpotensi mengancam nyawa janin atau bayi yang baru lahir. Dengan kata lain, eritroblastosis adalah anemia berat pada janin atau bayi yang disebabkan oleh proses pembentukan perbedaan rhesus pada ibu dan anak. Kelahiran anak pertama belum terkena dampak serius dari eritroblastosis fetalis, tetapi kelahiran anak selanjutnya mampu mengakibatkan resiko keguguran pada janin.

Pertama-tama, kita akan memahami terlebih dahulu mengenai rhesus. Jika para pembaca melakukan tes golongan darah, pasti akan diberikan hasil golongan darah dan rhesusnya.  Golongan darah dikelompokkan berdasarkan jenis aglutinogen yang ada di dalam darah kita. Aglutinogen adalah antigen atau benda asing yang ada di dalam tubuh kita dan ditolak dalam system antibodi. Tugas dari antibodi adalah untuk melawan antigen. Contohnya, virus flu merupakan antigen dalam tubuh kita. Untuk membasmi virus, tubuh kita membentuk system antibodi. Di dalam darah, antibodi disebut sebagai agglutinin dan antigen disebut aglutinogen.

Penggolongan darah sistem ABO ditemukan oleh ilmuwan Austria bernama Karl Landsteiner pada tahun 1930. Darah yang memiliki aglutinogen jenis A akan bergolongan darah A, darah yang memiliki aglutinogen B akan bergolongan darah B, yang memiliki kedua-duanya yaitu A dan B akan bergolongan darah AB, sedang yang tidak memiliki aglutinogen sama sekali akan bergolongan darah O (zero blood type).

kera rhesus (Macaca mulatta)
kera rhesus (Macaca mulatta)
Penggolongan darah system rhesus ditemukan oleh Karl Landsteiner dan Wiener pada tahun 1940 dengan riset menggunakan darah kera rhesus (Macaca mulatta), spesies kera dari India dan Cina.  Penggolongan rhesus didasari oleh ada atau tidaknya aglutinogen (antigen) RhD pada permukaan sel darah merah. Antigen RhD berfungsi dalam reaksi imunitas tubuh. Darah yang memiliki antigen RhD disebut Rh+ (Rh positif) sedangkan yang tidak memiliki Rh disebut Rh- (Rh negatif). Darah yang memiliki antigen RhD  (Rh positif) akan memiliki agglutinin (antibodi) anti-RhD sedangkan darah yang tidak memiliki antigen RhD (Rh negatif) tidak akan memiliki agglutinin (antibodi) anti-RhD. Jika darah berhesus negatif bertemu dengan darah rhesus positif, maka individu tersebut akan menghasilkan agglutinin (antibodi) anti-RhD  karena bertemu dengan antigen RhD.

Sesuai dengan yang kita ketahui bahwa tranfusi darah harus memperhatikan golongan darah  dan rhesus dari resepien dan donor. Karena, jika tidak cocok, aglutinogen dan agglutinin akan menggumpal dan dapat menyebabkan penyumbatan pembukuh darah atau pecahnya sel darah. Aglutinasi adalah penggumpalan darah dari reaksi pertemuan antigen dan aglutinogen.

hdn-5a194ebcc81c636fdf290972.jpg
hdn-5a194ebcc81c636fdf290972.jpg
Golongan darah kita ditentukan berdasarkan keturunan dari orang tua kita atau factor genetic. Lalu, misalnya jika ada kasus bahwa seorang ibu berhesus negatif (tidak memiliki antigen RhD) mengandung janin berhesus positif (diturunkan oleh ayah), maka sang ibu akan menganggap darah janin sebagai antigen (aglutinogen RhD) kemudian menganggapnya benda asing dan membentuk antibodi anti-RhD secara alamiah untuk menghancurkan antigen tersebut. 

Akibatnya, sel darah merah janin akan dipecah oleh antibodi anti-RhD yang dibentuk ibu dan akhirnya hancur (hemolisis). Kejadian ini diseebut eritroblastosis fetalis dan dapat berakibat pada kematian janin. Gejala eritroblastosis fetalis meliputi pembengkakan hati dan limpa, anemia, gagal jantung, hidrops fetalis yaitu masuknya cairan ke dalam ruang pada jaringan, dan edema yaitu radang di bawah permukaan kulit. Karena sel darah merah janin terus mengalami hemolysis, akhirnya janin memproduksi banyak sel darah merah dan eristoblast (bentuk awal eritrosit/sel darah merah) muncul di permukaan darah dan oleh karena itu disebut eritroblastosis fetalis. 

Karena hati harus bekerja keras mengeluarkan sisa-sisa pecahan sel darah merah tersebut, maka terjadilah pembengkakan liver. Pemecahan sel darah merah menghasilkan suatu pigmen kuning kemerahan bernama biliburin. Karena produksi biliburin yang berlebih, biliburin mengendap di neuron saraf dan mengakbatkan kerusakan area saraf dan otak. Konidisi ini dinamakan kernicterus (Bahasa Jerman, kern, nucleus). Kernicterus dapat berakibat pada kelainan mental dan kelainan motorik.

1491-1502-1-5a194ee763b2480aa0768d32.jpg
1491-1502-1-5a194ee763b2480aa0768d32.jpg
Dapat dirinci bahwa reaksi rhesus negatif dijumpai pada :
  • Masyarakat Eropa : 15%
  • Negro                       : 7-8%
  • Asia 100% rhesus positif

Dengan meningkatnya hubungan perkawinan antar bangsa, kasus perbedaan rhesus ibu dan anak akan semakin tinggi jumlahnya dan memberi peluang makin besar terjadi eritroblastosis fetalis.

Namun, pada kasus di mana ibu memiliki rhesus positif dan menikah dengan suami berhesus negatif sehingga anaknya memiliki rhesus negatif, hal ini tidak menimbulkan masalah.  Sel darah merah janin hanya akan bertemu dengan antigen RhD kemudian memproduksi agglutinin (antibodi) anti-RhD dan ibu serta janin tidak akan terkena dampak apapun. Namun, janin akan sudah memiliki antibodi anti-RhD sehingga tidak disarankan untuk menerima tranfusi darah dari darah rhesus positif lagi untuk menghindari kemungkinan aglutinasi dan hemolysis.

Kabar baiknya, karena kuantitas darah janin yang diperlukan untuk merangsang ibu hanya diperkenalkan pada masa mengandung, maka eritroblastosis fetalis tidak akan terjadi pada bayi pertama ibu. Barulah saat bayi kedua dan seterusnya terjadi resiko eritroblastosis fetalis. Bagaimanapun, meskipun terdapat 20% bayi yang mengalami konflik rhesus dengan ibunya, namun hanya sebanyak 5% bayi yang mengalami hemolysis.

Yang lebih baik lagi, sekarang ini telah ditemukan cara untuk mencegah eritroblastosis fetalis. Pencegahannya dilakukan dengan cara penyuntikkan anti-RhD (Rho) immunoglobulin atau RhoGam pada ibu. Rho immunoglobulin akan  menghancurkan sel darah merah janin yang beredar di tubuh ibu, sebelum tubuh ibu membentuk antibodi untuk menghancurkan sel darah merah janin. Hal ini akan membuat janin terselamatkan dari antibodi yang dibentuk ibu. Suntikan diberikan melalui pembuluh darah (IV:intravenous) atau otot (IM:intramuscular) dan satu dosisnya mampu berlangsung hingga 2-4 minggu. Efek samping dari pemberian Rho immunoglobulinseperti pusing, nyeri di daerah suntikan, serta penghancuran sel darah merah. Efek samping yang jarang dijumpai yaitu kerusakan ginjal, alergi, dan resiko kecil infeksi.

0562-7805-05-pri01-5a194f8f935135716144c112.jpg
0562-7805-05-pri01-5a194f8f935135716144c112.jpg
Pencegahan dengan Rho immunoglobulin diberikan dalam waktu 48 jam selama :
  • Abortus/aborsi
  • Hamil ektopik (kehamilan yang terjadi di luar uterus)
  • Persalinan
  • Setiap pendarahan saat hamil

RhoGam pertama kali dipakai pada tahun 1960an dan diputuskan oleh WHO menjadi salah satu penanganan paling efektif dan aman bagi eritroblastosis. Di Inggris, 1500 unit (300 mcg) berharga 58 pound, sedangkan perawatan di Amerika memerlukan kisaran 200 dollas AS. RhoGam terbuat dari plasma darah manusia.

Ada beberapa wanita yang tidak boleh menerima Rho immunoglobulin. Kriteria wanita yang tidak boleh menerima yaitu :

  • Wanita berhesus negatif yang janinnya juga memiliki rhesus negatif
  • Wanita berhesus negatif yang sebelumnya pernah di imunisasi terhadap antigen RhD (memiliki antibodi anti-D)
  • Wanita berhesus positif (wanita yang positif memiliki fenotipe D lemah akan dianggap D-positif dan tidak menerima Rho immunoglobulin.

Observasi dan pemeriksaan ulang titer RH antibodi pada ibu hamil dengan Rh negatif dilakukan pada umur kehamilan 20, 28, dan 34 minggu.

Sebagai tambahan, saya juga akan menjelaskan mengenai merek-merek Rho immunoglobulin yang beredar di pasaran. Rhophylac diproduksi oleh CSL Limited. RhoGAM dan MICRhoGam merupakan merek dari Kedrion Biopharma. Merk lain seperti BayRHo-D, Gamulin Rh, HypRho-D Mini-Dose, Mini-Gamulin Rh, Partobulin SDF (Baxter), Rhesonativ (Octapharma), and RhesuGam (NBI). KamRho-D I.M. merupakan merek dari Kamada Ltd.

Bagaimana dengan bayi yang sudah terkena eritroblastosis fetalis? Penaganannya adalah dengan mengganti darah bayi yang baru lahir dengan darah Rh-negatif. Darah Rh-positif bayi diambil perlahan kemudian kira-kira 400 ml darah Rh-negatif diinfus dengan jangka waktu 1,5 jam atau lebih. Penganganan ini disebut exchange transfusion.

Secara singkat, dapat disimpulkan bahwa wanita bergolongan darah rhesus negatif memiliki resiko eritroblastosis fetalis pada janinnya. Aglutinasi yang terjadi pada reaksi aglutinogen rhd dan agglutinin rhd pada darah janin menyebabkan hemolisis. Gejala yang terjadi saat eritroblastosis fetalis adalah anemia berat, pembesaran ginjal dan limpa, kernicterus, hyperbilirubinemia, barrier pembuluh otak menurun, hingga keguguran. 

Dari 20% bayi yang mengalami beda rhesus dengan ibunya, hanya 5% yang mengalami hemolisis atau pecahnya sel darah merah. Pada kelahiran anak pertama, umumnya janin atau bayi masih akan baik-baik saja. Baru saat kelahiran anak kedua dan seterusnya, resiko keguguran akibat eritroblastosis fetalis meningkat tinggi karena tubuh ibu sudah membentuk antibodi.

Cara untuk mengatasi eritroblastosis fetalis adalah dengan menyuntikkan Rho imunoglobulin pada ibu yang sedang mengandung. Rho imunoglobulin disuntikkan melalui otot atau melalui pembuluh darah dan 1 dosisnya mampu bertahan 2-4minggu. Pemberian rho immunoglobulin diberikan kepada ibu pada saat masa aborsi, hamil ektopik, persalinan, dan setiap pendarahan saat hamil.  Ada berbagai efek samping yang akan dijumpai pada pemberian rho imunoglobluin, contohnya pusing, nyeri di daerah suntikan, serta penghancuran sel darah merah. Efek samping yang mungkin terjadi namun sangat jarang terjadi yaitu kerusakan ginjal, alergi, dan resiko kecil infeksi.

Eritroblastosis fetalis umumnya dijumpai pada pasangan berbeda ras sehingga rhesusnya bebeda. Contohnya adalah pasangan wanita Eropa dengan pria Asia. Kondisi geografis cukup mempengaruhi golongan darah dan rhesus penduduknya.  Namun, penurunan golongan darah merupakan hal yang cukup rumit karena nenek moyang kita berasal dari berbagai tempat dan tidak bisa memastikan ras aslinya. 

Jika anda merupakan pasangan suami istri berbeda rhesus dengan suami berhesus positif dan istri berhesus negatif, ada baiknya berkonsultasi kepada dokter kandungan mengenai proses pencegahan eritroblastosis fetalis menggunakan rho imunoglobulin. Namun, jika wanita sudah pernah menerima imunisasi RhD positif sebelumnya, maka tidak perlu diberikan rho immunoglobulin.  Sejauh ini, di Indonesia telah berkembang berbagai rumah sakit yang menyediakan terapi untuk mencegah eritroblastosis fetalis.

Kiranya sekian penjelasan saya mengenai penyakit eritroblastosis fetalis beserta dengan cara menangani dan mengobatinya. Semoga bermanfaat bagi kalian semua. Terima kasih dan silakan tinggan komentar atau kritik saran di kolom komentar di bawah.

Sampai jumpa!


Daftar Pustaka :

Bowman JM (1988). "The Prevention of Rh Immunization". Transfus Med Rev. 2: 129--50.

Klein Hg and Anstee DJ. Haemolytic Disease of the Fetus and Newborn. In: Mollison's Blood Transfusion in Clinical Medicine. 11th Ed. Oxford: Blackwell, 2005: 496-545.

Prevention of Rh D Alloimmunization. ACOG Practice Bulletin Number 4. Washington, DC: American College of Obstetricians and Gynecologists, 1999.

Bowman JM (1985). "Controversies in Rh Prophylaxis. Who Needs Rh Immune Globulin and When Should it be Given?". Am J Obstet Gynecol. 151: 289--94.

Rudmann, Sally V. 2005. "Textbook of Blood Banking and Transfusion Medicine 2nd Edition." ELSEVIER Saunders. pp 439-441

Physiology:Prep Manual For Undergraduates 3e by Vijaya D Joshi 2005                   

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun