Hari Minggu yang dinanti tiba. Lee Joo Hwon mengendarai Pajero Sport hitam glossy-nya menuju Bogor. Ia sangat bersemangat. Tidak sulit mencari alamatnya, karena tempatnya sudah banyak dikenal orang. Tidak seperti yang dipikirkan Joo Hwon, sebuah asrama besar dengan gedung yang tinggi. Namun, sebuah pondok di tengah-tengah perkampungan warga. Nyaris menyatu dengan warga sekitar dan hanya dibatasi tembok dan pagar.
"Sepertinya aku akan beruntung hari ini," gumam Joo Hwon mengembangkan senyum senang tidak sabar.
Joo Hwon melaju perlahan sambil memandang sekeliling. Mencari gerbang utama pondok. Belum sampai saja, ia sudah melihat beberapa muda-mudi berpakaian khas muslim, memakai peci dan jilbab.
Dari sebuah gang kecil tiba-tiba muncul seorang santri berlari terburu-buru. Karena tidak melihat-lihat, ia nyaris tertabrak. Joo Hwon terkejut dan menginjak rem mendadak. Santri itu terkejut dan terjatuh. Lee Joo Hwon panik melepas seat belt dan bergegas turun memeriksa.
Seorang santri berjilbab putih dan memakai gamis putih. Ia terduduk di aspal, kemudian berjongkok merapikan barangnya yang jatuh berserakan. Lee Joo Hwon mendekat dan ikut berjongkok.
"Maaf. Apa kau baik-baik saja?" tanya Joo Hwon.
Santri itu mengangkat kepala. Keduanya bertemu pandang. Joo Hwon terpaku. Santri itu sedikit terkejut, lalu merunduk segera merapikan barang-barangnya. Joo Hwon tersentak dan ikut membantu. Joo Hwon kembali terkejut. Ternyata yang dibawa santri itu adalah VCD SUPER JUNIOR dan beberapa DVD Drama Korea. Joo Hwon kembali melihat wajah santri yang terus merunduk serba salah itu.
"Maaf. Aku ... tidak sengaja," kata Joo Hwon berharap santri itu melihatnya lagi.
Namun, tidak. Hingga semua barang-barangnya rapi, ia tetap merunduk dan malah pergi terburu-buru tanpa sepatah kata pun. Joo Hwon berdiri memandangi kepergian santri itu. Joo Hwon diam tertegun.
"Jinjja yeppeuda. Sangat cantik," gumam Joo Hwon. Joo Hwon masih berdiri di tempatnya memandangi santri itu pergi hingga hilang dari pandangan.
Setelah hilang, Joo Hwon menghela napas perlahan. Ia sangat terkesan dengan santri itu. Joo Hwon sedikit menyayangkan kenapa begitu cepat dan berlalu begitu saja. Bukan pertama kalinya Joo Hwon melihat gadis berjilbab. Di Seoul juga tidak jarang bahkan ketika ia tinggal di Indonesia pun semakin sering dan menjadi pemandangan biasa. Namun, tidak seindah ini. Wajahnya begitu mungil, putih, dan berseri. Entah karena efek cahaya matahari yang terpantul dari jilbab putihnya atau dia memang cantik. Rasanya aneh, beberapa detik lamanya jantung Lee Joo Hwon sempat berdebar lembut dan berirama. Lebih cepat dari biasanya.
Joo Hwon kembali ke mobilnya. Ia kembali melirik arah tempat santri itu pergi. "SUPER JUNIOR."
Joo Hwon kembali melaju pada tujuannya. Tidak berapa lama, akhirnya ketemu. Joo Hwon membuat janji dan bertemu dengan Ustadz Agus.
"Assalamu'alaikum," Ustadz Agus menghampiri Joo Hwon yang sudah menunggu di ruang sekertariat ponpes.
Joo Hwon berdiri menyalami Ustadz Agus. "Wa'alaikumussalam. Ustadz Agus?"
"Iya, betul. Lee Joo Hwon?"
"Ne . Namaku Lee Joo Hwon."
Ustadz Agus lebih muda dari yang diperkirakan Joo Hwon. Usianya baru 26 tahun. Bahkan ia lebih muda dari yang terlihat. Ustadz Agus tidak hanya lebih muda setahun dari Lee Joo Hwon, tapi juga lebih pendek. Namun, Ustadz Agus tidak kalah tampan dari Joo Hwon dengan janggut tipis dan wajah yang teduh.
Setelah bercakap-cakap, Ustadz Agus mengajak Joo Hwon ke masjid. Di sanalah mereka akan belajar. Di sana sudah ada dua orang mualaf lainnya. Satu orang dari China dan satu-satunya mualaf berbadan gemuk dan bermata sipit, bernama Umar Hao. Seorang lainnya asal Amerika, Usman Smith yang hampir sama tinggi dan sama besar dengan Joo Hwon. Mereka semua mengganti nama mereka setelah masuk Islam. Lee Joo Hwon tidak berniat mengganti namanya untuk menghormati orang tuanya, terutama Appa  yang tidak setuju dengan pergantian keyakinan putra sulungnya.
Joo Hwon memulai pelajaarannya di bab pertama ilmu fikih, thaharah. Ustadz Agus yang bertugas mengajari para mualaf asal luar negeri karena fasih berbahasa Inggris sebagai bahasa pengantar, ternyata seorang ustadz yang diidolakan banyak santri dan ustadzah. Di sela-sela mengajar, banyak santri perempuan yang kebetulan lewat. Mereka melirik Ustadz Agus yang sangat pintar dan sudah hafidz Al-Quran.
Ne: Ya
Appa : Ayah
Bersambung ...
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H