Mohon tunggu...
Dian DenisaAnjelina
Dian DenisaAnjelina Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Halo, perkenalkan nama saya Dian.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Etika dalam Pelayanan Kesehatan terhadap Pengguna KIS dan Non KIS oleh Penyedia Jasa Layanan Kesehatan

6 Maret 2023   11:25 Diperbarui: 6 Maret 2023   11:39 150
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

PERMASALAHAN

Undang-undang No 40 tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional dan UU No. 24 tahun 2011 tentang BPJS Kesehatan telah membahas terkait jaminan kesehatan masyarakat yang tidak dapat membayar jasa kesehatan. Berdasarkan peraturan-peraturan tersebut sudah selayaknya fasilitas pelayanan kesehatan tidak membeda-bedakan pelayanan antara pengguna jaminan kesehatan dengan pelayanan reguler.

Kenyataannya masih banyak fasilitas pelayanan kesehatan dan tenaga kesehatan yang masih memberikan adanya kesenjangan antara pengguna KIS dan pelayanan regular (Non KIS). Beberapa pengguna KIS masih merasakan adanya perbedaan ketika mereka membutuhkan segera penanganan tenaga kesehatan. Pengguna KIS masih merasakan jika tenaga kesehatan masih mengulur waktu untuk memberikan pelayanan segera. Dari permasalahan tersebut memungkinkan pasien pengguna KIS merasa tidak puas baik terhadap program KIS maupun terhadap pelayanan fasilitas kesehatan.

Ketidakpuasan pasien dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor utama yaitu responsiveness (cepat tanggap), reliability (keandalan), assurance (jaminan), empathy (empati), dan  tangible (bukti fisik). Sebagai tenaga kesehatan sudah sewajibnya untuk selalu bertindak profesional sesuai dengan kode etik profesi.

OPINI

Pelayanan publik merupakan kegiatan yang sangat penting untuk diperhatikan kualitas dan kuantitasnya, tidak terkecuali pada aspek pelayanan kesehatan. Perlu diketahui bahwa dalam bertindak dan mengambil keputusan, tenaga kesehatan perlu didasari dengan prinsip persamaan dan etika keutamaan, artinya setiap keinginan pasien harus diperlakukan sama dan adil. Untuk menghindari ketidakpuasan pasien, prinsip keadilan dibutuhkan dalam melaksanakan pelayanan kesehatan yang adil terhadap pengguna KIS maupun Non KIS dengan menjunjung prinsip-prinsip moral, legal dan kemanusiaan. Fasilitas pelayanan kesehatan diikuti dengan tenaga kesehatan yang profesional akan memberikan kesempatan yang sama, baik bagi pengguna KIS maupun pelayanan reguler.

Oleh karena itu, perlu diupayakan pelayanan kesehatan yang bermutu yang dapat diterima seluruh lapisan masyarakat secara adil dan merata. Selain itu, perlu perhatian pemerintah pada peningkatan dan pemberdayaan tenaga kesehatan agar dapat bekerja secara profesional sebagai unsur penunjang utama dalam pelayanan kesehatan. Utamanya dalam pembentukan sikap dan perilaku melalui jalur pendidikan formal maupun non formal. Sehingga tidak terjadi ketimpangan akibat pelayanan yang berbelit-belit dan menyusahkan masyarakat.

Pada pelaksanaannya pelayanan yang diberikan terhadap pengguna KIS, beberapa masih merasa dipersulit dibandingkan dengan yang menggunakan pelayanan regular. Seperti halnya proses untuk dilaksanakannya penanganan awal dll. Hal ini menjadi problematika antara peraturan dan sumpah tenaga kesehatan dalam menangani kondisi pasien yang mengharuskan segera untuk ditangani. Berdasarkan sumpah tenaga kesehatan tentunya harus mengutamakan kepentingan manusia, sehingga seharusnya tetap dapat mengesampingkan pasien KIS maupun Reguler dalam memberikan pelayanan kesehatan.

Upaya pemerintah menyiasati masalah ini dengan menerapkan prinsip gotong royong melalui program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN), sayangnya, belum berjalan maksimal. Meski sudah hampir dua tahun lamanya KIS mengelola program ini, lemahnya sosialisasi tentang sistem dan prosedur serta kualitas pelayanan yang rendah masih menjadi persoalan yang paling sering dikeluhkan konsumen.

Evaluasi tahunan terhadap kegiatan BPJS Kesehatan tidak membuat peserta kecewa dengan pelayanan yang diberikan oleh tenaga kesehatan di rumah sakit dan puskesmas. Penyedia atau provider kesehatan mengaku sulit menghadapi nilai CBG (Case Base Group) yang ditetapkan Kementerian Kesehatan (Kemenkes). Hal ini menyebabkan pelayanan kesehatan bagi peserta BPJS dinilai kurang memuaskan.

Hal ini diumumkan pada Kamis (18/12/2014) oleh Sekretaris Jenderal Perhimpunan Rumah Sakit Seluruh Indonesia (PERSI), dr. Wasista Budiwaluyo, berbagi ulasan akhir tahun 2015 tentang JKN dan prospeknya ke depan di Jakarta. Menurut dia, penetapan harga oleh Kementerian Kesehatan mendorong rumah sakit mencari cara agar tetap mendapatkan keuntungan dari peserta BPJS yang mendapat pelayanan kesehatan. Contohnya adalah penghapusan obat-obatan yang biasanya mahal untuk memilih kasus yang dianggap layak.

"Sebagian besar rumah sakit swasta memilih kasus yang menguntungkan. Jika pasien terdiagnosis dengan perawatan lanjutan yang mahal, jika menderita kerugian, pasien tersebut dirujuk ke rumah sakit yang lebih tinggi," ujar Wasista. Akibatnya, rujukan dari rumah sakit lain meningkat di beberapa rumah sakit pemerintah atau daerah cenderung menerima peningkatan jumlah pasien BPJS. Hal ini mengakibatkan lambatnya pemrosesan di banyak rumah sakit yang dirujuk secara rutin, menyebabkan beberapa pasien tidak tertolong. Wasista berharap pemerintah dalam hal ini Kementerian Kesehatan dan BPJS mengevaluasi kembali sistem rujukan berjenjang agar pelayanan kesehatan bagi peserta BPJS dapat ditingkatkan. 

 KESIMPULAN 

Dari permasalahan dan berbagai opini yang telah disebutkan di atas, dapat disimpulkan bahwa masih terdapat berbagai kendala yang muncul dalam pelaksanaan program KIS, yaitu lebih tepatnya dalam hal kesenjangan. Banyak dari para pengguna KIS yang merasa dikesampingkan dalam mendapatkan pelayanan kesehatan dibandingkan dengan pelayanan reguler (Non KIS). Untuk mengatasi hal tersebut, diperlukan sebuah sikap profesional agar semua pihak yang terlibat merasakan keadilan dan kepuasan terhadap program KIS. Dalam mengambil keputusan, setiap tenaga kesehatan harus mendasarinya dengan prinsip persamaan dan etika keutamaan, artinya setiap keinginan pasien harus diperlakukan sama dan adil, menjunjung prinsip-prinsip moral, legal dan kemanusiaan. Bagaimanapun, keselamatan pasien adalah hal yang utama untuk ditindaklanjuti dalam memberikan pelayanan kesehatan tanpa memandang pasien tersebut pengguna KIS atau bukan. Selain itu, untuk menghasilkan tenaga kesehatan yang profesional dalam bekerja, pemberdayaan dan peningkatan kemampuan sangatlah diperlukan melalui jalur pendidikan formal maupun non formal. Walaupun sudah terdapat solusi yang diberikan oleh pemerintah berupa penerapan program JKN yang sampai saat ini sedang dijalankan dan terus dilakukan perbaikan dan evaluasi, namun sebagai tenaga kesehatan bersikap profesional dalam bekerja itu sangatlah penting dan perlu. Maka dari itu, kode etik profesi harus tetap diterapkan dan ditegakkan dalam memberikan pelayanan kesehatan.

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun