Kesenjangan ini menunjukkan bahwa pekerja sektor informal harus menghadapi tantangan finansial yang berat. Pendapatan yang jauh dari cukup untuk memenuhi standar hidup layak membuat mereka terjebak dalam lingkar kemiskinan.
Lingkaran Setan Pendidikan Rendah dan Ketidakpastian Kerja
Mayoritas pekerja di sektor informal Indonesia berasal dari latar belakang pendidikan yang rendah. Rendahnya tingkat pendidikan ini semakin memperburuk situasi mereka, membuat mereka sulit bersaing di sektor formal yang menawarkan stabilitas lebih baik.Â
Berdasarkan data Sakernas Februari 2024, sekitar 31,5% pekerja informal hanya mengenyam pendidikan hingga tingkat SD, sementara 20,8% berhenti di bangku SMP. Sebaliknya, sektor formal dipenuhi oleh mereka yang berpendidikan lebih tinggi—24,6% lulusan SMA dan 20,9% sarjana.Â
Angka ini mencerminkan ironi mendalam bahwa semakin rendah tingkat pendidikan seseorang, semakin sempit peluang mereka untuk bekerja di sektor formal yang lebih stabil dan terlindungi.
Gig Worker: Solusi atau Ilusi?
Di tengah kesenjangan ini, muncul fenomena gig worker atau pekerja lepas sebagai alternatif untuk meningkatkan pendapatan. Survei Research Institude Of Socio-Economic Development (RISED) mengungkapkan 62% pekerja melihat gig work sebagai solusi untuk meningkatkan kesejahteraan mereka melalui tambahan pendapatan. Salah satu contoh yang paling menonjol dari gig work di Indonesia adalah ojek online (ojol).
Menurut Survei Institute for Demographic and Poverty Studies (IDEAS) terhadap 225 pengemudi ojek online di Jabodetabek, terdapat 68,9% pengemudi bekerja antara 9 – 16 jam perhari dan 42,2% pengemudi bekerja tanpa libur per minggu.Â
Sedangkan menurut survei Badan Kebijakan Transportasi 2022 menemukan bahwa pengemudi ojek online memiliki pendapatan per hari pengemudi hampir sama dengan biaya operasionalnya yaitu Rp50.000 – Rp100.000.Â
Hal ini menunjukkan meskipun para pengemudi bekerja dalam waktu yang panjang setiap hari, upah yang mereka terima tidak sebanding dengan beban kerja dan biaya yang dikeluarkan, menciptakan situasi di mana pendapatan mereka sering kali hanya cukup untuk menutupi kebutuhan dasar dan operasional, tanpa ada sisa untuk kesejahteraan atau tabungan.