"Jika kamu tidak sanggup menahan lelahnya belajar maka kamu harus sanggup menahan perihnya kebodohan-- Imam Syafi'i"
Mengarungi ilmu pengetahuan bagaikan burung capinis terbang mengangkasa dilangit biru dan merasakan luasnya ruang tanpa batas. Kala itu aku yang merebahkan badanku diantara rumput ilalang, jika bisa ku bagikan perasaanku kala itu.Â
Diantara jejaku masih sebatas  menelusuri setiap sudut desa,mengetahui lengkung bekas rel kereta api Belanda, hamparan bunga sawi, dan wanginya subuh menjelang pagi. Kenangan yang paling tulus dan selalu senang untuk diceritakan.
Aku iri kepada burung capinis yang lihai terbang tinggi, mungil sayapnya begitu gesit melintang, seperti bintang fajar menghiasi langit pagiku. Cakrawala memang tidak ada titik putusnya. Sedangkan pengetahuanku seperti benang layang ada masa ujung bertemu ujung.Â
Jika tanganku tidak kuat memegangnya ini akan hilang. Terombang ambing mungkin saja tingginya melebihi terbangnya burung capinis. Atau, tersangkut dipohon jati. Menyisakan apa yang dipegang akan menjadi kehampaan penyesalan.
Aku tidak ingin menghakimi proses pengetahuanku dalam mendefinisikan semesta lagi. Terlepas dari batas mampuku, khidmat akan begitu terasa menyentuh berawal dari mula "tidak tau". Walau kadang sering kali aku terlena "tidak tau" menjadikan lelah dan berkeluh kesah.Â
Tapi ada satu ketakutan hingga saat ini, bagaimana kelak tua semakin "bodoh" ini akan lebih menyakitkan, bukan?
 Aku takut "bodoh dan merugi". Takut yang tampak gemerlap tapi muslihat. Takut dari segala akhir hingga Allah cuek kepadaku. Semua tampak begitu tidak ada bedanya dari bentuk aslinya. Telunjuk 'prestise' seakan mengintimidasi.Â
Melihat wajah orang yang menceritakan dirinya, kenapa begitu hidup, kenapa setiap kalimat menjadi junjungan?Â
Sedangkan aku takut tentang intimidasi dosa dan menjadi terhina. Aku masih perlu banyak belajar tentang memahami "keridhoan, keberkahan, kejujuran".
Tapi siapa orang yang peduli melihat ketakutanku ini? Mengharapkan sebuah pengertian, dan memaklumi langkah yang masih amatiran. Waktu terus saja berputar. Ruh ini mau di bawa kemana? yang sudah menyatu menjadi "aku". "Aku" membawa janji dihadapan Tuhanku.Â