Akhirnya memang tak ada pilihan ibu ingin pulang merawat rumah itu,merawat kenangan,dan kehormatan leluhurnya,sejauh apapun kura-kura lautan,dia akan kembali kepantai dilahirkan itu,yang ibu ucapkan pada ku,dan aku senyap....
“ibu ingin menutup mata selamanya disana,desis ibu.aku tertunduk,Tak pa-apa,ada laila cucu bang safar yang sudah smp itu,ada juga fajar yang sudah sma ibu akan baik-baik saja disana,jangan tinggalkan pekerjaanmu dijakarta,anak istrimu butuh masa depan,istrimu tidak mungkin juga meninggalkan kerjanya.
Ibu seolah paham dengan kegalauan kami,aku mengangguk,dan disinilah aku,istriku,ibu,laila dan fajar,diteras rumah limas leluhur ibu,didepan daunpintu yang terbuat dari kayu jati,kini tertegun,dengan tiba-tiba kami tercekam oleh rasa sepi yang dalam bercampur dengan rasa sedih dan haru,lalu ibu mendorong daun pintu dari kayu jati itu,terdengar derit enselnya yang berkarat,menyayat telinga pilu,dan kulihat mata ibu berkaca-kaca saat ruang tengah rumah ini  menyambutnya pulang,diruang tengah ini,aku seperti melihat ibu dari tahun tahun yang dikisahkannya,lalu jarum jam tua dengan bandul yang terus bergerak kekiri kekanan secara teratur itu,seperti kenangan using yang terus bercerita.
Ibu menatapku,kuncup-kuncup air mata pecah diretina matanya,,merembes,dan jatuh perlahan dilandai pipinya yang keriput,aku tahu ibu bahagia.walaupun seelah ini orang-orang akan menguraikan cerita buruk tentangnya yang mengambil alih rumah leluhur,tentang kakak laki-lakinya yang tak becus menghidupkan garis keterunan leluhur mereka,tentang semua hal yang tak lumrah,,tapi ibu tetap tersenyum padaku..
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H