Mohon tunggu...
Dian Maulana
Dian Maulana Mohon Tunggu... karyawan swasta -

biasa saja. menjadi admin di account @dianakimaulana

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

belajar dari teman

6 April 2013   01:00 Diperbarui: 24 Juni 2015   15:39 201
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Nu'man A. Aldia namanya. Aku sering memanggilnya ’Aal’ tapi kebanyakan teman yang lain lebih senang memanggilnya nunu atau maman dan itu bukanlah sebuah masalah baginya. Mungkin dia adalah seorang pengagum Shakespeare jadi baginya apalah arti sebuah nama, sehingga dia pun selalu seenaknya memanggil nama orang. Sebutan ku dengan nama ’aki’ pun aku dapat dari dia.

Pandangannya tentang memaknai nama tidaklah sama denganku, bagiku nama adalah doa, aku sering bertanya kepada teman, bagaimana dan mengapa dia dikasih nama yang dia sandang, kebanyakan orang mau menjawab tapi tidak dengan si Aal, dia selalu mengelak jika ditanya mengenai hal itu.

Aal yang ku kenal dulu tidak sama dengan Aal sekarang dia tampak terlihat lebih kurus dan matanya selalu kuyu dan terlihat kuning. Matanya yang terlihat kuning memang membuat aku khawatir, takutnya Aal teridentifikasi liver karena kesenangan nya menenggak alkohol.

Begitupun malam ini saat aku sengaja datang ke kamar kontrakannya yang tidak terlalu jauh dari kampus tempat dia kuliah, tapi anehnya kamar-kamar dikontrakanya ini masih banyak yang kosong, yah mungkin karena rumah kontrakan terkesan kumuh dan juga tidak terurus oleh yang punya kosan dan para penghuninya. Kamarnya memang tidak terlalu luas mungkin hanya dua kali tiga meter, dinding-dindingnya di tempeli satu buah poster bergambar pemandangan gunung semeru, Aal memang suka pergi ke gunung. Beberapa kali aku pergi ke gunung bersamanya, di gunung dia suka berteriak-teriak lalu tertawa simpul saat dia mendengar gema suaranya sendiri. Saat dia melakukan hal itu aku selalu teringat cerita gunung milik aesop.

Sambil mengembalikan buku Catatan Seorang Demonstran karya Soe Hok Gie miliknya, yang cover depan bergambar Nicholas Saputranya ia robek, kami mulai obrolan obrolan ringan kami, ngadu bako kalau istilah orang sunda bilang. Malam yang sedikit gerimis dan berudara dingin dia hanya memakai kaos saja, kaos putih bertuliskan ”CORPORATE MAGAZINE STILL SUCK” yang dia tulis sendiri dengan menggunakan spidol kepunyaanku yang dia pinjam saat aku pinjam bukunya.

”keren teu? mirip Cobain can ? Hahaha” Dia bertanya sambil tertawa.

”miriplah. hehe” jawabku seraya tertawa kecil.
Aal bukanlah seorang yang fanatik pada satu jenis musik saja sebenarnya ia suka banyak jenis musik, tapi untuk aliran grunge dia sampai mau menirunya, karena mungkin lagu luar negeri yang pertama didengarnya dulu sama denganku yakni Nirvana. Cara hidup dan pemikiran dari para musisi grunge sangat ia sukai seperti Cobain dan Eddie Vedder.

”eh Al urang make sweater persib maneh nya tiris euy urang mah teu kuat?”
Aku meminta ijin untuk memakai sweater kepunyaan Aal, dan dia memperbolehkannya. Aal memang seorang bebotoh, dia suka sekali persib dan tentunya sepak bola. Baginya sepak bola adalah sebuah budaya yang harus dilestarikan, sepak bola dan masyarakat mempunyai keterikatan, dia pernah bilang padaku tentang sebab mengapa di Inggris tidak terjadi revolusi sistem pemerintahan, padahal pada abad 18 negara-negara di belahan Eropa lainnya terjadi. Aal bilang salah satu sebabnya adalah kultur sepakbola di Inggris lah penyelamatnya, revolusi sistem pemerintahan terjadi karena gesekan antara kaum bangsawan dan pekerja yang begitu keras. Jika di negara lain tidak ada sebuah acara yang mempersatukan antara kedua kaum tersebut, di Inggris ada, yah di stadion tempatnya. Stadion di Inggris selalu mengadakan pertandingan antara kedua kaum tersebut, bila di dalam kehidupan sosial dan ekonomi kaum pekerja selalu kalah, dalam bidang sepak bola inilah satu-satunya mereka bisa menang dan menghina para kaum bangsawan. Nah kalau di Indonesia sekarang si Al melihatnya bahwa di setiap stadion mana pun, polisi dan aparat yang selalu semena-mena dalam melaksanakan tugasnya di kehidupan bermasyarakat, bisa dia hina dengan enak, tidak takut dan bahkan dia bisa lempari.

Bayangkan bila tidak ada sepak bola dan stadion, apakah kita masih bisa melakukan itu, kita akan tetap tertindas dan nantinya yang jadi kekhawatiran si Al adalah terjadinya reformasi jilid dua karena keotoriteran aparat. Kejengahan masyarakat terhadap kebobrokan aparat bisa meledak jika tak ada hiburan seperti sepak bola begitu ujarnya ketika kita berdua menyaksikan pertandingan persib bersama, dan lagi bagi al stadion adalah tempat yang out law.

Obrolan kami memang selalu tidak penting dan terkesan hanya bercanda saja, dan diantara obrolan kami malam ini, dari tape tempat pemutar kaset-kaset kesukaannya, dia mengeluarkan dua linting ganja. Aneh memang, tape tempat pemutar kaset yang seharusnya memutar kaset dijadikan tempat persembunyian ganja, dan saat aku tanyakan hal itu dengan enteng dia menjawab

”da duitna ge hasil tina ngajual sapuluh kaset koleksi urang, nya wajar weh ditunda didiya atuh hahaha..”

Seraya mendengarkan lagu-lagu hasil pilihanya di computer, kita berdua mulai menikmati enaknya kebudayaan para kaum Haile Selassie ini. Obrolan dalam keadaan giting memang tidak teratur, tetapi seenggaknya jujur. Dalam keadaan seperti inilah aku suka sekali mewawancarainya apalagi mengenai kisah-kisah asmaranya hahaha..

”bejana maneh putus jeung kabogoh maneh, kunaon euy?”
aku mulai bertanya, dan biasanya bila dalam keadaan seperti ini biarpun pertanyaanku pendek, akan dia jawab panjang lebar..

”hahah.. mulai maneh.. enya kitu weh si eta geus bosenen meren ka urang, ningali kalakuan urang nu teu berubah ti baheula, hese diatur jeung teu nyadar umur. Terus nu ka urang nyieun teu ngenah mah pas si eta ngomong, bahwa si eta teh lain nu terbaik jang urang, enya pan padahal urang teh apalnya si eta geus bosen ka urang naha make alesan eta,. Terus si eta ngaluarkeun ungkapan klise nu paling urang benci, kieu cenah yah udah atuh yah man.. mungkin ini jalan yang harus kita lalui, dan sudah jadi garis dari Tuhan tapi kamu percaya padaku kalau kita jodoh gak akan kemana. Hahaha jodoh moal kamana cenah.. hahaha bodor teu ki?”
Begitulah kira kira jawabannya, entah benar atau tidak tapi seenggaknya cerita nya malam ini membuat kita berdua terbahak-bahak.

Aal memang tidak suka pernyataan-pernyataan yang mengatasnamakan nasib dari Tuhan, setiap orang mampu merubah dan membuat nasibnya sendiri-sendiri hanya orang goblog dan munafik bila mengatasnamakan Tuhan untuk kepentingan pribadi, begitu katanya.

Biarpun dia kuliah di jurusan sosial yang kebanyakan membahas kebudayaan-kebudayaan dan dipaksa agar mengakui teori dari buku barat bahwa agama yang ada sekarang adalah sebuah manifesto kebudayaan masa lampau. Memang banyak orang mengatakan dia atheis, suatu kali dia pernah berdebat dengan seorang aktivis mesjid di kampusnya. Aktivis mesjid itu dibuat Aal tak bisa berkata kata lagi lalu pergi sambil bilang ”ah sia mah dasar jelema atheis” aktivis yang tadinya berkata lemah lembut jadi berbalik kasar tutur bahasanya karena lelah setiap pernyataannya mampu si Aal balikan.

Padahal waktu itu sang aktivis bukan di hadiahi bogem mentah. Akan tetapi oleh Aal si aktivis mesjid yang berkata dan mengeluarkan pernyataan ajakan selalu dibalikan pertanyaan-pertanyaan yang tak bisa di jawab oleh aktivis tadi. Hadits dan ayat Qur’an yang di lafadzkan dengan baik oleh si aktivis di balas dengan hal serupa oleh Aal yang memang tidak bodoh dalam menghafal Qur’an dan Hadits, secara dia sebenarnya dari kecil mendapat didikan yang baik mengenai agama. Sampai sekarang pun dia masih rajin sholat, lima waktu masih ia lakukan, minum dan mabuk mabukkan selalu dilakukan apabila ia sudah melaksanakan sholat Isya. Aku dan temannya yang lain selalu bilang dia aneh karena kelakuannya yang itu.

Jam di layar monitor komputer si Aal menunjukan 10:48 PM. Manusia memang tidak pernah mengenal kata puas, dua linting ganja yang sebenarnya telah membuat aku giting berat bagi si Aal masih belum apa-apa.

”can ngenah jang sare meureun sakieu mah nya ki? Kumaha mun urang meuli cai heula, bae nya inti sari weh, ku urang meulina ka warjam nu di hareup. Maneh boga duit teu?”
Aal bertanya padaku, bagaimana bila kegitingan kita berdua itu. Diakhiri dengan sebotol intisari; alkohol lokal. Aku menyetujuinya dan memberikan satu lembar uang lima puluh ribu dan berpesan padanya agar tidak lupa beli satu bungkus besar kacang dan sebotol bir di toko bertanda bulatan merah dan huruf K.

Setengah jam berlalu tapi kok si Aal belum sampai juga padahal kan dia pake motor seharusnya dalam jangka waktu lima belas menit saja dia sudah kembali. Aku putuskan untuk menelepon ponsel nya tetapi anehnya yang mengangkat bukan dia tetapi suara seorang bapak bapak bersuara amat berat dan seperti menggigil.

”halo?” tanyaku.
”yah halo jang, nu gaduh hape ieu rerencangan ujang sanes?” jawab bapak itu.
”enya pak?”
”ieu baturan ujang katabrak ku bes, ayeuna nuju di jalan bade ka rumah sakitkeun.”

Giting gara gara ganja hilang sudah pada saat itu, langsung aku pijit tombol merah untuk menutup telepon, dan tanpa ba bi bu langsung aku ambil helm dan kunci motorku untuk menuju ke sebuah rumah sakit di daerah pasteur, di perjalanan di aku liat motor matic si Al telah ringsek di gilas sebuah bus pariwisata dari arah lembang.

Sesampainya di rumah sakit langsung aku hubungi lagi no si Aal, dan alhamdulilah masih diangkat oleh suara bapak yang tadi, dan setelah aku tahu bahwa si Aal sedang berada di ruang UGD rumah sakit tersebut, aku langsung menuju kesana dan ketemu dengan bapak yang tadi hanya saya dengar suaranya, ternyata bapa itu adalah kondektur bus pariwisata sialan itu, bapa kondektur lalu menjelaskan kronologis kejadian itu padaku sambil memberikan ponsel milik Aal. Penjelasan dari bapak tadi aku tak simak dengan baik karena sibuk mencari no telepon rumah Aal. Agar aku bisa segera mengabari kedua orang tuanya. Setelah mengabari kedua orang tuanya aku duduk terdiam merenung di lorong ruang UGD. Selintas muncul ingatan mengenai betapa dia suka lagu The Smith yang berjudul There Is A Light That Never Goes Out, yang liriknya ada kata-kata yang berarti betapa indah bila mati di tabrak oleh sebuah bis dua tingkat.

Tapi naas bagimu kawan jika kau mati malam ini, kau tak mati dengan doubledecker bus kau hanya mati dengan bis biasa saja, dan itupun hanya di Indonesia tidak di Inggris, kau pun sendirian tidak berdua dengan seorang pasangan, yah sungguh tidak sesuai dengan lagu the smith itu. Tapi andaikan kau mati setidaknya keinginan mu untuk mati dalam usia muda seperti Kurt Cobain yang kau puja, Soe Hok Gie yang kau baca bukunya dan Ian Curtis yang musiknya selalu bisa bikin kamu berdansa, ternyata terwujud.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun