1.4.A.8 KONEKSI ANTAR MATERI_BUDAYA POSITIF
Kesimpulan dan Keterkaitan.
Sebagai agen perubahan untuk menciptakan budaya positif di sekolah saya berkolaborasi dengan rekan-rekan guru beserta pemangku kepentingan sekolah lainnya menerapkan konsep-konsep inti seperti disiplin positif, motivasi perilaku manusia (hukuman dan penghargaan, posisi kontrol guru, restitusi, keyakinan kelas, dan segitiga restitusi).
Sebagai Pendidik, kita sebagai guru perlu ingat kembali tujuan pendidikan nasonal yang telah dinyatakan dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional Pasal 3, bahwa pendidikan diselenggarakan agar setiap individu dapat menjadi manusia yang "beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis dan bertanggung jawab". Sekarang berdasarkan pedoman tersebut, Profil Pelajar Pancasila diharapkan menjadi pegangan untuk para pendidik di ruang belajar yang lebih kecil. Profil Pelajar Pancasila ini diharapkan dimiliki oleh seluruh murid kita di kelas.
Kaitan antara Budaya Positif dengan Filosofi Ki Hajar Dewantara adalah pendidik diharuskan menerapkan konsep pemikiran dari Ki Hajar Dewantara dengan memberikan keteladanan hidup dan kehidupan, menuntun anak dengan rasa aman, menyenangkan, dan memberikan semangat untuk tumbuh dan berkembang sesuai dengan kodrat alam dan kodrat zaman yang dimiliki anak serta memberikan dorongan dan dukungan kepada anak bahwa dengan kepercayaan dirinya dapat menjemput kebahagiaan hidup sesuai dengan trilogi pedoman KHD "Ing ngarso sung tulodo (di depan menjadi teladan), Ing madyo mangun karso (di tengah membangun semangat), dan Tut wuri handayani (di belakang memberikan dorongan/dukungan). Menuntun mereka menjadi pribadi yang terampil, berakhlak mulia dan bijaksana sehingga mereka akan mencapai kebahagiaan dan keselamatan.
Keterkaitan antara budaya positif dengan peran dan nilai guru penggerak yaitu budaya positif harus bisa diterapkan di sekolah melalui peran dan nilai yang dimiliki guru penggerak. Guru Penggerak memiliki nilai-nilai berikut, yaitu belajar berpihak pada murid, inovatif, kolaboratif, mandiri, dan reflektif. Guru Penggerak juga harus mampu berperan menjadi Pemimpin Pembelajaran, Menggerakkan Komunitas Praktisi, Menjadi Coach bagi guru lain, dan mendorong kolaborasi antar guru, dalam penerapannya dibutuhkan totalitas guru dalam mengkolaborasikan nilai-nilai dan peran guru penggerak dalam proses pembelajaran. Sehingga visi harus mewujudkan Profil Pelajar Pancasila.
Jika pendidik sudah menerapkan nilai dan peran guru penggerak dalam proses pembelajaran dan ingin mewujudkan visi guru penggerak maka memerlukan Inkuiri Apresiatif yang terjabarkan dalam BAGJA. Filosofi Pemikiran Ki Hajar Dewantara yang didukung dengan nilai dan peran guru serta diterapkan dengan visi yang terjabarkan dalam strategi BAGJA akan melahirkan budaya positif di sekolah.
Budaya positif dimulai dari disiplin positif dan ini harus muncul dari diri. Disiplin pertama kali dibangun dari dalam diri untuk memperoleh kemandirian belajar. Belajar tanpa disiplin akan membuat pendidikan menjadi tidak bermakna sehingga tujuan akhir untuk mendapatkan kemantapan capaian kognitif, emosional, dan psikomotor sudah pasti tidak tercapai. Untuk mewujudkan Tujuan Pendidikan tidak bisa terlepas dari pembiasaan budaya positif di sekolah, yaitu dengan menerapkan konsep-konsep disiplin positif, motivasi perilaku manusa (hukuman dan penghargaan), posisi kontrol, restitusi, keyakinan kelas/sekolah, dan segitiga restitusi.
Refleksi.
Sejauhmana konsep-konsep ini telah dipelajari?
Displin positif bertujuan untuk membentuk tanggung jawabnya. Melalui displin positif pengajar menuntun anak didik mempunyai perilaku dan tindakan berdasarkan Profil Pelajar Pancasila, yaitu beriman, bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, dan berakhlak mulia, berkebhinekaan global, bergotong royong, mandiri, bernalar kritis, dan kreatif. Dalam membentuk disiplin positif di lingkungan kelas diperlukan danya keyakinan kelas. Keyakinan kelas terbentuk dari hasil kesepakatan bersama anggota kelas yang berdasarkan nilai-nilai kebajikan universal dan menekankan motivasi intrinsik. Disiplin postif tidak menggunakan sanksi atau paksaan namun lebih membentuk pencerahan diri akan tanggung jawab diri sebagai warga sosial.
Diane Gossen dalam bukunya "Restitution-Restructuring School Discipline (1998) mengemukakan bahwa guru perlu meninjau ulang penerapan disiplin di dalam ruang kelas mereka selama ini. Apakah efektif? Apakah berpusat pada memerdekakan? Apakah memandirikan murid?. Menurut teori kontrol Dr. William Glasser, terdapat 5 posisi kontrol yang dapat diterapkan guru dan orangtua, yaitu Penghukum, Pembuat Merasa Bersalah, Teman, Pemantau, dan Manajer. Â
Pada posisi penghukum, guru senantiasa mengatakan bahwa sekolah memerlukan sistem atau alat yang dapat menekan murid-murid lebih dalam lagi, bisa menggunakan hukuman fisik maupun hukuman verbal, guru seperti ini senantiasa percaya hanya ada satu cara agar pembelajaran bisa berhasil, yaitu cara dia, hukuman yang diberikan terkadang tidak sesuai dengan kesalahan yang dilakukan murid. Pada posisi pembuat merasa bersalah biasanya guru bersuara lebih lembut, menggunakan keheningan yang membuat orang lain merasa bersalah atau rendah diri, murid akan memiliki penilaian diri yang buruk tentang diri mereka, tidak berharga, dan merasa telah mengecewakan orang-orang yang disayanginya. Pada posisi teman guru tidak akan menyakiti murid, namun tetap berupaya mengontrol murid melalui persuasi. Posisi teman pada guru bisa negatif ataupun positif, positif disini berupa hubungan baik yang terjalin antara guru dan murid, namun hal negatifnya dari posisi teman ini adalah bila suatu saat guru tersebut tidak membantu murid akan merasa kecewa dan tidak mau lagi berusaha, dan mungkin hanya bertindak untuk guru tersebut saja. Pada posisi pemantau, guru memantau berdasarkan pada peraturan-peraturan dan konsekuensi, sangat mengandalkan perhitungan, catatan, dan data yang dapat dijadikan bukti atas perilaku murid.
Posisi kontrol yang direkomendasikan dalam proses budaya disiplin yaitu posisi kontrol sebagai Manajer. Kontrol Manajer memberikan kebebasan kepada siswa untuk menemukan diri sendiri, bertanggung jawab atas masalah yang mereka hadapi dan menemukan solusi terbaik.Sehingga nilai-nilai guru seperti kemandirian, inovasi, kolaborasi, kreatifitas, dan berpihak pada siswa sangat sesuai dalam mendukung dengan posisi kontrol manajer. Guru dengan kualitas manajerial berarti dapat menerapkan nilai dan peran guru yang baik di kelas, sekolah, atau masyarakat.
Untuk memantapkan diri dalam posisi kontrol manajer guru juga diharapkan mampu memahami berbagai kebutuhan dasar manusia, yaitu bertahan hidup (survival), merasa diterima (love and belonging), kebebasan (freedom), kesenangan (fun), dan penguasaan (power). Dengan memahami kebutuhan manusia, maka guru akan mampu memberikan langkah-langkah yang mudah untuk melakukan pembimbingan kepada murid karena setiap murid memiliki kebutuhan yang berbeda.
Guru sebagai pendidik juga diharapkan mampu menggunakan segitiga restitusi saat menghadapi siswa yang melakukan pelanggaran. Restitusi adalah proses menciptakan kondisi bagi murid untuk memperbaiki kesalahan mereka, sehingga mereka bisa kembali pada kelompok mereka dengan karakter yang lebih kuat (Gossen; 2004). Restitusi juga adalah proses kolaboratif yang mengajarkan murid tentang orang seperti apa yang mereka inginkan, dan bagaimana mereka  harus memperlakukan orang lain (Chelsom Gossen, 1996). Restitusi membantu murid menjadi lebih memiliki tujuan, disiplin positif dan memulihkan dirinya setelah berbuat salah. Penekanannya bukanlah pada bagaimana berperilaku untuk menyenangkan oranglain atau menghindari ketidaknyamanan, namun tujuannya adalah menjadi orang yang menghargai nilai-nilai kebajikan yang mereka percayai.
Melalui restitusi, ketika murid melakukan kesalahan maka guru akan menanggapi dengan cara yang memungkinkan murid untuk melakukan evaluasi diri tentang apa yang dapat mereka lakukan untuk memperbaiki kesalahan mereka dan mendapatkan kembali harga dirinya. Restitusi menguntungkan korban, tetapi juga menguntungkan pelaku (orang yang berbuat salah). Ini sesuai dengan prinsip teori kontrol William Glaser tentang win-win solution (solusi menang-menang).
Ada peluang luar biasa bagi murid untuk bertumbuh ketika mereka melakukan kesalahan, bukankah pada hakikatnya begitulah cara kita belajar?. Murid perlu diberi tanggung jawab atas perilaku yang mereka pilih, namun mereka juga dapat memilih untuk belajar dari pengalaman dan membuat pilihan yang lebih baik di masa yang akan datang. Ketika guru membantu mereka memecahkan masalah perilaku mereka, maka murid akan kehilangan kesempatan untuk mempelajari keterampilan berharga untuk hidup mereka.
Hal yang menarik ketika mempelajari materi ini adalah mengenai hukuman dan penghargaan. Saya perlu meninjau ulang tentang hukuman yang saya lakukan hanya karena alasan kedisiplinan, dan saya perlu lebih bijaksana dalam menggunakan penghargaan berupa nilai keaktifan kepada siswa di kelas. Saat saya merefleksikan disi saya, sejauh ini saya masih cenderung pada kontrol teman atau pemantau. Saya harus berusaha untuk menerapkan peran manajer.
Perubahan.
Setelah mempelajari modul ini saya mempelajari cara memunculkan motivasi ntrinsik siswa saat mengajar di dalam kelas. Sebelumnya saya seringkali memberikan penghargaan kepada murid ketika mereka aktif di dalam kelas, dan memberikan hukuman jika melakukan pelanggaran (tidak mengerjakan tugas). Namun saat ini saya mencoba memberikan pengertian dan menumbuhkan kayakinan bahwa ketika mereka mampu menjawab setiap pertanyaan yang saya lontarkan atau aktif di dalam kelas mereka akan mendapatkan ilmu yang lebih bermanfaat untuk hidup mereka dan lebih percaya diri. Sedangkan jika mereka melakukan pelanggaran maka mereka harus mengerti bahwa ada banyak orang yang merasa dirugikan dan melemahkan nilai-nilai kebajikan yang dimiliki dalam diri.
Perubahan berikutnya adalah cara saya mengajar, saya harus berupaya lebih mementingkan kebutuhan murid daripada kebutuhan saya sebagai guru. Memberikan kebebasan dan menuntunnya dalam cara mencari informasi dan cara mengolahnya. Hingga tujuan pembelajaran dapat dapat tercapai dengan rasa aman, nyaman, dan bahagia.
Kemudian saya juga melakukan perubahan dalam penanganan masalah siswa. Saya menuntun siswa menemukan sendiri solusi atau pemecahan masalah yang dihadapi dengan memposisikan diri sebagai manajer melalui pertanyaan "apakah kamu punya rencana atau cara untuk memperbaiki masalah ....?" Atau "apa yang akan kamu lakukan supaya....?".
Pengalaman, Perasaan, dan Hal yang Perlu Diperbaiki.
Pengalaman yang saya alami adalah ketika saya tidak lagi memberikan penghargaan berupa nilai (poin) kepada mereka yang aktif di kelas, siswa tidak lagi banyak bertanya, saya merasa bingung dan sedikit dilema dengan perubahan yang saya lakukan. Namun saya memantapkan hati untuk terus berupaya menerapkan disiplin positif tersebut di dalam kelas, dan akhirnya sejalan dengan waktu siswa mulai aktif bertanya tentang hal yang belum mereka mengerti dan pahami. Saya merasa lega karena motivasi instrinsik mereka mulai menguat. Saya berharap motivasi intrinsik mereka semakin kuat dan menjadi pembelajar sepanjang hayat.
Sebelum dan sesudah (posisi control dan segitiga restitusi).
Sebelum mempelajari modul ini saya cenderung dalam posisi kontrol teman dan pemantau. Perasaan saya saat itu adalah ingin menerapkan kedisiplinan pada siswa dan menertibkan siswa sesuai peraturan sekolah yang berlaku. Saya berpikir dengan posisi kontrol teman dan pemantau saya mampu menguatkan karakter mereka. Namun ternyata hal tersebut tidak cukup. Posisi pemantau hanya akan membuat siswa merasa jauh dengan guru, meskipun murid memahami konsekuensi yang akan diterima namun murid tetap merasa tidak nyaman karena harus melaksanakan konsekuensi seorang diri, dan guru pu harus meluangkan waktu memantau mereka yang sedang menjalankan konsekuensinya, dan juga melemahkan karakter mereka dan merasa ketergantungan akan kehadiran guru yang mereka sukai Setelah saya mempelajari modul ini saya menjadi paham bahwa untuk menerapkan disiplin kepada anak tidak perlu menghukum atau memberikan konsekuensi langsung, saya harus berusaha menerapkan displin positif dengan menanyakan dan membuat keyakinan kelas dan memunculkan motivasi intrinsik.
Selain itu juga perlu adanya kolaborasi dalam menciptakan budaya positif di kelas dan sekolah, karena penerapan budaya positif tidak dapat dilakukan sendirian. Budaya positif perlu keterlibatan semua pihak yang positif pikirannya, positif perkataannya, dan positif tindakannya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H