Hari ini kejadian itu terulang kembali sama seperti waktu itu. Kau menangis, tantrum, tidak terkendali. Tempatnya pun sama, di kamar mandi. Tapi hari ini aku berhasil menahan diri, walau hampir saja kulakukan hal yang sama. Alhamdulillah Allah masih menjagaku, dirimu masih aman di tanganku.Â
Aku seorang ibu muda yang memiliki balita usia dua tahun. Kata suamiku usia dia saat ini adalah usia yang paling rentan akan hal emosional. Dia akan sering berkata 'Tidak' dalam berbagai hal. Mulai dari di ajak mandi, diingatkan untuk segera pakai baju supaya tidak masuk angin, waktunya makan, cebok saat pipis di celana, dan lain-lain. Semua hal yang tidak sesuai keinginannya pasti dia akan menolak dengan keras. Sedih? Sudah pasti. Ya, mau bagaimana lagi. Usianya sekarang memang masih dalam tahap perkembangan kognitif. Dia sedang belajar mengekspresikan dirinya saat marah, kecewa, dan sedih. Namun, karena keterbatasan bahasa sering kali hanya terdengar kata tidak dan teriakan yang melengking. Tentu membuat kupingku sakit, terlebih mengganggu tetangga.Â
"Nuril, cebok dulu, yuk! Ini basah lho, Nak," ajakku.
"Enggak!"
"Nuril, pakai baju dulu dong sayang," pintaku.
"Enggak!" dengan teriakannya yang khas.
"Nuril, makannya tinggal dua suap lagi nih, mubazir lho. Habiskan, yuk!"Â
"Gak mau! Kenyang," katanya.
Beberapa kata dia sudah bisa mengutarakannya, tapi kebanyakan memang menggeleng atau bicara 'Tidak'. Kesabaran seorang ibu memang di uji di usia ini. Tak ayal bagi seorang ibu jika sedang lelah, lapar, kondisi rumah berantakan menjadi lebih emosi dari anaknya sendiri. Akhirnya ocehan keluar, sisa tenaga dikerahkan semua demi anaknya kembali bersih dari pipis di celana. Kadang harus bopong anaknya padahal badan sudah pada ngenteg. Parahnya lagi kalau tangisan anak tak kunjung berhenti, siraman air bergayung-gayung harus membasahi sekujur tubuhnya. Setelah itu hanyalah penyesalan.
"Bunda siram kamu, nih, hayo! Masih nangis juga? Ga mau berhenti?"
Kata-kata itu selalu terngiang-ngiang dalam lamunanku saat anakku berusia delapan belas bulan. Aku hilang kendali. Aku lupa karena kejadian apa sampai aku melakukan hal itu pada anakku. Yang aku ingat dulu ayahku pernah melakukan hal yang sama ke adikku. Dia menyiram kepala adikku berkali-kali di depan mataku. Karena adikku semakin menjerit ayahku angkat badannya dan diceburkannya ke bak mandi. Astagfirullah! Kejadian itu betul-betul masih membekas sampai aku punya anak sekarang. Padahal saat itu aku dan adikku masih sekolah dasar. Hanya karena adikku menangis tidak mau sekolah, ayahku bilang, "Ada setannya ini," dan melakukan penyiraman itu. Katanya biar setannya pergi.Â
Saat itu aku belum mengerti mengapa ayahku bisa sampai se keras itu. Ditambah ibuku tidak menolong adikku. Dia tetap melakukan pekerjaan beberes rumah, "Aneh," pikirku saat itu. Orang tua macam apa yang membiarkan anaknya diperlakukan kasar seperti itu, ditenggelamkan, coba itu!
Tapi kini aku justru melakukan hal yang sama pada anakku sendiri. Aku sedang lelah-lelahnya, lapar, pusing membujuk anakku yang tidak mau berhenti nangis. Akhirnya ku bawa dia ke kamar mandi dan ku siram 3 atau 5x, aku agak lupa. Karena jujur aku gak mau mengingat lagi perilaku kasarku terhadap anakku. Setelahnya aku menyesal dan berjanji ga akan mengulangi di kemudian hari.
"Dek, mandi sebentar aja, Nak. Gak lama kok,"
"Main, main, main," rengeknya.
Tadi sore itu ceritanya aku bangun tidur di rumah iparku. Ku lihat kaki anakku basah, sontak aku mengira dia pipis di celana. Khawatir semakin merembes di rumah orang langsung kugendong dan kubawa pulang ke rumah. Anakku menjerit, "Enggak, enggak, enggak!" dan memanggil neneknya, "Nenek, nenek, nenek!" mungkin maksud dia mau minta bantuan neneknya kali ya. Tapi aku sudah fokus membopong anakku menuju kamar mandi. Saat ku lihat sudah pukul empat sore, niat hati ingin sekalian memandikan dia.Â
Setelah ku periksa di kamar mandi celananya justru kering, tak ada bau pesing di sekujur tubuhnya. Karena anakku merasa dia tidak bersalah dan ingin segera kembali main, dia nekad keluar kamar mandi tanpa pakai celana lagi. Dengan sigap kutarik tangannya dan kembali kubawa masuk kamar mandi. Aku berpikir lebih baik mandi dulu deh sekarang, daripada bujukin lagi buat pakai celana bakal lebih lama lagi. Mana perut lapar lagi. Mulai dah tuh bawaannya rungsing, tapi ku coba mode bertahan.Â
Tenaga anakku jangan di kira lemah ya, justru tenaganya jauh lebih kuat dari ibunya sendiri. Hampir saja aku gagal menahan badannya. Dia tantrum dan ga peduli menjatuhkan diri di lantai kamar mandi. Kututup pintu kamar mandi agar dia tak bisa keluar. Saat itu aku bingung, apa yang harus aku lakukan lebih dulu? Membujuknya atau segera memandikannya? Ah, lebih baik segera memandikannya. Masalah bujuk-membujuk bisa setelah mandi.Â
"Sabar, Nda, sabar, tahan mulutmu! Sumpah seorang ibu fatal akibatnya. Kamu dapatkan anakmu sekarang ga gampang. Allah menguji kamu dulu selama dua tahun. Sekarang apa kamu akan mengoceh ga karuan?" kataku dalam hati. Aku mengingatkan diriku sendiri tentang sebuah penyesalan jika sesuatu keluar dari mulutku.Â
"Tidak, tidak, tidak! Tetap tenang, abaikan tangisannya. Sekarang mandikan anakmu.... Tidak, tidak usah pakai semprotan, terlalu lama.... Tidak, tidak usah pakai gayung, airnya terlalu dingin dan volumenya akan terlalu besar untuknya. Ah, lebih baik pakai tangan saja," perdebatan batin saat akan memandikan anakku terjadi di kepalaku. Aku mulai menengadahkan tangan di bawah kucuran air kran lalu kusiram pelan di badan anakku.Â
"Pokoknya kamu harus ingat, kamu ga boleh kasar se kasar dulu. Pelan tapi bersih, pasti bisa!" lagi, aku mengingatkan diriku.Â
Selesai mandi kembali terjadi penolakan, yaitu ga mau pakai pampers. Baiklah, kali ini akan kumulai bujuk rayuku. Anakku mengambil paksa pampers di tanganku dan dia letakkan kembali ke tempatnya, lalu tiba-tiba tangisannya berhenti begitu saja. Ya, benar, berhenti mendadak. Dia sudah tidak menangis lagi, kali ini dia merajuk untuk minta asi.Â
"Alhamdulillah, setidaknya kemarahan anakku sudah mereda sekarang," batinku. Kupeluk anakku dan kucium dia, "Biarlah dia handuk kan dulu, bajunya bisa setengah jam lagi kupakaikan. Hihihi,".Â
Nama: Dian Hajani Lestari
Usia: 32 tahun
Pekerjaan: Ibu rumah tangga
Alumni Al Azhar Iskandariyah 2015
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H