Mohon tunggu...
Diana Fitria Hotami Yusman
Diana Fitria Hotami Yusman Mohon Tunggu... Administrasi - A first-year law student at University of Indonesia.

Just a girl with a special interest in books and movies.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Gifted Kid Burnout, Saat Si Pintar Dihadapi Masalah

13 Desember 2022   22:05 Diperbarui: 13 Desember 2022   22:13 598
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Saat pencapaian berarti digapai tanpa usaha, seseorang tidak akan pernah belajar berusaha.

Hasil yang bagus memerlukan usaha yang keras. Kalimat tersebut bisa mewakili perasaan banyak orang, tetapi hal tersebut bukanlah pengalaman hidup sebagian besar gifted kids. Pencapaian yang lebih unggul dibandingkan teman sebaya dicapai dengan effortless, mudah, dan tanpa tenaga yang berarti. Pemahaman yang lebih kompleks terhadap berbagai subjek pun dimiliki oleh mereka.

Seorang gifted kid kerap kali unggul di berbagai bidang terutama bidang akademik, pemahaman yang lebih kompleks pun menjadi salah satu faktor keberhasilan. Namun, bagaimana jika seorang gifted kid dihadapkan dengan sesuatu yang mereka tidak bisa pahami?

Gifted kid burnout menurut Davidson Institute merupakan kelelahan yang berdasar dari ketidakcocokan antara pengalaman diri dan keadaan yang dialami. Fenomena tersebut bukan merupakan hal yang jarang terjadi.

Kata Burnout kerap kali hilir mudik di laman media sosial kita. Tak jarang kita menemukan curhatan orang-orang yang mengalami burnout. Dari pekerja korporat sampai siswa SMA, fenomena ini tidak mengenal siapa mangsanya.

Korban dari gifted kid burnout seperti memiliki komunitasnya sendiri yang berdasar pada “pengalaman bersama” mereka terhadap fenomena tersebut. Banyak forum-forum dan pembahasan muncul yang diprakarsai oleh kebutuhan untuk mencari teman seperjuangan. Forum-forum dan pembahasan ini terjadi di berbagai platform di media sosial, dari platform ter-hits saat ini yaitu Tiktok sampai dengan platform yang cukup underrated, terutama di Indonesia sendiri, yaitu Reddit.

Saya sendiri sebagai salah satu orang yang merasa pernah mengalami fase tersebut, mencari “a sense of community” di Reddit. Pencarian tersebut dimulai dari keinginan saya untuk membiasakan diri untuk belajar. Kesempatan “belajar untuk belajar” tidak pernah saya dapatkan menghitung sepanjang hidup saya sampai titik tersebut tidak pernah ada kebutuhan untuk hal itu. Jawaban yang saya terima dari sebuah post yang saya buat di r/aftergifted, subreddit dimana fenomena ini dibahas, cukup bervariasi.

Pengalaman saya sendiri ternyata bukan merupakan hal yang jarang terjadi, dengan 84 upvotes dan kurang lebih 25 balasan berisi saran-saran jawaban dari pertanyaan saya, kebutuhan untuk “belajar untuk belajar” ini banyak dialami pula oleh orang dari berbagai kalangan usia dan background.

Dengan banyaknya kasus serupa dengan pengalaman saya, suatu pertanyaan mencuat. Apakah fenomena ini sesuatu yang sepenuhnya merupakan masalah internal atau ada faktor eksternal yang juga mendukung hal ini untuk terjadi?

Selain anak yang merupakan “gifted kid”, ada kehadiran orangtua yang sama terbiasanya dengan segala pencapaian yang digapai oleh sang anak. Di fase burnout yang dihadapi oleh sang anak, peran orangtua bisa menjadi alasan dari fase itu sendiri atau support system bagi mereka.

Terlepas dari hal-hal di atas, fenomena gifted kid burnout bukan merupakan suatu fenomena yang well-researched sehingga keberadaannya pun masih dipertanyakan. Eksistensi “gifted kid” sendiri pun masih bukan suatu hal yang jelas, apakah istilah tersebut benar adanya ataupun hanya suatu konstruksi sosial yang memvalidasi perasaan-perasaan khalayak banyak. Namun, yang pasti adalah perasaan yang dialami di fase ini adalah perasaan yang benar-benar dirasakan oleh banyak orang, sehingga tergantung dari kita atas reaksi apa yang kita akan berikan, apakah menjadi alasan dari adanya “fase” ini sendiri atau menjadi support system yang baik bagi siapapun yang tengah menghadapi hal ini.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun