Persis bulan Oktober tahun lalu saya dan suami main-main ke Papandayan (ketinggian 2665 mdpl) yang terletak di Garut, Jawa Barat. Dari Bekasi kami masuk tol ke arah Bandung dan keluar di pintu tol Cileunyi, lanjut menyusuri jalan raya nasional arah Garut.Â
Memasuki kota Garut kami mengikuti google maps dengan titik kenal Wisata Gn. Papandayan. Di pinggir kota Garut kami janjian dengan porter yang akan memandu kami naik gunung.Â
Jalan menuju base camp Gn. Papandayan tersendat di beberapa titik karena sedang ada pengecoran jalan. Kendaraan harus bergantian lewat. Tapi saya rasa tahun ini semuanya sudah selesai.
Kami tiba di parkiran base camp Gn. Papandayan sekitar jam 10 pagi. Hawa sejuk dengan sinar matahari yang hangat. Parkiran cukup ramai karena di dekat area parkiran ada tempat wisata air. Ada beberapa cottage yang disewakan juga di situ.Â
Di sisi kiri area parkir yang cukup luas berjajar beberapa warung makan dan juga toilet dan mushola. Sebelum mulai mendaki kami disuguhi sarapan dulu oleh porter. Oya, selain berjalan kaki, pengelola Gn. Papandayan juga mengijinkan pengunjung naik ke camping ground dengan motor trail.Â
Jalur pendakian Papandayan sangat menyenangkan. Dari parkiran kami memasuki gerbang dengan berjalan kaki di atas aspal yang sudah mulai keriting, treknya masih landai. Gerbang tsb adalah Pos 4. Setelah aspal habis kami menaiki anak tangga dari batu-batu gamping.
 Sisi kanan tebing batu tinggi, dan di sisi kiri ada jurang yang di dasarnya terlihat kawah yang mengeluarkan uap belerang. Tidak ada pohon tinggi di sini hanya perdu-perdu tanaman yang seingat saya jenisnya sama dengan yang tumbuh di pinggir kawah Tangkuban Perahu.Â
Sinar matahari mulai terasa agak panas karena menjelang tengah hari. Beruntung hawa gunung cukup sejuk dengan angin sepoi-sepoi. Di ujung anak tangga ada pos tempat beristirahat, dan ada pula beberapa warung yang menjual minuman dan jajanan. Ini adalah Pos 7.Â
Pos 7 disebut juga Bunderan. Dari sini ada 2 jalur menuju puncak, ke kanan melalui Ghober Hoet atau ke kiri lewat Hutan Mati. Porter kami menyarankan kami naik lewat Ghober Hoet dan besok turun lewat Hutan Mati. Jadi semua jalur akan kami lewati.
Setelah beristirahat dan minum es jeruk di warung Pos 7, kami melanjutkan perjalanan. Kali ini jalurnya rindang karena melewati vegetasi pepohonan yang cukup rapat. Indah sekali untuk berfoto. Sebelum sampai di Ghober Hoet kami melewati Lawang Angin, yaitu celah di antara 2 tebing.Â
Nama Ghober Hoet itu sendiri berasal dari bahasa Belanda.Â
Dari mesin pencari saya menemukan informasi bahwa Ghober Hoet dahulunya merupakan pondok gunung yang dimiliki oleh Hoogland (Ketua Bandoeng Vooruit) dan Bertling (Administratur Sedep).Â
Pondok itu dahulu dinamakan Hoogbert Hut mengacu kepada singkatan nama Hoogland dan Bertling, entah bagaimana sekarang pelafalan namanya menjadi Ghober Hoet.
Ada area perkemahan di Ghober Hoet. Tempatnya cukup nyaman. Tapi porter mengatakan bahwa kemah kami sudah disiapkan di Pondok Saladah, jadi setelah duduk sebentar di warung kami meneruskan perjalanan.Â
Kami sampai di tempat berkemah sekitar jam 13.30. Tempat lapangnya cukup luas dengan banyak pohon di sana sini. Ada mushola dan deretan kamar mandi di sisi kiri, di sebrang agak ke kanan berdiri beberapa warung dan di belakangnya ada toilet lagi.Â
Wah ini bumi perkemahan yang mewah buat pendaki. Ada mushola dan air mengalir. Tak perlu sholat di tenda atau di rerumputan dan buang air kecil di tenda darurat. Ada banyak warung pula jadi pendaki tidak perlu bawa peralatan masak, cukup bawa uang tunai untuk pesan makanan di warung.
Sudah ada banyak tenda berdiri di sana. Suasana cukup ramai karena weekend. Setelah meletakkan ransel di tenda kami berkeliling. Melewati padang edelweis bunga kesukaan saya, melewati sumber air, sampai di hutan mati.Â
Hutan Mati adalah bekas hutan yang mati akibat letusan gunung Papandayan tahun 2002 (dari beberapa sumber). Awan luar biasa panas menyapu hutan dan meninggalkan batang-batang pohon menghitam yang masih berdiri sampai saat ini. Sebagian tergeletak tak beraturan. Menyisakan pula jalur sungai kering berbatu.
Bermalam di gunung kami ditemani hawa dingin dan suara angin yang menderu-deru. Saya sampai kuatir kemah kami terbang saking kencangnya tiupan angin. Paginya sebelum matahari terbit kami segera mencari spot sunrise view, yaitu di tepi jurang.Â
Di seberang jurang ada lereng gunung dan di sana terlihat matahari terbit. Di pinggir jurang ini juga sinyal ponsel bisa didapatkan.Â
Setelah sarapan kami bersiap-siap turun. Pondok Saladah bukan puncak Gunung Papandayan. Untuk ke puncak masih perlu sekitar 2 jam perjalanan dan menurut porter pendaki harus mendaftar secara online ke Pengelola seperti yang dilakukan untuk mendaki Semeru karena puncak Papandayan adalah hutan yang dilindungi.
 Selain itu ada pula spot air terjun yang treknya konon lebih terjal. Karena trip ini adalah trip santai maka kami tidak mengambil paket tsb.
Seperti sudah direncanakan jalur turun kami melalui Hutan Mati. Maka sekali lagi kami melintasi tanah tandus kering dengan puluhan batang pohon mati yang eksotis tapi mengenaskan.Â
Di sepanjang pinggir jurang yang menghadap ke kawah dipasang pagar panjang dari kayu untuk menjaga agar tidak ada pengunjung yang terjatuh.
Kami turun dari Hutan Mati melalui undakan batu, rapi dan memudahkan para wisatawan, dan tak terasa kami sampai di Bunderan. Beberapa kali kami berpapasan dengan pengunjung yang baru naik.Â
Papandayan memang salah satu gunung yang hiker friendly, treknya mudah, tidak terlalu terjal dan jika waktunya pendek wisatawan tidak perlu menginap, bisa day trip untuk menikmati keindahan kawah dan eksotisnya hutan mati.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H