Mohon tunggu...
Diana F Singgih
Diana F Singgih Mohon Tunggu... Lainnya - baru belajar menulis

Pensiunan yang saat ini hobinya merajut dan traveling

Selanjutnya

Tutup

Diary

Parenting Wounds/ Inner Child

5 September 2024   18:57 Diperbarui: 5 September 2024   18:59 46
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Parenting wounds. Inner child. Luka pengasuhan. 

Di kajian lewat zoom kemarin sore ada ibu yang menanyakan apa yang harus dia lakukan untuk menyembuhkan luka hatinya atas perlakuan ibunya saat dia masih kecil. Ibunya dulu suka memukul dan memaki sehingga menimbulkan trauma dalam diri si anak hingga dia dewasa kini. Begitu dalam bekas luka yang dia simpan hingga sulit baginya melupakan dan memaafkan.

Saya jadi ingat teman saya. Belum lama ini kami bertemu setelah berpisah kantor dan kota selama lebih dari 1 dekade. Dalam kurun waktu 3 jam pertemuan itu tiba-tiba dia menceritakan masa lalunya. Selama 24 tahun dia menjadi sasaran pukulan ibunya kalau ibunya sedang marah. Teman saya anak sulung dari 3 bersaudara dan setiap ibunya murka dia menjadi tameng supaya adik-adiknya tidak ikut kena pukul. Dia tumbuh dalam lingkungan yang tidak sehat tsb sampai dia menikah dan keluar dari rumah. Beruntung dia mendapatkan suami yang baik dan keluarga kecil mereka tumbuh menjadi keluarga yang cukup harmonis. Yang membuat saya kagum adalah teman saya ini seperti tidak punya rasa dendam pada orang tuanya. Ibu dan ayahnya yang kini berusia di atas 80 tahun, sekarang justru tinggal bersama dia. Ibunya masih keras hati dan pemarah, dan ayahnya punya penyakit yang membuatnya harus rutin berobat ke rumah sakit. Dan teman saya ini yang membiayai dan merawat, dibantu adiknya.   

Berapa banyak anak-anak di dunia ini yang mengalami masa kecil tidak menyenangkan karena punya orang tua yang abusive secara fisik atau verbal, atau lebih parah yaitu pencabulan. Orang luar tidak tahu apa yang menyebabkan terjadinya hal tsb. Mungkin rasa frustrasi dan kemarahan pada dunia, atau stres pekerjaan, atau ketidakbahagiaan dengan pasangan, atau kebencian karena sebetulnya tidak ingin punya anak, dsb. Lalu amarah tsb dilampiaskan pada si anak. 

Baca juga: Anak dan Buku

Menjadi orang tua itu sulit. Tidak ada sekolah menjadi orang tua. Banyak tutorial dan kelas ilmu parenting tapi tidak ada template yang berlaku umum buat semua. Bahkan untuk anak-anak yang dilahirkan dari orang tua yang samapun tidak bisa menggunakan pendekatan yang sama dan anak-anak mereka akan tumbuh menjadi pribadi-pribadi yang berbeda. Tapi semua hal ini tidak bisa dijadikan alasan menciptakan trauma pada anak-anak.

Menyimpan luka pengasuhan, luka masa kecil bisa membuat depresi berkepanjangan, merasa hidup tidak berharga, sulit mempercayai orang, dan selanjutnya bisa berakibat pada hubungan dengan pasangan dan anak-anak.

Saya ingat kata-kata Lee Kuan Yew dalam film biografinya untuk memberi motivasi pada generasi muda Singapura. "You never chose your father and mother, but they chose each other, and you are there. What we can do it to make sure that what you have is developed to its maximum potential."

Kita sendiri yang harus memilih dan memutuskan apa yang harus dilakukan. Yang mungkin bisa membantu untuk move forward dari kondisi tidak baik-baik itu adalah:

- berdamai dengan diri sendiri, menerima bahwa keadaan tsb sudah terjadi dan tidak bisa diubah

- belajar mencintai diri sendiri

- mencoba mengingat saat2 bahagia di masa kecil ketika badai memori buruk itu muncul

- memprioritaskan diri sendiri

- memaafkan orang tua kita 

Saya sempat bertanya ke teman saya apa yang membuatnya tidak mendendam pada ibunya.

Dia bilang dia tidak mau menyimpan sakit hati karena hanya akan mengakibatkan dia tidak bahagia. Dia sadar tidak bisa mengubah sifat ibunya jadi baik. Yang dia lakukan adalah melakukan hal2 yang membuatnya bahagia, membangun komunikasi yang baik dengan anak-anak dan suaminya, dan membesarkan anak2nya menjadi manusia yang bahagia. Selain itu dia juga berusaha menjadi anak yang baik.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun