Ada teman saya ahli mikro ekspresi. Kalau politik sedang ramai seperti menjelang pemilu, atau bergulirnya kasus kriminalitas yang menyita perhatian khalayak ramai, dia sering dimintai menganalisa gestur.Â
Kemarin setelah menonton pak Airlangga membacakan surat pengunduran diri dengan ekspresi datar tapi seolah menyimpan banyak makna, saya kirim pesan ke teman saya.
"Eh lo gak diminta tipi-tipi menganalisa pak AH?"
Dia menjawab pesan saya dengan emoticon terbahak.Â
"Tunggu aja," tulisnya.
Politikus kawakan seperti pak AH pasti sudah belajar memasang poker face. Sekiranya ada tekanan atau perasaan apapun yang ada dalam hatinya tidak akan muncul di raut wajahnya.Â
Beda dengan saya. Meskipun rasanya saya berusaha nampak biasa, begitu melihat saya masuk rumah sepulang kerja, suami bisa langsung bertanya,"Ada apa di kantor tadi kok mukanya ditekuk?"
Beginilah nasib punya wajah terlalu ekspresif. Kalau suka atau tidak suka dengan orang, bisa mudah terlihat dari ekspresi wajah saya. Karena itu pula maka saya tidak pantas jadi pejabat karena tidak pandai berpura-pura. Ahay!Â
Terima kasih sudah membaca intermezo malam ini.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H