Mohon tunggu...
Diana F Singgih
Diana F Singgih Mohon Tunggu... Lainnya - baru belajar menulis

Pensiunan yang saat ini hobinya merajut dan traveling

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Ibu dan Airin

30 Juli 2024   16:18 Diperbarui: 30 Juli 2024   16:21 81
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

I b u

"Ibu mau kemana?" suara itu tiba-tiba muncul dari arah kananku. Sayup tapi jelas.

"Mau ke sana," jawabku tanpa menengok. Kugerakkan dagu ke arah depan kiri. Jauh di sana sepertinya ada suasana meriah. Terlalu jauh buat mata tuaku tapi bisa kurasakan aura kebahagiaan di sana.

"Ibu belum boleh ke sana," kata suara halus di sampingku dan kurasakan jarinya menepuk lembut lenganku.

Langkah kakiku terhenti dan aku bersiap membentaknya. Berani-beraninya melarangku!

"Eyang... ayo bangun Eyang.. waktunya dinner." Elusan di tanganku membuatku membuka mata. Kecewa mendera. Aah ternyata yang barusan hanya mimpi! 

Bubur dengan campuran ikan, wortel dan brokoli yang diblender halus itu kutelan dengan susah payah. Perawatku, Nini namanya, sabar sekali menyuapiku. Menuntunku membaca doa sebelum makan, membujukku membuka mulut, dan sesekali melap pipi dan daguku yang berlepotan.

Ponsel Nini berdering sebelum makananku habis. Nini tak menjawabnya. Selalu begitu kalau dia sedang mengurusiku. Aku ingin menyuruhnya mengangkat, barangkali orang yang kutunggu yang menghubunginya.

"Assalamualaikum..." Suara asing tak kukenali terdengar lalu sosok berbaju putih masuk kamar. Nini menyahuti sedangkan aku membalas dalam hati.

"Mam, ini dokter Puji, mau periksa mama dulu ya," anakku Airin berjalan di belakang dokter. Ah pasti dokternya ini dipanggil karena aku sulit menelan, sulit bicara dan badanku berkeringat terus belakangan ini.

Dokter memeriksa tensi, memintaku buka mulut dan memeriksa mataku, lalu mengambil darah. Selanjutnya suara percakapan antara dokter, Airin dan Nini hanya sayup-sayup kudengar. Aku capek, ingin tidur.

A i r i n

Ada denting pelan dari ponselku. Kulihat notifikasi. Ternyata dari grup ABCDEFG, grup chat dengan saudara-saudaraku. Entah kenapa orangtuaku memberi nama kami sesuai abjad. Aku Airin Arunika, adikku Bilal Perdana, Citra Aksara Dewi, Diandra Swastamita, Erina Renjana, Fariz Sanjaya Sakti, dan si bungsu Gurdo Nawasena.

Tadi pagi aku tulis di grup mengenai kondisi ibu yang terbaru. Hasil tes darah yang kurang baik, ginjal dan paru-paru mulai melemah fungsinya, ditambah lagi mood ibu nampaknya kurang baik. Makannya lambat sekali, terlihat sulit menelan. Aku minta adik-adikku datang menengok lebih sering, atau at least video call. Ibu pasti kangen anak-anak dan cucu-cucu. 

Aku tahu semua sibuk dengan pekerjaan dan keluarga, tapi sempatkanlah, tulisku pada grup. Kita tak tahu usia, siapa tahu salah satu dari kita anak-anak ibu yang dipanggil lebih dulu. Apa tidak mau silaturahim sebentar mumpung masih pada sehat?

Hanya Erina yang langsung video call, dan memang selama ini dia yang rutin menelpon ibu. Kalau saja dia tidak tinggal di luar kota, aku yakin dia akan sering berkunjung. Citra, Fariz dan Gurdo yang sekota denganku dari dulu hanya datang jika ada perlu atau event spesial.

I b u 

Mimpikah ini?

Ada kakakku di situ, di balik jendela. Setengah berlari aku menaiki undakan ke ruangan besar yang sangat familier. Dinding berwarna putih usang, langit-langit tinggi, jam dinding bundar besar dan jajaran loket di seberang pintu masuk. 

Ruangan ini seingatku selalu ramai, tapi saat ini entah kenapa lengang sekali.

Kakakku berdiri di sana, separuh badannya terhalang kolom besar penyangga atap, dia tak melihatku. Ah kakakku tersayang yang sudah lama sekali tak kujumpai. Rindunya....

"Mas..?" suaraku serak, mataku tergenang. Mas Damar bergeming, ada perempuan memunggungiku dan dia menoleh mendengar suaraku. Pupil mataku membesar.

"Ariati?" lirih suaraku. Tenggorokanku sesak. Mataku buram oleh air mata. Tanganku menggapai. Kakiku berat!


"Latihan dulu ya Eyang, supaya kakinya tidak kaku," suara terapis muda menyingkirkan lamunanku.

Hari apa ini? Jam berapa? Pastinya siang karena terapis tidak akan datang malam hari. Tapi aku sudah tidak paham hari apa, bulan berapa. Memoriku makin buram seperti penglihatanku. Badanku tak pernah nyaman, selalu ada rasa sakit di salah satu bagian badanku. 

Aku benci sesi fisioterapi. Tapi Airin dan Nini (yang sudah merawatku sejak aku kena stroke beberapa tahun terakhir lalu) meyakini bahwa fisioterapi bisa memperbaiki postur badanku yang beberapa sendinya mulai bengkok. Terpaksa aku menuruti.

Mataku masih terpejam ketika ponsel Nini berdering dan kudengar suara Nini berbisik menjawab,

"Wa alaykumsalam. Eyang sedang tidur, non. Iya nanti kalau sudah bangun saya WA ke non ya."

Ah ternyata bukan yang kutunggu. Aku tak jadi membuka mata. Kecewa rasa hatiku. Kemana dia, kenapa lama sekali tak datang?

Aku dulu pernah belajar psikologi anak. Duh sulit sekali mengingat-ingat. Lintasan peristiwa dulu, kini, dan mungkin khayalan dan mimpi, bercampur baur di kepalaku. Tapi rasanya aku paham kalau anakmu lebih dari 1, kasih sayang ke anak itu harus adil, harus sama. Jangan sampai salah satu merasa ibunya lebih sayang ke saudaranya. Perasaan kurang disayang itu bisa berdampak pada kepercayaan dirinya dan membentuk kepribadiannya hingga dewasa. Tapi aku manusia, aku sayang ke semua anakku tapi somehow ada satu nama yang lebih terpatri. Mungkin karena dia bungsu. Di mataku dia tidak pernah salah. Tidak naik kelas waktu SD, aku pindahkan dia ke sekolah lain dan aku usahakan supaya dia naik kelas di sekolah yang baru. Hobinya otomotif waktu SMA, aku fasilitasi meskipun garasi jadi kotor dan berantakan, dan biaya reparasi kalau dia habis touring itu cukup besar. Akhirnya dia lulus kuliah meskipun molor dan nilainya ngepas. Aku lobby kawan yang punya perusahaan supaya si bungsu diterima kerja tanpa harus susah payah melewati segala macam seleksi dan interviu. Jika sebelum gajian dia mengeluh tak punya uang bensin, aku transfer. Suamiku sering komentar tak setuju karena treatmentku tsb membuat si anak tidak mandiri dan selalu bergantung, tapi karena aku bersikeras akhirnya suamiku mengijinkan. Dan berulang terus. Hingga suamiku meninggal dan aku tak lagi punya sandaran dan income.

A i r i n

Airin lemas. Dadanya sesak, badannya lunglai serasa tak bertulang. Air matanya mengucur tak terbendung. Terduduk di sofa, dia mencoba menata diri. Ponselnya tergeletak. Dia baru mendapat kabar buruk tentang Gurdo dan bingung bagaimana menyampaikan ke ibunya. Dia paham betul bagaimana cintanya sang ibu ke si bungsu. Ibunya tak bisa marah sesalah apapun si bungsu. Dan kejengkelan ibunya pada si bungsu biasanya terlampiaskan ke anak lain yang kebetulan sedang berada di dekatnya.

Sampai remaja, dia selalu jengkel kalau ibunya bersikap pilih kasih begitu. Tapi makin dewasa, banyak bergaul dan membaca, banyak datang ke kajian ilmu, apalagi setelah menikah dan punya anak sendiri, Airin mengerti. Dan dia belajar untuk tidak mengistimewakan salah satu anak. Setiap anak punya keistimewaan dan kekurangan masing-masing. Anak-anaknya diberi fasilitas yang sama, dari gadget atau kursus di luar sekolah, dimasukkan sekolah yang sama, mendapat tugas rumah tangga sesuai usianya, tak ada yang boleh menolak dan menawar.

4 tahun yang lalu ibunya terkena stroke. Saat itu ibunya tinggal sendirian. Ayahnya sudah mendahului dan ibunya tidak mau pindah tinggal di rumah salah satu anaknya. Ibunya perempuan tua yang mandiri, masih menyupiri sendiri mobil kecilnya pergi ke arisan, atau ke kegiatan sosial, dan mengunjungi anak cucu. Sejak stroke yang membuat dirinya harus bergantung pada orang lain, Airin mengajak ibunya tinggal bersamanya, kebetulan rumahnya cukup besar dan sekota dengan ibunya jadi teman-teman ibunya masih bisa datang berkunjung jika mereka ingin. Dia bersyukur mendapatkan Nini, caregiver yang sabar dan telaten. Airin menyaksikan sendiri bagaimana kelumpuhan menjadikan ibunya menjadi ekstra temperamental. Nampak sulit bagi ibunya menerima kenyataan bahwa beliau tidak lagi bisa melakukan segala sesuatunya secara mandiri. Makan harus disuapi, mandi harus dibantu, karena sebelah sisi badannya lumpuh. Tahun-tahun pertama setelah stroke kemampuan komunikasi ibunya masih bagus, dan karena Nini yang selalu ada di sisinya, perempuan itu yang selalu kena omel. Dari tayangan tv yang tidak memuaskan, hawa yang panas, makanan yang kurang pas rasanya, dsb. 

Beberapa bulan lalu ibunya terkena stroke yang kedua, mengakibatkan sulit berbicara dan fungsi organ dalamnya menurun drastis.

Barusan, Yanti istri Gurdo mengabari kecelakaan yang menimpa adiknya. Dia dalam perjalanan pulang dari pabrik tempatnya bekerja ketika ojol yang ditumpanginya ditabrak truk dari arah berlawanan. Istrinya mengabari Airin dari rumah sakit tempat Gurdo dilarikan untuk mendapat pertolongan pertama.

I b u

"Ibu..! Ibu..! ada yang menjerit memanggilku, jauh sekali terdengarnya. Aku kenal itu suara Airin tapi kenapa suaranya serak dan penuh tangis.

Aku membuka mata.

Ah di mana ini? Berkabut dan sejuk. Badanku terasa ringan. Aku memutar kepala ke arah suara Airin, dan ooh... siapa itu terbaring? Aku melihat Airin menangis, Nini juga.

"Ibu...," suara lain memanggilku, ada senyum di suara itu. Aku menoleh dan memandang anak bungsuku, permata hatiku. Mataku bersinar dan senyum lebar terbentuk di bibirku.

"Gurdo, ibu rindu kamu, nak." Air mataku mengalir memeluknya.

"Ayo bu.." Gurdo menyentuh lenganku. Tangannya sejuk. Aku bergerak mengikutinya tapi suara tangis menahanku.

Aku menundukkan kepala dan melihat badanku terbaring kaku di bawah sana, dikelilingi banyak orang. Ada pria berjas putih yang sibuk memeriksa dan memijat dadaku. Lalu dia mengusap wajahku.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun