Mohon tunggu...
Diana Elvaretta
Diana Elvaretta Mohon Tunggu... Guru - Academic

Hobi travelling, memasak,kuliner dan belajar hal - hal baru yang bisa mengupgrade diri sendiri

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Alam & Tekno

Regulasi Komunikasi Digital dalam Kampanye Pilpres antara Perlindugan dan Pembatasan

15 Februari 2024   08:16 Diperbarui: 15 Februari 2024   08:20 67
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Alam dan Teknologi. Sumber ilustrasi: PEXELS/Anthony

Media sosial menjadi salah satu alat terpenting dalam kampanye Pilpres 2024 (Pill Press). Calon Presiden dan Wakil Presiden (Capres Cawapres) beserta tim suksesnya menggunakan platform digital seperti Facebook, Twitter, Instagram, dan TikTok untuk menjangkau pemilih. Sebarkan informasi dan bangun citra Anda. Namun selain manfaatnya, media sosial juga memiliki berbagai dampak dan tantangan yang harus dihadapi oleh para pemangku kepentingan, terutama pemerintah,penyelenggara pemilu, peserta pemilu, dan masyarakat. Salah satu dampak positif media sosial adalah meningkatnya partisipasi politik, khususnya di kalangan pemilih muda. Menurut Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo), jumlah pengguna media sosial di Indonesia diperkirakan akan mencapai 196,7 juta pada tahun 2023, atau sekitar 71,6% dari total populasi.Sekitar 40% di antaranya adalah Gen Z, atau mereka yang lahir antara tahun 1997 dan 2012. Generasi ini menguasai 40 hingga 50 persen dari seluruh pemilih, sehingga berpotensi
menjadi pemilih pada Pilpres 2024.

Generasi Z memiliki kemungkinan untuk mendapatkan akses informasi, berkomunikasi, dan berinteraksi dengan calon presiden-wakil presiden dan staf mereka melalui platform media sosial.Media sosial juga memberikan kesempatan kepada individu untuk mengungkapkan keinginan,pandangan, dan kritik terkait masalah-masalah politik yang relevan. Ini dapat meningkatkanpemahaman, ketertarikan, dan partisipasi politik mereka, dan berpengaruh pada preferensi politik mereka. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Drone Emprit, hasil survei menunjukkan bahwa sebanyak 74,8 persen dari responden generasi Z mengaku mendapatkan informasi mengenai Pilpres 2024 melalui media sosial. Selanjutnya, sebanyak 63,9 persen dari responden tersebut mengakui bahwa mereka merasa terpengaruh oleh informasi yang diperoleh tersebut.Tetapi, di lain pihak, media sosial juga menimbulkan akibat yang tidak menguntungkan, seperti penyebaran informasi yang salah, berita palsu, dan pemakaian bahasa bernada benci. Isi-isu yang tidak menguntungkan ini dapat menghancurkan reputasi, popularitas, dan kepercayaan para calon presiden dan wakil presiden, serta menyebabkan pembagian pendapat, konflik, dan pemecahan ditengah masyarakat. Berdasarkan informasi yang diberikan oleh Kominfo, sepanjang tahun 2023, terdapat sebanyak 1.413 konten yang salah dan tidak valid terkait dengan Pemilihan Presiden 2024 yang menyebar di jejaring sosial. Isi hoaks yang sering kali ditemukan terdiri dari informasi palsu,percobaan memecah-belah, upaya memicu ketegangan, dan ajakan untuk mencela salah satu calon presiden dan wakil presidennya atau tim pendukungnya. Dalam hal ini, ada juga materi yang mengandung ekspresi kebencian berdasarkan perbedaan suku, agama, ras, dan kelompok (SARA), yang dapat membahayakan stabilitas dan persatuan nasional. Untuk menghadapi situasi ini,

diperlukan aturan yang dapat mengatur serta mengawasi penggunaan platform media sosial dalam perjalanan kampanye Pilpres. Tujuan dari regulasi ini adalah untuk melindungi hak dan kepentingan individu yang terlibat dalam pemilu, termasuk peserta pemilu, penyelenggara pemilu,dan masyarakat. Selain itu, regulasi ini juga ditujukan untuk mencegah dan menghukum

pelanggaran-pelanggaran yang dapat merugikan mereka. Namun, tetap perlu mempertimbangkan prinsip kebebasan berpendapat, berekspresi, dan berkomunikasi yang dijamin oleh konstitusi dan hak asasi manusia dalam pengaturan ini. Oleh karena itu, penting bagi regulasi ini untukmenunjukkan keseimbangan, proporsi, serta keterlibatan masyarakat yang luas.

Peraturan dari Komisi Pemilihan Umum (PKPU) Nomor 13 Tahun 2023 yang memuat aturan mengenai kampanye di platform media sosial adalah regulasi yang mengatur langkah-langkah,program, dan jadwal pelaksanaan Pemilihan Umum Tahun 2024. Dalam Pedoman KPU ini, ditegaskan bahwa partisipasi dalam kampanye melalui media sosial dapat dilakukan oleh peserta
pemilu, tim kampanye, relawan, dan masyarakat secara umum.

Namun, terdapat beberapa syarat yang harus dipenuhi:
a. Tidak menggunakan pendidikan, kesehatan, ibadah, dan kegiatan sosial lainnya sebagai alat kampanye Melakukan tindakan yang tidak merugikan integritas Negara Kesatuan Republik Indonesia
b. Menghormati semua individu, agama, suku, ras, golongan, calon, dan/atau peserta pemilu yang lain, tanpa merendahkan mereka
c. Melarang seseorang atau kelompok untuk memprovokasi pertikaian atau perpecahan
diantara individu atau masyarakat.
d. Menjaga ketertiban umum
e. Tidak ada ancaman untuk melakukan tindakan kekerasan atau promosi penggunaan kekerasan terhadap seseorang, sekelompok masyarakat, atau peserta pemilu lainnya.
f. Tidak mengedarkan informasi palsu, fitnah, hasutan, dan/atau ucapan yang mengandung kebencian
g. Dilarang mengambil keuntungan dari agama, suku bangsa, ras, kelas sosial, dan/atau jenis kelamin. - Mencegah penggunaan fasilitas negara dan/atau fasilitas publik yang melanggar aturan hukum
h. Melarang memberikan atau menawarkan dana, barang, atau bantuan lain yang dapat dipertanggungjawabkan secara hukum kepada pemilih
i. Jangan menggunakan bantuan sosial, bantuan keuangan, atau bantuan lainnya yang diberikan oleh pemerintah pusat, pemerintah daerah, atau dana desa untuk keperluan kampanye.
j. Tidak menggunakan kejadian alamiah, peristiwa sosial, atau peristiwa lainnya sebagai alat untuk keuntungan dalam kampanye

k. Larangan mempergunakan anak di bawah usia yang belum cukup dewasa untuk keperluan kampanye
l. Menghindari penggunaan posisi, gelar, atau status untuk kepentingan kampanye

m. Tidak memanfaatkan jabatan, pangkat, atau kedudukan demi keuntungan kampanye
n. Mencegah penggunaan kekuasaan, status sosial, atau posisi yang dimiliki untuk kepentingan kampanye
o. Tidak menggunakan posisi atau kedudukan yang dimiliki sebagai keuntungan dalam kampanye.
p. Menghindari penggunaan program pemerintah, lembaga negara, atau lembaga publik lainnya untuk keperluan kampanye
q. Tidak menggunakan organisasi sosial, organisasi profesi, atau organisasi lain yang bersifat netral untuk kepentingan kampanye.
r. Menghindari menggunakan media massa seperti surat kabar, televisi, dan internet untuk keperluan kampanye yang bertentangan dengan aturan hukum yang berlaku.
s. Jangan menggunakan teknologi informasi dan komunikasi, termasuk media sosial, untuk melakukan kampanye yang melanggar aturan hukum.

Apabila ada pelanggaran dari peserta pemilu, tim kampanye, relawan, atau masyarakat terhadap aturan tersebut, mereka dapat ditindak dengan sanksi administratif, pidana, atau melalui proses.gugatan perdata, tergantung sejauh mana pelanggaran yang terjadi. Sanksi administratif dapat mencakup pemberian peringatan, teguran, pembekuan, atau pencabutan izin kampanye. Hukuman
kriminal bisa berbentuk penjara, denda, atau hukuman ekstra. Pengadilan dapat memberikan sanksi dalam bentuk kompensasi kerugian, pembatalan, atau pencabutan hak dalam gugatan perdata. Regulasi ini pada dasarnya bertujuan positif, yaitu menciptakan suasana kampanye yang sehat, adil, dan demokratis di platform media sosial. Akan tetapi, dalam praktiknya, aturan ini juga
menghadapi berbagai hambatan dan kritikan. Saling berhadapan dengan berbagai tantangan berjalan seiring dengan kebutuhan untuk meningkatkan pengawasan dan penegakan hukum. Untuk mengatasi banyaknya dan perubahan konten di media sosial dengan cepat, diperlukan sumber daya yang cukup untuk memantau, memverifikasi, dan mengambil tindakan terhadap pelanggaran. Di
samping itu, dibutuhkan kerja sama yang efektif antara lembaga-lembaga terkait, seperti Kominfo, KPU, Bawaslu, DKPP, dan kepolisian, untuk menyelesaikan pengaduan, laporan, atau temuan pelanggaran di platform sosial media. Di samping itu, melibatkan serta berpartisipasi aktif masyarakat, terutama para pemilih, menjadi penting agar mereka dapat menjadi pengguna informasi yang pintar dan kritis, serta tidak rentan terpengaruh oleh konten yang merugikan. Salah satu kritikan yang muncul terhadap kebijakan ini berkaitan dengan kemungkinan pembatasan atas kebebasan dalam menyuarakan pendapat, mengungkapkan ekspresi, serta berkomunikasi melalui platform media sosial. Beberapa aturan dalam peraturan ini dianggap terlalu umum, memiliki banyak penafsiran, dan kurang jelas, sehingga dapat menyebabkan berbagai interpretasi yang berbeda oleh pihak-pihak yang terkait. Misalnya, seperti yang diatur dalam peraturan, orang dilarang untuk melecehkan individu, kepercayaan agama, kelompok etnis,ras, kelas sosial, calon, dan/atau peserta pemilihan umum lainnya. Hal ini bisa memunculkan pertanyaan mengenai siapa yang berwenang untuk menentukan apa yang dianggap sebagai penghinaan, serta bagaimana batasannya ditetapkan. Dapatkah kritik, sindiran, atau humor yang ditujukan kepada calon presiden-wakil presiden atau tim sukses mereka dianggap sebagai bentuk
penghinaan? Apakah konten yang menyatakan kekecewaan, ketidakpuasan, atau ketidakpercayaan terhadap calon presiden-wakil presiden atau tim sukses mereka dianggap sebagai penghinaan? Apakah konten yang menyuarakan aspirasi, harapan, atau tuntutan terhadap calon presiden-wakil presiden atau tim sukses mereka dianggap sebagai penghinaan? Aturan yang ambigu ini bisa menyebabkan rasa takut, khawatir, dan keterbatasan bagi masyarakat dalam melakukan pendapat, ekspresi, dan komunikasi di platform media sosial karena khawatir akan melanggar peraturan dan mendapatkan hukuman. Dalam konteks ini, ada potensi ancaman terhadap hak asasi manusia dan prinsip demokrasi, sehingga dapat membatasi keterlibatan politik dari masyarakat. Dalam hal ini, penting untuk mengklasifikasi, menjelaskan secara lebih rinci, dan memberikan contoh yang lebih konkret mengenai peraturan-peraturan dalam regulasi ini agar tidak terjadi penafsiran ganda dan penyalahgunaan. Dalam hal ini, penting untuk menghadirkan suatu sistem yang terbuka, jujur, dan tidak memihak untuk mengawasi serta menegakkan aturan hukum terhadap pelanggaran yang terjadi di platform media sosial. Proses ini harus melibatkan berbagai kelompok yang memiliki kepentingan, seperti pemerintah, penyelenggara pemilihan umum, partisipan pemilihan,masyarakat sipil, para ahli, praktisi, dan media. Mekanisme ini juga harus mematuhi prinsip-prinsip hukum, seperti asumsi bahwa seseorang dianggap tidak bersalah sampai terbukti sebaliknya, hak untuk mendapatkan kesempatan untuk di dengar, hak untuk membela diri sendiri, hak untuk mengajukan banding, dan hak untuk menerima bantuan hukum. Mekanisme ini perlu memastikan bahwa tidak ada pihak yang mengalami kerugian, perlakuan tidak adil, atau takut-takut karena aturan ini. Penting dan terkini, regulasi komunikasi digital dalam kampanye Pilpres adalah perhatian utama dengan pertumbuhan yang cepat dan luasnya teknologi dan media sosial. Meskipun demikian, pengaturan tersebut juga harus memperhatikan dan menghormati hak untuk menyampaikan pendapat, mengungkapkan diri, dan berkomunikasi yang dijamin oleh undang-undang dan hak asasi manusia. Untuk itu, peraturan ini perlu diatur dengan keseimbangan,proporsi yang tepat, dan melibatkan partisipasi.

Daftar Pustaka:

a. Kementerian Komunikasi dan Informatika. (2023). Laporan Survei Nasional: Profil Pengguna Internet Indonesia 2023. Jakarta: Kominfo.
b. Kementerian Pemuda dan Olahraga. (2023). Laporan Hasil Survei Nasional: Peran Pemuda dalam Pemilu 2024. Jakarta: Kemenpora.
c. Drone Emprit. (2023). Laporan Survei Online: Generasi Z dan Pemilu 2024. Jakarta: Drone Emprit.
d. Kementerian Komunikasi dan Informatika. (2023). Siaran Pers No.217/HM/KOMINFO/12/2023 Tentang Selama November 2023, Kementerian Kominfo Identifikasi 260 Hoaks, Total Hoaks Sejak Agustus 2023 Menjadi 3.901. Diakses pada 22 Oktober 2024, [6](https://www.kominfo.go.id/content/detail/23054/siaran-pers-no-217hmkominfo122019-tentang-selamanovember-2019-kementerian-kominfo-identifikasi-260-hoaks-total-hoaks-sejak-agustus-2018-menjadi3901/0/siaran_pers).
e. Komisi Pemilihan Umum. (2023). Peraturan Komisi Pemilihan Umum Nomor 13 Tahun 2023 tentang Tahapan, Program, dan Jadwal Penyelenggaraan Pemilihan Umum Tahun 2024. Jakarta: KPU.

Dewi Ratih Anggraini/prodi komunikasi/universitas siber asia

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Alam & Tekno Selengkapnya
Lihat Ilmu Alam & Tekno Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun